webnovel

Problem Pieces

Senyumnya kembali terpatri saat melihat Elena berjalan ke arah mejanya di mana sang anak baru saja keluar dari ruangan ayahnya.

"Bunda, aku haus." katanya mengadu, lalu untuk apa ayahnya berada di sana? mengapa Elena meminta minum kepada Alana sedang ada Jefri yang ada di dekatnya tadi.

"Hum? Elena ingin es krim?" Alana mengusap surainya pelan, masih ada waktu untuknya berbicara dengan Elena sebelum sang putri pergi bersama dengan Jefri.

"Mauuuu!"

"Yasudah, minta ijin dengan ayah ya? bunda siap-siap sebentar."

Bocah cantik itu berlari ke arah ruangan ayahnya membuat suara gaduh, Alana meringis melihat tatapan rekan kerjanya, merasa tak enak hati bahkan dia mengerti tatapan mereka yang menginginkan klarifikasi tapi kembali lagi untuk apa Alana memberikan klarifikasi kepada mereka? siapa Alana? Alana bukan dari kalangan artis papan atas atau orang yang berpengaruh yang harus melakukan itu.

Lagipula apa yang mereka dengar memang benar, Alana adalah mantan istri dari atasannya saat ini dan dia merupakan kekasih dari mantan atasannya.

Bukan hanya mereka yang kebingungan, Alana pun juga merasakan hal yang sama masih tidak percaya jika dia mencintai sepupu dari mantan suaminya sendiri.

Suara ketukan dari arah pintu ruangan divisi tempat Alana bekerja membuat suasana kembali hening, Dirga berdiri diambang pintu dengan raut wajah yang sama sekali tidak bisa diartikan. Pria itu berjalan cepat ke arah meja sang kekasih.

"Ikut aku." pintanya tanpa mempedulikan keadaan sekitar.

Alana melihat dari ujung ekor matanya ada Jefri yang sedang menuntun Elena berjalan ke arahnya. Alana memejamkan dan memohon jangan sekarang, dia hanya takut jika mereka akan berkelahi di kantor.

"Papa memintamu untuk menghadap. Ayo menghadap bersama."

Hal ini yang Alana takuti, Dirga benar-benar akan menentang ayahnya hanya karena dirinya? Apa yang akan dikatakan rekan kerjanya nanti, akan ada gosip apa lagi setelah ini?

Pergerakan tangan Jefri yang menahan lengan Alana membuat Alana kembali memejamkan mata, hanya sesaat setelahnya Alana mendengar suara Elena yang memanggil namanya.

"Bunda?"

"Ya? Elena.. bisa menunggu bersama dengan ayah? bunda ada perlu dengan atasan bunda. Setelah ini kita ke kedai es krim, OK anak pintar bunda?"

"Iya bunda."

"Teandra, saya titip Elena, tolong jaga Elena... Hanya sebentar." Alana terlihat kebingungan, untuk apa lagi?

"Masalah ini terjadi karena saya juga, saya juga harus menemani Alana."

"Pak?"

"Apa? saya atasan kamu, saya berhak membela bawahan saya."

"Sejujurnya Alana tidak membutuhkan itu, saya hargai pembelaan kamu untuk Alana. Tapi saya rasa ini bukan karena masalah pekerjaan."

"Saya tidak peduli."

"Jangan memulainya." cicit Alana pelan.

Kepalanya semakin berdenyut. Bisakah Alana menghilang saat ini? Jujur saja dia tidak ingin bertemu dengan ayah dari Dirga dalam waktu dekat.

•••

"Saya tidak meminta kalian berdua untuk ikut serta dalam masalah ini."

Sudah dapat ditebak siapa yang Arka maksud, ya tentu Jefri dan Dirga yang mengekori Alana masuk ke dalam ruangan Arka, padahal sejak tadi Alana sudah menahan mereka untuk kembali ke ruangan masing-masing.

"Tapi masalah ini terjadi karena saya pak, karena saya yang tidak bersikap profesional dalam bekerja." tegas Jefri.

Alana melirik ke arahnya, apakah saat ini dia benar-benar sedang membelanya sebagai atasannya?

"Bisa kalian meninggalkan tempat ini, saya hanya ingin berbicara empat mata dengan Alana."

"Maaf, saya tidak mengijinkannya." Kali ini suara dari Dirga terdengar jelas, membuat Alana beralih untuk menatapnya. Tatapan matanya seakan bersiap untuk melawan sang ayah.

"Siapa anda hingga saya harus meminta ijin kepada anda?"

"Pah?!"

"Ini di kantor Dirga, jangan memaksa papa."

"Apa tujuan papa meminta Alana untuk menghadap papa?"

"Kamu pikir karena apa? Dia yang sudah membuat huru-hara di kantor papa, apakah papa akan berdiam diri saja? mau sampai image kantor papa buruk karena dia?"

"Maaf pak, tapi yang bapak katakan tadi itu terlalu berlebihan." sanggah Jefri.

"Bukan hanya dengan Alana Jef, saya juga kecewa dengan kamu. Mana janji yang kamu katakan kepada saya? kamu tidak bisa memisahkan mereka bukan?"

