webnovel

Perang Pembalasan IX : Akhir III

Voran melayang turun menuju ke Mivac Belloc. Melihat musuhnya tergeletak tak berdaya memberikan rasa puas tersendiri.

Meskipun ada rasa tak nyaman di tubuhnya, dia tetap mendekati Mivac Belloc. Dia ingin memastikan keadaan Mivac Belloc, kematiannya akan menguntungkan, bahkan jika dia masih hidup. Mivac Belloc akan menjadi tawanan yang berharga.

Begitu dia memeriksa kondisi Mivac Belloc, ada senyum cerah yang tergantung di wajahnya. Ia memang mengharapkan hal ini, bahkan sangat berharap.

Saat kondisi Mivac Belloc terkuak, dia begitu senang hingga menunjukkan senyum yang merekah. Mivac Belloc tak mati, dia masih bernafas meski wajahnya sangat pucat dan darah berceceran di sekitarnya. Keadaaannya tak begitu buruk, tapi cukup mendekati ajalnya.

Voran memperhatikan sekelilingnya setelah memeriksa kondisi Mivac Belloc. Dia ingin menawannya dan mencoba untuk menariknya ke sisinya. Sulit menemukan seseorang yang memiliki kemampuan begitu baik pada waktu-waktu awal.

Apalagi, Mivac Belloc bukan bukan hanya sekeda kultivator pada umumnya, melainkan seseorang yang memiliki posisi cukup tinggi di Kerajaan Arannor walau berbasis pada militer.

Voran tak berpikir lama, begitu mengetahui kondisi Mivac Belloc, ia segera membawanya. Voran cukup merasa senang dengan keadaannya, walaupun merasa tubuhnya tak berada dalam kondisi prima setelah bertarung melawan Mivac Belloc. Dia mendapatkan satu pelajaran nyata tentang dirinya dan kekuatannya.

Hal ini menjadi sebuah keuntungan yang tak tergantikan dan dia merasa dengan memahami kekuatannya, ia bisa bertahan.

Pertarungan Voran berlalu dengan cepat dan berakhir dengan cepat pula. Namun, Selek Valaunter dan Grim Larsson masih berkutat dalam pertarungan. Mereka sama-sama memiliki luka akibat pertarungan yang sangat sengit.

Walau Grim Larsson unggul di atas kertas, kemampuan Selek Valaunter cukup mampu untuk menyulitkannya dan membuat dia kewalahan.

"Huft … kau bertambah kuat, Valaunter. Tidak mengherankan kau berani berhadapan langsung denganku. Kau hampir menembusnya jua. Kemampuanmu meningkat pesat dari pada waktu itu. Sekarang, katakan padaku. Masihkah kau berpikir kau bisa menangani ku?" Tak membiarkan Selek Valaunter berangan-angan untuk melawannya kembali, Grim Larsson pun memberikan tekanan yang jauh di atas bayangan Selek Valaunter.

Auranya meledak begitu dia serius. Wajahnya menghitam dan menunjukkan ekspresi biadab. Grim Larsson melesat bak panah begitu dia melihat celah dalam pertahanan Selek Valaunter. Kali ini dia menyerang dengan menggunakan pedangnya.

Saat posisinya sudah dekat, dia langsung mengayunkan pedangnya, dan energi yang ada pada dirinya menghancurkan tanah sesuai dengan jalur ayunan pedangnya.

Serangannya yang begitu menghancurkan membuat Selek Valaunter lengah, dan di waktu tersebut, dia melepaskan pukulan yang kuat.

Serangannya itu lantas menghancurkan posisi Selek Valaunter. Dia tidak bisa menghindari pukulan itu.

Selek Valaunter terpukul mundur dengan armor yang rusak. Wajahnya memutih dengan darah keluar dari mulutnya. Terpental jauh hingga terjerembab dan terbaring di tanah, Selek Valaunter memuntahkan darah yang tak sedikit.

Grim Larsson mendekatinya, semakin dekat jarak mereka, ia mengeluarkan tekanan yang sangat menindas.

Tidak ada yang bisa menahannya, mereka yang mencoba membantu Selek Valaunter segera roboh akibat tak kuasa menahan tekanan itu. Para prajurit tak bisa beranjak dari posisinya begitu mereka masuk dalam jangkauan tekanan yang disebar Grim Larsson.

Dia tidak memikirkan apa yang akan terjadi setelah ini. Grim Larsson mendekati Selek Valaunter dengan langkah pelan dan tenang. Sembari berjalan ia juga berbicara.

"Menyerahlah, Selek Valaunter! Aku tidak ingin menghancurkan semuanya. Jika kau mati, keluargamu akan ikut bersamamu dan pasukannya pasti akan hancur. Apakah itu yang ingin kau lihat? Jawab saja! Aku sedang mendengar dan menunggunya!"

