webnovel

Heart Is Hurt

Menghela nafas berkali-kali, Alana semakin dibuat gusar dan cemas dengan keadaan Elena karena sampai selarut ini dirinya belum melihat Elena yang diantar pulang oleh Jefri.

Kerap kali sang ayah meliriknya yang sedang bolak-balik di depan teras menunggu kepulangan sang cucu.

Kembali merekatkan jaketnya karena cuaca malam yang semakin dingin membuat Alana memasukkan ke dua tangannya di saku jaket.

Ponsel miliknya pun tak lepas dari pandangannya sejak tadi berharap sang mantan akan segera menghubunginya.

"Sayang, cepat masuk ke dalam, udara semakin dingin nggak baik buat kesehatan kamu juga." saran dari sang Ayah.

"Iya Ayah, aku tunggu Elena sebentar lagi."

Belum lama ayahnya kembali masuk ke dalam rumah, Alana dikejutkan dengan suara dering dari ponselnya yang menampilkan nama sang kekasih di layar.

"Iya mas?"

"Kenapa belum tidur? aku kira kamu udah tertidur pulas." kata Dirga disambungan telepon.

"Mas, El belum kembali. Apa yang harus aku lakuin?" suara wanita itu sedikit parau, tak masalah baginya jika Elena menginap asal Jefri mengabarinya, setidaknya jangan membuat Alana khawatir.

"Ini sudah hampir jam 10 malam dan dia belum menghubungimu?"

Alana menggelengkan kepala pelan meskipun Dirga tidak akan bisa melihatnya, "Apa yang harus aku lakukan mas? aku takut Elena..."

"Hey, buang jauh-jauh pikiran negatifmu itu Al. Aku yakin Jefri nggak seperti yang kamu pikirin, mungkin aja mereka memang butuh waktu lebih lama sayang... kamu kan tahu seberapa lama Jefri nggak bertemu dengan Elena? cepat masuk jangan terlalu lama di luar."

"Dari mana kamu tahu aku lagi di teras?"

"Indra pendengaranku masih berfungsi dengan baik. Malam ini anginnya nggak bersahabat, lebih baik kamu kembali ke dalam rumah."

"Bagaimana dengan Elena?"

"Percaya sama aku.. Elena akan baik-baik aja, Jefri pasti mengantarkannya pulang sebentar lagi."

Alana merasa heran mengapa kekasihnya terkesan membela dan percaya sekali dengan Jefri.

"Mas bagaimana kalau nanti El sendiri yang memilih untuk tinggal bersama dengan Jefri? aku..."

"Aku ke sana ya?" tanya Dirga, pria itu sudah bersiap untuk meraih kunci mobilnya.

"Ini udah malam, besok kamu juga harus kerja."

"Kamu yakin? aku cuma nggak mau kamu selalu memikirkan sesuatu yang belum tentu terjadi di masa depan sampai kamu sendiri merasa cemas berlebihan. Jangan merusak diri kamu sendiri Alana. Terlepas masa lalu kamu dengan Jefri, Elena tetap darah daging Jefri. Aku yakin saat kelak dia dewasa, El tetap akan memilih bersamamu— bersama bundanya dan bersama kita. Tunggu di kamarmu, aku yang menjemput El."

"Tapi mas?"

"Kamu mengenalku dengan baik sayang. Aku tutup ya? i love you."

•••

Memperhatikan raut wajah sang kekasih, Alana seringkali memergoki Dirga yang sedang menghela nafasnya berat seperti sedang ada beban di pundaknya.

"Mas, are you okay? kenapa kamu susah banget dihubungi semalam? aku..."

"Jauhi Jefri." tegas Dirga.

Mengapa tiba-tiba?

Selang beberapa menit kemudian Alana hanya terdiam mencerna permintaan Dirga yang terkesan mendadak, tanpa harus diminta pun Alana pasti akan menjauhi Jefri tapi mana bisa dia lakukan dalam waktu dekat mengingat Elena baru saja tahu jika ayahnya kembali.

"Maksud kamu, aku?"

