webnovel

Bab 20: Covenant

Hana menarik napas napas dalam, sebelum akhirnya mengembuskannya perlahan. Ia sudah berdiri di depan sebuah pintu ruangan besar itu untuk yang kedua kalinya, namun entah kenapa kali ini rasanya Hana jadi sangat gugup. Terakhir kali dirinya datang ke tempat ini, ia dalam keadaan kalut dan marah, namun saat ini Hana datang dengan tujuan lain.

Setelah membuat janji dengan Ganendra, dirinya dipersilahkan datang ke kantor Ganendra untuk menandatangani surat kontrak. Padahal, Ganendra bisa saja datang ke rumahnya, atau mengutus Ares, tapi Hana menolak. Ia sudah terlalu banyak merepotkan Ganendra, dan Hana tidak mau menerima lebih banyak hal dari Ganendra. Sekali lagi, Hana memantapkan hatinya sebelum akhirnya memutuskan untuk mengetuk pintu besar di hadapannya.

"Masuk." Suara berat bernada dingin itu sudah mengisi pendengaran Hana.

Ruangan megah bernuansa modern dan mewah sudah menyambut kedatangan Hana. Saat pertama kali datang, Hana sama sekali tidak memerhatikan ruangan di sekitarnya, jadi dirinya tidak sempat kagum. Di tengah ruangan, ada sofa besar dengan meja kecil di tengahnya. Di sisi lain ruangan, ada meja kerja dengan tumpukan kertas di atasnya. Sementara Hana memerhatikan ruangan itu, Ganendra yang sudah lebih dulu duduk sofa, mempersilakan Hana untuk duduk juga.

"Duduk dulu," ucap Ganendra pelan. "Mau minum apa?"

Hana menggeleng cepat, menjawab pertanyaan barusan. "Enggak perlu, Pak."

Di tempatnya, Ganendra tersenyum getir. Dirinya sungguh tidak ingin membuat situasi seperti ini. Hana memang mau bertunangan dengannya, menjadi pasangannya, namun hanya dalam waktu tiga bulan. Belum lagi, Hana pasti melakukan ini semua karena terpaksa karena merasa berhutang padanya. Padahal Ganendra bisa melakukan apa saja untuk gadis itu, tanpa mengharapkan balasan, tanpa mengharap apa pun. Tapi kali ini, Ganendra ingin menghargai keinginan Hana.

Tanpa basa-basi lagi, Ganendra kemudian menyodorkan sebuah kertas kosong beserta pena kepada Hana. Sebelum Hana bertanya, Ganendra sudah menjelaskan terlebih dahulu.

"Karena kamu yang menginginkan kesepakatan ini, jadi kamu yang tulis isinya. Saya akan ikuti semua kemauan kamu, saya nggak akan menuntut apa pun dari kamu," ucap Ganendra.

"T-tapi, Pak ...," ucap Hana ragu.

"Oh, kecuali satu hal. Jangan panggil saya 'Pak'. Saya belum setua itu, Hana." Ganendra menatapnya tajam. Sementara itu di tempatnya, Hana masih belum tahu mau mengisi kertas kosong di hadapannya dengan apa.

"Saya belum pernah buat kesepakatan semacam ini, tolong bantu saya, Pak–ah, maksud saya Mas Ganendra."

Diam-diam Ganendra mengulum senyum. Bagaimana bisa setiap kata yang keluar dari bibir mungil Hana, terdengar begitu manis.

"Kalau gitu, biar saya yang tulis," ucap Ganendra. "Poin pertama, saya akan tulis bagian pentingnya dulu."

Hana mengangguk pelan. "Iya."

"Saya, Ganendra Dharmawan sebagai pihak pertama, sementara kamu, Hana Daisha sebagai pihak kedua. Poin pertama, pihak kedua akan menjadi tunangan saya dalam kurun waktu tiga bulan. Setuju?" ucap Ganendra lagi, nadanya terdengar tegas namun juga lembut.

Sekali lagi, Hana mengangguk. "Saya setuju."

"Poin kedua, pihak kedua akan menjalankan kewajibannya sebagai tunangan saya, termasuk pergi ke acara keluarga dan pertemuan penting lainnya. Setuju?"

"Iya."

"Poin ketiga, gimana masalah bayaran? Kamu mau berapa? Sebut saja nominalnya." Ganendra mengalihkan pandangannya dari kertas di hadapannya kepada Hana.

"Saya nggak perlu dibayar, sudah cukup karena Mas melunasi hutang keluarga saya," ucap Hana kemudian.

"Tapi, Hana. Ini nggak menguntungkan untuk kamu."

