Kushina tampak khawatir, ketika dia masuk ke kamar putranya, Kushina bisa melihat jika anak itu tertidur pulas. Sejak semalam dia tidak bangun bahkan untuk sekadar pergi ke kamar mandi. Ia merasa khawatir, hingga memutuskan untuk membantalkan semua rencana perjalanan bersama suaminya. Mereka memang berencana untuk melakukan bulan madu tepat hari pernikahan mereka beberapa hari lagi.
Saat Minato selesai berbicara dengan para dokter, pria itu masuk, duduk di pinggir kasur setelah merapikan selimut yang dikenakan oleh putranya. "Kata dokter dia hanya tidur karena kelelahan, hal ini sudah sering terjadi selama kita pergi meninggalkannya, jangan khawatir."
"Dia… seperti akan pergi meninggalkan kita," ungkap Kushina, sembari memandangi wajah tidur putranya yang tidak biasa, pucat, kelelahan, dan mungkin sangat kesakitan. "Bukankah sebagai orangtua, kita harusnya yang paling tahu apa yang sudah dilewatinya—" Kushina menunduk. "Harusnya aku mencegah sejak awal kegiatan padatnya, dia harus sering pergi bermain keluar dan bersenang-senang bersama kita, kupikir."
"Tapi kita berusaha menjadi orangtua yang terbaik, dengan tidak melarang apa pun selama apa yang dilakukannya tidak melanggar ketentuan—anak kita tidak pernah melakukan sesuatu yang berbahaya, semua yang dilakukannya adalah nilai positif. Jangan menyesal telah membuatnya belajar untuk menjadi dirinya sendiri," kata Minato, dia menangkap tangan istrinya yang dingin, wajahnya cemas dan sepanjang pagi merasa begitu khawatir. "Kita tidak boleh menyesali apa pun itu."
Kushina teringat sesuatu yang ingin dikatakannya sejak tadi. "Lalu, tentang operasi yang pernah dilakukannya, apakah ini bukan tentang efek samping atau semacamnya? Apakah tidak ada kelainan organ, kau tahu kalau jantungnya tidak baik-baik saja sejak kecil, dia mengalami kelainan dan sudah melewati banyak operasi."
"Tidak. Badannya sehat, percayalah pada dokter yang menangani, bahwa tidak ada efek samping dari apa pun, dia sudah menjadi pemuda normal, dia tidak sakit-sakitan."
Kushina masih tidak begitu percaya, aneh rasanya kalau putranya tidak terbangun sejak semalam, tertidur seperti mayat. Untungnya, anak itu masih bernapas, hingga tidak menambah kekhawatiran, badannya pun hangat, tidak kedinginan. Ini sering terjadi tapi dia tidak pernah menyadari itu—perasaan menyesal bahwa ketika dia tidak berada di sisi putranya, dan menganggap semua rasa sakit anak itu telah lenyap. Kushina sungguh menyesal.
"Aku ingin berada di sini sampai dia terbangun."
"Tentu, aku akan pergi menemui dokter sekali lagi, kalau terjadi sesuatu padanya, bila kau melihat keanehan pada anak kita, panggil aku secepatnya, aku akan menyuruh mereka untuk langsung membawanya ke rumah sakit. Kau jangan khawatir."
Kepergian suaminya, Kushina beranjak untuk tidur di samping anak itu. Ia memberikan pelukan penuh kehangatan dari seorang ibu. "Bangun, Sayang. Ibu janji, tidak akan pernah meninggalkanmu lagi," bisiknya dengan berlinang air mata.
Tepat beberapa menit ketika Kushina terlelap di samping putranya, anak itu terbangun dengan mata mengerjap bahkan tampak sehat. Ia kaget, mengetahui ibunya berada di sampingnya ketika dia baru saja pergi ke tempat asalnya—dimensi pohon ginkgo yang tak harus didatangi dengan tubuh manusianya, Naru hanya butuh energi suci dari sana.
Tidak mau membangunkan ibunya, Naru mencoba lepas dari pelukan erat wanita itu, tapi yang dilakukannya percuma, ia tetap membangunkan ibunya yang kemudian tampak kaget dengan apa yang bakal dilakukannya, untuk turun dari kasurnya.
"Naru, kau baik-baik saja?" dengan memandanginya saja, dia bisa tahu, bahwa ibunya betul-betul mengkhawatirkannya. "Apa yang terjadi? Apa ada yang sakit? Di bagian mana?" wanita itu duduk penuh gusar, mencoba meraba-raba tubuh putranya, mungkinkah ada seseorang yang merundung, pikir Kushina.
"Aku hanya kelelahan, ibu."
"Tidak mungkin. Bagaimana bisa kau tidur sepanjang hari, kau tahu, ini sudah sore, kau tidur sejak semalam, tidak sarapan, tidak makan siang," Naru tersenyum, dan sepertinya sang ibu tidak menyukai sikap santainya itu. "Jangan mencoba menertawai rasa khawatirku."
"Aku tahu, maka dari itu aku ingin turun ke bawah, aku lapar sekali."
Naru ingin bergegas untuk turun dari ranjang, tapi ibunya tiba-tiba memeluknya dari belakang penuh kesedihan. "Ibu khawatir, kau akan meninggalkan ibu," Naru menunduk. "Katakan pada ibu jika kau memang benar-benar sakit, ibu juga tahu kalau kau pasti bosan berada di rumah sakit dan minum obat, tapi ini demi kebaikanmu, ibu tidak ingin kau meninggalkan ibu sendiri di sini."
"Ibu, aku tidak akan pergi ke mana-mana, aku akan berada di sisi ibu," Naru mengangkat kepalanya ketika sang ayah masuk ke dalam kamar. Dengan bahasa isyarat, Naru menginginkan sang ayah dapat membantunya untuk lepas dari pelukan ibunya yang membuatnya tidak bisa ke mana-mana, tapi pria itu bahkan tidak bisa melakukan apa-apa saat kedua pundaknya diangkat, terlihat pasrah. "Ibu, ayo kita pergi makan, aku yakin ibu juga belum makan."
Kushina melepaskan pelukan itu, dan menyapukan segera menyapu air matanya dengan lengan panjangnya. "Kau ingin makan apa? Ibu akan memasakkan sesuatu untukmu," Naru mengangguk, dia tersenyum—seolah ingin menunjukkan pada ibunya, bahwa dia baik-baik saja.