Mencoba mencari tahu arti dari kalimat Arkasa barusan, Alana menoleh ke arah Jefri yang hanya terdiam, tidak seperti tadi yang banyak sekali menyangkal.

Perjanjian apa yang mereka maksud dan siapa yang dimaksud dengan mereka? apakah orang itu adalah dirinya dan Dirga? Arka dan Jefri ingin memisahkan Dirga dengan Alana? begitukah?

"Baik, tetaplah bertahan jika kalian ingin mendengar ini. Alana, saya kecewa dengan kamu. Sangat kecewa... saya masih memegang ucapanmu tempo hari mengenai anak saya, namun kamu berani untuk bermain dengan saya rupanya, saya tidak pernah mempermasalahkan statusmu sebagai single mom selama kamu tidak membuat onar di kantor."

Alana memilih diam dan menundukkan kepala, merasa bersalah tentunya.

"Bukan hanya membuat onar, kamu juga sudah menggoda anak saya bahkan dia mulai berani menentang saya. Harusnya saya tidak membiarkan kalian dalam satu Divisi."

"Pah, cukup!"

"Lihat, kamu yang membuatnya menjadi anak yang tak tahu aturan. Dirga tidak pernah seperti ini sebelumnya tapi setelah bertemu denganmu dia mulai berani melawan saya."

Rasanya sakit saat mendengar kalimat Beliau yang menyalahkannya seakan dia terlalu buruk untuk Dirga bahkan Alana tak pernah sekalipun meminta hal yang berlebihan untuk dilakukan Dirga hanya demi dirinya ataupun Elena, Beliau sangat salah dalam menilai Alana.

"Sudahi hubungan kalian sampai di sini, Dirga sudah saya jodohkan dengan gadis yang jauh sempurna dari kamu, tinggalkan dia atau kamu akan kehilangan pekerjaan. Dengan begitu kamu akan kehilangan putrimu, bukankah hak asuh akan jatuh ke tangan ayahnya jika sang ibu tidak memiliki pekerjaan tetap? mungkin sang ayah bisa memberikan semua kebutuhan anaknya tapi sudah dapat dipastikan siapa yang akan kala..."

"Papa cukup, papa sudah keterlaluan. Sudah berapa kali Dirga menolak untuk dijodohkan? yang Dirga cintai hanya Alana pah."

"Kamu tidak ingat jika dia bekas sepupumu?

"Lantas? Di mana letak kesalahan Alana? Dia meminta berpisah karena kelakuan mantan suaminya, bukan kemauan Alana untuk menjadi single parents seperti ini pah. Apa yang Alana lakukan sekarang untuk membesarkan anaknya seorang diri sudah menjadi nilai plus di mata Dirga. Dirga tidak ingin wanita lain, hanya Alana yang pantas menjadi istri Dirga, bagaimanapun masa lalunya. Saya rasa cukup dengan semua ini, jika memang papa ingin memecat Alana, Dirga tidak bisa melarang karena itu hak papa, Papa juga yang memiliki aturan di kantor ini. Tapi papa juga harus tahu, Alana keluar dari kantor ini sama saja dengan Dirga yang keluar dari rumah. Dirga tidak peduli jika papa tidak menganggap Dirga anak papa lagi."

"Pak Dirga....."

"Ayo keluar." Ajak Dirga menarik lengan sang kekasih pelan tanpa peduli dengan kalimat yang ingin Alana lontarkan.

"Pak Arka, saya tid..."

"Alana... Sudahlah sayang... percuma berbicara dengan pria yang tidak memiliki hati."

Rasanya seperti akan gila setelah ini. Dirga memanggil dirinya seperti itu di saat mereka semua sedang bersitegang dengan Arka. Apa dia sama sekali tidak takut dengan ancaman sang ayah?

"Om, saya rasa mengeluarkan Alana dari kantor sangatlah berlebihan."

"Kalau begitu nikahi dia, Jef."

"Papa?!"

"Tidak ada salahnya melakukan pernikahan ulang dengan mantan istrimu Jefri."

Memang tidak ada yang salah dengan itu, tapi haruskah berbicara mengenai hal itu di saat ada Dirga di dekatnya? Alana semakin kalut saat melihat tatapan Driga yang begitu tajam ke arah sang ayah.

"Jangan buat semuanya semakin rumit mas." Bisik Alana pelan.

Dirga menoleh ke arahnga lalu menarik Alana untuk keluar dari ruangan sang ayah tanpa permisi.

"Mas?"

Dirga menghentikan langkahnya tepat di ujung koridor membuat Alana terhuyung ke depan.

"Alana, ayo tinggalkan kota ini. Kita menikah, aku janji akan membahagiakan kalian."

"Aku juga seorang ibu mas, mana mungkin aku tega memisahkan kamu dengan ibu kamu."

"Apalagi kali ini? Aku sudah melepaskan semua yang aku miliki untukmu Alana."

"Aku nggak pernah memintanya mas, benar.. aku memang mencintaimu tapi nggak dengan ini caranya. Kamu masih memiliki ibu."

