webnovel

Bab 17: Hide and Seek

Sejak tertangkap basah dengan Hana malam itu, Ganendra belum berani kembali mendatangi Hana. Dirinya terlalu takut kalau Hana akan menyadari keberadaannya dan jadi semakin membencinya. Tidak masalah kalau Hana tidak mau bertemu atau menghubunginya, Ganendra terlalu takut kalau Hana sampai membencinya.

Pahitnya espresso sudah tak lagi bisa ia rasakan. Sering kali Ganendra keluar di malam hari, meminum beberapa gelas minuman beralkohol dan hilang akal karenanya. Ia hanya tak ingin lagi memikirkan Hana, ia benar-benar ingin membuat Hana menghilang dari ruang pikirnya dan Ganendra mampu melakukan cara apa pun itu. Namun malam ini, hanya malam ini saja, Ganendra ingin mencicipi secangkir espresso panas. Jadi, di malam musim hujan yang cukup cerah ini, Ganendra kembali memakai jaket hitamnya dan bergegas menuju kedai kopi langganannya.

Pukul sepuluh malam, kedai hampir tutup, namun demi Ganendra mereka buka lebih lama malam ini. Entah apa yang mereka tahu tentang Ganendra, tapi perlakuan semacam ini sudah sering Ganendra dapatkan.

"Espresso," ucap Ganendra pada salah seorang bartender yang bertugas.

"Loh, Mas?"

Untuk sesaat, Ganendra hanya bisa teridam sembari menatap wajah Dirga dengan tatapan kaget. Bagaimana bisa kakak beradik ini selalu berkeliaran di sekitarnya.

"Kamu adiknya Hana?" tanya Ganendra akhirnya.

"Iya, namaku Dirga," ucap Dirga sembari menyiapkan cangkir kertas untuk menghidangkan kopi pesanan Ganendra. "Karena toko sudah mau tutup, jadi pesanan hanya untuk dibawa pulang. Nggak masalah, Mas?"

Tanpa menjawab, Ganendra mengangguk pelan. Di hadapannya Dirga masih sibuk dengan kopi buatannya. Entah sejak kapan Dirga bekerja di kedai kopi itu, karena sebelumnya Ganendra sama sekali tidak pernah melihat atau sekadar papasan dengan Dirga.

"Sejak kapan kamu kerja di sini?" tanya Ganendra kemudian, setelah sebelumnya hanya diam seraya membuang pandangan ke sembarang arah.

"Baru satu bulan."

Ganendra mengangguk santai. "Kenapa belum pulang? Kamu nggak jemput kakakmu?"

Tidak langsung menjawab, Dirga hanya menatap lelaki di hadapannya itu lurus-lurus. Mata sipit dengan tatapan tajam itu, punya kantung hitam yang tebal. Mendengar nada khawatirnya barusan, membuat Dirga sedikit heran. Keadaan Ganendra saat ini bahkan lebih patut dikhawatirkan.

"Beberapa hari ini, Kakak sengaja minta untuk nggak dijemput. Mungkin dia pulang bareng temannya," jawab Dirga. "Ah, ini kopinya, Mas."

Ganendra mengangguk, seraya menerima kopi dari Dirga. Namun, bukannya segera pergi, lelaki itu justru masih di sana. Seolah masih ada hal yang ingin ia katakan.

"Ada lagi, Mas?" tanya Dirga yang heran dengan perilaku Ganendra.

"Dirga, closing!"

Terdengar suara dari arah dalam kedai, membuat Dirga tidak bisa lagi berlama-lama. Yang bekerja di sana bukan hanya dirinya, dan rekan kerja yang lain pasti ingin segera pulang.

"Mas bisa tunggu di sana, lima belas menit lagi saya selesai." Dirga menunjuk kursi kosong di sudut ruangan, meminta Ganendra untuk menunggunya.

Persis seperti ucapan Dirga, Ganendra benar-benar menunggu di sudut ruangan. Seraya menyesap kopi pahit itu pelan-pelan, tanpa aba-aba senyum Hana kembali terbesit dalam pikirannya. Harusnya Ganendra minum alkohol malam ini. Tapi sayangnya, kopi lebih candu dari minuman apa pun. Terlalu fokus menatap sibuknya jalanan malam, tanpa Ganendra sadari Dirga sudah berdiri di hadapannya.

"Mas, kita bicara di luar aja. Soalnya toko mau dikunci."

Lagi-lagi, Ganendra hanya mengangguk menuruti ucapan Dirga. Sebenarnya ia sendiri juga tidak tahu, mau bicara apa dengan Dirga, namun rasanya ada banyak hal yang ingin Ganendra ketahui dari anak itu. Baik tentang Hana, atau sekadar mendengar cerita Dirga saja. Saat ini Ganendra hanya tidak ingin pulang pun menyibukkan diri dengan pekerjaan di kantor.

Ganendra masih belum bicara, sampai Dirga mengajaknya duduk lesehan begitu saja di depan ruko yang sudah tutup. Beberapa kali Dirga memberi salam pada rekan kerja dan seniornya yang pulang lebih dulu, meninggalkan dirinya dan seorang pria yang Dirga sendiri tidak tahu namanya.