"Saya nggak masalah." Hana mengangguk yakin.

Ganendra kembali menulis poin-poin pada kertas di hadapannya. "Kalau begitu, kamu nggak boleh menolak apa pun pemberian saya. Perlakuan istimewa, serta sikap saya ke kamu, anggap kalau saya sungguh tunangan kamu."

"Saya bersedia," ucap Hana cepat. "Tapi, untuk kontak fisik ...." Hana tak berani melanjutkan ucapannya. Ragu-ragu, ia menatap Ganendra yang kini justru terkekeh pelan.

"Tenang saja, saya nggak akan menyentuh kamu sembarangan. Kontak fisik kalau diperlukan, setuju?" ucap Ganendra lagi.

"Iya, saya setuju."

"Selama itu juga, kamu tinggal di apartemen saya. Untuk berjaga-jaga kalau keluarga saya curiga, dan kamu nggak perlu takut karena saya jarang ke sana. Saya lebih sering tidur di kantor," ucap Ganendra berhati-hati.

Untuk sesaat, Hana tampak ragu dan tidak langsung menjawab ucapan Ganendra. Kalau begitu, apa yang harus ia katakan pada Ibunya dan juga Dirga? Benak Hana terus bertanya-tanya. Tanpa Hana sadari, di hadapannya Ganendra tengah memerhatikan gelagatnya yang tampak gelisah. Ini pasti pilihan yang sulit untuk Hana, tapi ini juga satu-satunya cara untuk melindungi Hana dari keluarga dan juga saingan bisnisnya. Hal buruk bisa saja terjadi kalau sampai latar belakang Hana tersebar luas, dan Ganendra hanya ingin melindungi Hana.

"Kalau kamu tidak mau, saya bisa carikan kamu tempat lain," ucap Ganendra akhirnya.

"Sa-saya bersedia! Tapi biarkan saya bicara sama keluarga saya dulu," jawab Hana pelan.

"Saya bisa bantu bicara ke ibumu dan Dirga." Ganendra mengangguk. "Silakan kamu baca sekali lagi, kamu bisa tambahkan atau kurangi hal-hal yang menurutmu perlu. Setelah itu kamu tandatangani. Nanti saya akan buat salinannya, untuk kita pegang masing-masing."

Hana mengangguk paham, kemudian meraih kertas itu dan membacanya pelan-pelan. Semua kesepakatan ini, tidak ada satu pun yang merugikan Hana sebab Ganendra begitu berhati-hati saat menulisnya tadi. Rasanya, Hana jadi semakin merepotkan lelaki itu. Di hadapannya, Ganendra juga tidak ingin Hana sampai bertindak sejauh ini. Ini semua tidak perlu, sebab yang Ganendra inginkan adalah Hana sungguh menjadi tunangannya, bukan hanya pura-pura apalagi karena merasa terpaksa. Namun Ganendra hanya bisa menelan perasaannya sendiri, sebab inilah yang diinginkan Hana. Meski begitu, satu pertanyaan besar kembali bergelayut dalam kepala Ganendra. Apa yang akan terjadi pada mereka setelah tiga bulan?

Bisakah hubungan mereka lebih dari sekadar hubungan kontrak di atas kertas, atau semuanya justru benar-benar berakhir setelah tiga bulan.

"Tapi Hana, boleh saya tambahkan isi perjanjiannya?" tanya Ganendra akhirnya.

Meski ragu, Hana kemudian memberikan kertas itu lagi kepada Ganendra. Sementara lelaki itu terus memandangnya dengan tatapan sendu. Mata sipit dengan alis yang terukir sempurna, hidung mancung dan kulit putih yang membuat wajah lelaki itu menjadi luar biasa tampan, Lagi-lagi sempat membuat pertahanan Hana goyah. Dirinya sungguh tidak boleh jatuh cinta pada Ganendra, sangat tidak boleh.

"Apa yang Mas Ganendra tambahkan?" tanya Hana ragu.

"Kalau dalam waktu tiga bulan saya berhasil membuat kamu jatuh cinta, kamu mau, kan, menikah dengan saya?" ucap Ganendra sungguh-sungguh. Bola mata hitam yang jernih itu menatap Hana lurus.

"A-apa?!" tanya Hana kaget. "Ka-kalau saya tetap nggak jatuh cinta, bagaimana jadinya?"

Ganendra terkekeh pelan, Hana memang tidak mengenal basa-basi. Ia terlalu apa adanya.

"Saya akan menyerah dan melupakan kamu. Menghilang dari hidupmu, kalau perlu."

***