"Aku tahu kamu paham akan maksudku Al, nggak perlu aku memintamu untuk yang ke dua kalinya."

Wanita yang sedang kebingungan itu berjalan pelan ke arah kursi Aksa, mendudukkan dirinya tepat di pangkuan pria yang sedang menahan amarahnya.

"Mas, ada apa sama kamu? tanpa aku jelasin lagi kamu udah tahu jawabannya kan? aku cuma takut menyakiti Elena mas. Kamu semalam setelah menghubungi aku ke mana? Jefri menghubungiku setelahnya, memberitahu bahwa Elena ketiduran... El terlalu lelah jadi aku putusin untuk membiarkan El menginap di rumah Jefri. Apa aku mengambil keputusan yang salah?" Alana menyentuh ke dua pipi Dirga dengan ke dua tangannya agar Dirga mau menatapnya.

"Apa aku salah, hum?" tanyanya kembali.

Dirga tak menjawab pertanyaannya, pria itu justru menarik tubuh sang kekasih ke dalam rengkuhannya, menenggelamkan wajahnya di perpotongan leher sang kekasih.

"Kembali ke ruanganmu, aku ingin menemui papa." ucapnya, dengan terpaksa Dirga mengendurkan pelukannya.

"Mas?"

"Aku cuma mau membahas masalah pekerjaan, kembali ke ruanganmu... sayang." pinta Dirga lagi.

Alana mengangguk patuh sebelum beranjak dari pangkuan kekasihnya, secepat kilat ia mengecup bibir atas Dirga.

"I love you, kamu tahu itu kan?" bisik Alana pelan tepat di telinga Dirga.

"Mulai berani kamu ya?" Dirga tersenyum menyeringai, oh Alana lupa bahwa yang barusan dia lakukan bisa membangunkan singa tidur.

Entah siapa yang memulai, keduanya sudah terlarut dalam ciuman memabukkan yang mereka buat. Alana melenguh pelan saat Dirga menggigit pelan bibirnya untuk meminta akses lebih.

Dengan terpaksa Dirga menarik diri saat mendengar dering yang berasal dari ponsel milik kekasihnya.

Diraupnya nafas sebanyak-banyaknya karena pasokan oksigen yang mulai menipis, Alana meraih ponsel yang ia simpan di atas meja kerja Dirga.

Mata wanita itu terbelalak saat nomor atasannya terpampang jelas di layar ponsel miliknya. "Aku harus segera kembali mas." ujarnya memberitahu Dirga lalu merapihkan penampilannya yang sedikit berantakan.

"Ingat pesanku sayang, jauhi dia."

"Iya. Iya."

Alana tak tahu jika yang dia ucapkan akan menyakiti hati Dirga nanti, Dirga percaya penuh terhadapnya begitupun juga dirinya yang merasakan hal yang sama.

Semenjak bercerai hanya Dirga yang mampu meluluhkan hati Alana, wanita itu sangat mencintai Dirga hingga tak ingin kehilangan pria itu.

jika dikatakan Alana ingin hidup bahagia bersama Dirga jawabannya adalah tentu.

Mengapa Alana harus menolak di saat dia juga menginginkan kebahagiaan seperti wanita lain, memiliki suami dan keluarga yang utuh. Namun, Alana sadar ia tak akan bisa hidup bahagia jika merusak keharmonisan keluarga lain.

Dirga dan keluarganya, Alana tidak ingin merusak keharmonisan mereka terlebih kekasihnya itu merupakan anak tunggal.

Alana tahu betul bagaimana rasanya, alasan terkuat dirinya tidak ingin memisahkan Dirga dengan keluarganya. Hatinya sudah terlanjur sakit, dia tidak ingin ada yang menyakiti pria sebaik Dirga.

Jika memang orangtua Dirga belum memberi restu, Alana berharap jika Dirga bisa meyakinkan kedua orang tuanya bahwa pilihannya adalah pilihan yang terbaik. Kalaupun dengan meyakinkan mereka tak juga memberi restu, mungkin Alana harus siap melepaskan Dirga pada akhirnya.