"Mas ada masalah apa?" tanya Dirga sembari mengeluarkan sebungkus rokok dari saku jaketnya. "Oh iya, nama Mas siapa?"

"Ganendra." Ganendra menjawab singkat, seraya menatap lurus pada Dirga yang mulai menyesap sebatang rokok. "Kamu merokok?"

"Mas mau?"

"Saya sudah berhenti." Dirga hanya mengangguk-angguk mendengar jawaban Ganendra.

"Aku juga mau berhenti, tapi sulit. Cuma ini pelarian aku," ucap Dirga, ia terkekeh di ujung kalimatnya sebelum kemudian kembali menatap Ganendra. "Mas sendiri kayaknya ada banyak masalah. Jadi manajer restoran itu berat, ya?"

"Kata siapa saya manajer restoran?"

"Loh, katanya Mas atasan Kak Hana. Kalau Kak Hana itu pelayan, berarti Mas manajer, atau justru pemilik restorannya?" ucap Dirga yang refleks menatap Ganendra takjub.

Untuk sesaat, tak ada percakapan di antara keduanya. Ganendra masih berkutat dengan pikirannya sendiri, sementara Dirga masih menghabiskan rokoknya.

"Mas Ganendra, kenapa nggak pacaran aja sama Kak Hana?" tanya Dirga yang sontak membuat Ganendra menatapnya lurus. Namun bukannya menjawab, Ganendra justru tersenyum seraya menadahkan tangannya ke arah Dirga.

"Beri saya sebatang."

"Mas bukannya udah berhenti?" tanya Dirga, namun tetap ia memberikan sebatang rokok dan menyulutnya dengan korek untuk Ganendra.

Ganendra hanya mengedikkan bahu, seraya menyesap asap nikotin itu dalam-dalam sebelum mengembuskan asap putihnya ke udara. Rasa yang entah sudah berapa lama tidak Ganendra rasakan, kini mulai menyeruak kembali di rongga mulut hingga memenuhi paru-parunya. Mungkin benar yang diucapkan Dirga, rokok memang pelarian yang pas untuk kondisinya saat ini.

"Saya ditolak sama Kakakmu," ucap Ganendra kemudian.

"Ah, masa? Padahal Mas keliatan ganteng, apa karena Mas Ganendra udah tua?" tanya Dirga asal. Padahal, menurutnya, Ganendra terlihat seperti laki-laki yang mapan dan sukses. Entah apa yang membuat Hana menolak lelaki seperti Ganendra, Kakaknya itu pasti punya alasan.

"Tua?" Ganendra terkekeh pelan. "Saya belum kakek-kakek."

"Bukan gitu, Mas kelihatan dewasa banget, mungkin tipe laki-laki Kak Hana bukan yang seperti itu," ucap Dirga yang sukses membuat senyum di wajah Ganendra menghilang. "Maaf kalau perkataanku menyinggung."

Ganendra menggeleng pelan, ia menyesap kembali rokok di tangannya. "Memangnya tipe laki-laki Hana yang seperti apa?" tanyanya kemudian.

Tidak langsung menjawab, Dirga tampak berpikir keras, sebelum akhirnya menggeleng pelan. "Nggak tahu, Kak Hana nggak pernah pacaran sebelumnya."

Mendengar hal tersebut, tatapan Ganendra yang sebelumnya fokus pada jalanan, kembali menatap Dirga tajam. Tidak mungkin Hana belum pernah pacaran, mengingat pribadinya yang hangat dan senyum manis Hana. Ganendra bahkan sampai tergila-gila pada gadis itu.

"Jangan bercanda."

"Aku nggak bercanda," jawab Dirga tegas. "Karena ayah yang pergi meninggalkan hutang, jangankan pacaran, Kak Hana bahkan merelakan beasiswanya untuk kuliah. Dia lebih memilih bekerja dan mencari uang untuk bayar hutang," lanjut Dirga sambil tertunduk. "Ah, maaf, Mas. Nggak seharusnya aku cerita masalah ini ke Mas Ganendra."

"Nggak masalah, kamu bisa cerita apa aja. Lagi pula, saya memang sedang ingin mendengar seseorang bercerita," ucap Ganendra santai.

Dirga tersenyum samar, seandainya Hana tidak menolak Ganendra, situasinya pasti berbeda sekarang. "Ini sudah larut, Mas. Mau aku anter pulang? Aku bawa motor." Dirga membuang puntung rokoknya kemudian menginjaknya.

"Nggak perlu, kamu pulang duluan saja. Lain kali saya akan traktir kamu makan, buat ganti rokok."

Dirga mengangguk, sebelum kemudian benar-benar pergi meninggalkan Ganendra yang masih duduk di posisi yang sama. Ada banyak hal yang terlintas dalam pikirannya, dan salah satu dari sekian banyak hal itu tentunya adalah Hana.

"Saya rindu kamu, Hana."

***