Grim Larsson tetap diam meski dia bisa menebas Selek Valaunter. Dia sama sekali tidak ingin membunuhnya karena ia tahu jika Voran membutuhkan kekuatannya. Sambil menunggu jawaban Selek Valaunter, dia mengamati situasi medan perang yang sudah berubah jauh.

Panas yang mulai menghilang dan keteduhan yang muncul membuat intensitas perang menjadi lebih ringan dari sebelumnya. Hari sudah mendekati akhir dan perang turut mengalami penyelesaian.

Sisi kanan berakhir lebih cepat dari yang diduga. Richard Veus tetap di posisinya dan mengamati seluruh situasi sambil menyesuaikan formasi pada setiap kondisi yang ada. Sisi kanan menjadi senjata mematikan, sedangkan bagian kiri mulai terkuras.

Dalam pandangannya, perang ini berakhir begitu Selek Valaunter memutuskan terjun langsung dalam perang. Jika saja dia tetap berada di posisinya dan mengatur ulang pasukannya. Maka, situasi akan seimbang.

"Situasi ini tercapai karena Grim Larsson. Keberadaannya menjadi pembeda penting. Meski aku bisa menghadapi Selek Valaunter. Hasilnya akan berbeda. Baguslah! Sekarang aku hanya perlu membersihkan sisa-sisa ini saja. Sisi kanan tak lagi menjadi ancaman dan mudah. Sayap kiri harus hancur, tak peduli seperti apa hasilnya nanti. Mereka benar-benar harus hancur!" Richard Veus tak bisa menutupi rasa ketidakpeduliannya terhadap pasukan di sisi kiri yang mayoritas dihuni oleh prajurit bangsawan termasuk para bangsawan itu sendiri.

Richard Veus tak lagi diam saat melihat sebuah kesempatan untuk mengakhiri perang.

Sayap kanan ia gerakkan untuk menghimpit bagian tengah dan menyapunya hingga sayap kiri.

Di sisi kiri, ia biarkan begitu saja dan tak memberi bantuan lebih. Bahkan, kavaleri yang sempat mengurangi tekanan pasukan, ia kerahkan untuk menghancurkan bagian tengah.

Hal itu ia lakukan setelah melihat hasil dari pertarungan antara Selek Valaunter dengan Grim Larsson.

Sementara pasukannya bergerak sesuai dengan perintahnya, Richard Veus mulai bergerak. Dia meninggalkan pusat komando pasukan dan bergegas menuju ke bagian tengah.

Walaupun Grim Larsson telah memenangkan pertarungannya. Richard Veus tidak bisa mengabaikan Voran yang memilih masuk ke dalam medan perang.

Keselamatannya kini menjadi prioritas utama untuk Richard Veus. Oleh karena itu, dia bergegas ke sisi tengah.

Voran membawa Mivac Belloc. Dia meminta beberapa prajurit yang ada di sekitarnya untuk mengangkatnya dan membawanya ke pusat komando.

Voran mengikutinya, dia tidak tinggal di medan perang terlalu lama. Rasa tak nyaman di tubuhnya semakin menjadi-jadi.

Ketidakmurnian Ki yang dia serap mulai menunjukkan efeknya setelah dia selesai bertarung. Walaupun ia tak terluka, tetap saja rasa tak nyaman itu cukup mengganggunya.

"Huft … huft … ini melelahkan. Menanggung Ki yang tidak murni pada tubuhku hanya melemahkan ku setiap detiknya. Kemampuan ini memang sangat mumpuni dan bisa membuatku tidak terkalahkan. Namun, dengan efek samping seperti ini. Aku tidak bisa gegabah dalam menggunakannya. Aku perlu memperhatikannya betul-betul. Dengan begitu, aku bisa memanen hasil yang jauh lebih baik dan aman!" Voran memikirkan penggunaan kemampuannya selama dia berjalan kembali ke pusat komando dan di sana dia bertemu dengan Richard Veus yang memacu kudanya dalam kecepatan tinggi.

Selagi dia bertemu dengan Richard Veus. Grim Larsson telah mendengar jawaban Selek Valaunter. Seketika itu jua, perang yang masih berlangsung pun terhenti.

Namun, bagian kiri sama sekali tak mendengarnya. Pertarungan masih terjadi dan Swaster Merran dipaksa bertarung melawan sisa dari 'Tujuh Tombak Putih'. Dia benar-benar dibuat tak berkutik saat berhadapan dengan mereka dan terus ditekan hingga dia kelelahan.

Swaster Merran sulit mempertahankan kesadarannya setelah melalui pertarungan gila melawan mereka, bahkan berdiri sekalipun sulit untuknya.