"Kalau memang restu mama yang kamu inginkan, berjanjilah untuk pergi bersamaku setelah mendapatkannya."

Entahlah, Alana tak bisa berjanji karena hidupnya untuk Elena. Alana tidak bisa bahagia jika anaknya tidak bahagia. Itulah yang akan dilakukan seorang ibu untuk anaknya dan Alana juga tidak ingin semakin menaruh harapan kepada Aksa nantinya.

"Pelan-pelan, nggak ada yang memintamu El."

Anak pintarnya hanya mengangguk pelan, diraihnya selembar tissue dan Ia gunakan untuk mengusap jari-jari Elena yang kotor karena terkena es krim.

"Elena, ada yang ingin bunda tanyakan. Elena hanya perlu menjawab pertanyaan bunda dan habiskan es krimnya."

"Apa aku boleh berbicara sambil makan Bun?"

Pintar sekali. "Yasudah, habiskan es krim El dulu, Elena mau lagi?"

"Aku kenyangggg.."

"Ok, singkirkan ini dan cuci tangan di wastafel itu. Yang sebelah kanan ada bangku untuk kamu pijak. Hati-hati nak."

"Siap captain!"

Elena berlari pelan ke arah yang Alana tunjuk, "Nak, kamu baru saja bertemu dengan ayahmu dan merasakan kebahagiaan itu. Apakah kamu mau ikut bersama dengan bunda dan papa Dirga? bunda nggak bisa memaksamu sayang tapi bunda nggak bisa merelakanmu tinggal bersama dengan ayahmu. Apa yang harus bunda lakukan?" gumam Alana.

"Bunda?"

"Bunda?"

"Ah iya. Sudah selesai?"

"Udah. Bunda lagi banyak pikiran ya?"

"Dari mana kamu tahu tentang itu?"

"Dari ayah, kata ayah.. kalau bunda lagi banyak pikiran Elena harus menuruti semua perintah bunda. Apa Elena nakal? bunda marah ya?"

"Nggak sayang, Elena nggak pernah membuat bunda marah. El tahu kalau bunda sayang banget sama kamu kan?"

"Yes, sure!"  sahut Alana riang.

"Sebentar lagi Elena sekolah, Bagaimana kalau Elena sekolah di luar kota?"

"Maksud bunda?"

"Elena... Bunda belum bisa cerita semuanya, tapi suatu saat... kamu akan mengerti alasan bunda melakukan ini. Sekarang bunda tanya, apa Elena senang bersama ayah?"

"Elena senang!!!! bertemu ayah, Oma, dan Jeje... Bunda, kenapa ayah tidur di rumah Oma? ayah nggak tinggal bersama kita? kenapa Bun?"

"Elena ingin tinggal bersama dengan ayah?"

"Iya. El, bunda dan ayah."

"Nggak bisa sayang."

"Kenapa?"

"Belum saatnya El tahu tentang itu. Kalau misalnya Elena tinggal dengan ayah, itu berarti bunda nggak akan bersama dengan Elena. Bagaimana?"

"No!" tolak Elena gemas.

"Elena mau bersama bunda?" bocah itu menganggukan kepalanya lucu. Meskipun dirinya tidak mengerti ke arah mana pembicaraan ini tapi setidaknya Alana tahu apa yang Ia inginkan.

"Tapi nggak apa kalau nanti kita nggak bertemu dengan ayah lagi?"

"Kenapa? karena ayah dan bunda bercerai?"

Alana terperanjat mendengar pertanyaannya barusan, dari mana Elena tahu?

"Bunda bercerai itu apa? apa karena itu ayah nggak tinggal dengan kita? aku mau ayah tinggal bersama kita bunda, dari dulu ayah selalu sibuk kerja, kerja, kerja. Aku nggak pernah dibelikan berbie oleh ayah."

"Sayang?"

"Ayah!" pekik Elena, gadis kecil itu menoleh ke arah sang ayah.

"Ayo berangkat, sebentar lagi pestamu akan dirayakan."

"Asik!!! Ayo bunda!"

"Elena. Maaf, bunda nggak bisa ikut sayang."

"Kenapa?"

"Bunda lagi kurang sehat hari ini, kamu lihat wajah bunda sedikit pucat kan? kita antar bunda pulang dulu ya?" ujar Jefri, sepertinya dirinya juga mendengar pertanyaan Elena tadi.

"Tapi ayah, aku nggak mau pergi. Aku mau menemani bunda."

"Tentu, tapi setelah acara ulang tahunmu selesai. Kasihan Oma dan yang lainnya sudah bekerja keras membuat pesta untukmu sayang."

"Iya, pergi aja sayang. Bunda cuma butuh istirahat. Pergilah mas, aku pulang bersama mas Dirga."

"Mas, asal kamu tahu.. aku nggak tahu harus mengatakan apa kepada Elena setelah ini. Nggak lupa aku berterimakasih kepadamu karena kamu datang di waktu yang tepat." kata Alana di dalam hati.

"Mas... Terima kasih."