webnovel

Kerajaan Arannor III

Setelah suara itu tak sekeras sebelumnya, segera Westian memimpin para Kultivator yang tersisa di Aula Kerajaan menuju ke medan perang. Walaupun jarak mereka tidak terlalu jauh, Westian tak bergerak dengan lambat melainkan dia berlari dengan cepat ke arah tembok pertahanan.

Dari kejauhan, Westian bisa melihat bagaimana situasi di medan perang. Kepala yang terlempar dari atas dinding, tubuh yang jatuh bergelimpangan dari atas sana, dan darah yang memercik di segala arah. Semua itu memberikan rasa penindasan tersendiri untuk mereka yang belum pernah mereka rasakan. Para prajurit bertarung dengan gilanya, mereka bertahan hidup dan berusaha untuk tidak mengacaukan seluruh situasi yang sudah tak karuan.

"Aku tidak mengharapkan mereka sejauh itu. Mereka bertarung selayaknya mereka membantai hewan. Tak ada ketakutan di tiap-tiap wajah para prajurit. Mereka seperti tak takut pada kematian. Apa yang sebenarnya terjadi dengan mereka? Bagaimana mereka bisa seberani ini?"

Westian begitu terkejut saat dia menyaksikan musuh-musuhnya bertarung dengan ganas selayaknya itu merupakan sebuah berkah. Tidak ada ketakutan dalam setiap tindakan mereka, dan mereka tetap menyerang walaupun mereka kehilangan tangan ataupun kaki. Selama mereka tidak mati, mereka terus melawan dan membunuh sebanyak mungkin prajurit lawan.

Semua itu terjadi karena suatu alasan. Beberapa waktu lalu, sebelum penyerangan dimulai, Voran memberikan sebuah pidato pada pasukannya. Tepat sesaat sebelum mereka menyerang. Voran berkata, "Momen ini akan menjadi sejarah. Titik awal dari segalanya. Kalian akan menjadi penggerak awal untuk kerajaan. Perang ini akan menjadi penaklukkan pertama untuk kerajaan dan prestasi ini akan terus dikenang sepanjang waktu. Kejayaan kalian akan dikenang dan tak dilupakan. Kematian yang akan kalian hadapi merupakan sebuah kemuliaan yang tak akan bisa didapatkan oleh orang lain. Mereka mati di ranjang! Di atas tubuh wanita! Penuh akan makanan! Namun, kalian jauh mulia dibanding mereka!! Kalian mati karena berjuang untuk meraih kejayaan dan kemenangan di medan perang yang ganas. Bertarunglah!! Berjuanglah!! Bunuh mereka semua!! Walau kalian tak lagi memiliki tangan, gigit mereka!! Serang!!"

Voran mengirim mereka dengan semangat dan dia duduk tenang di atas kudanya sambil menatap tembok dan pasukannya yang menyerang tembok itu. Voran mengamati para prajuritnya bertarung dengan tenang. Dia tak terganggu saat sebagian dari mereka terbunuh ketika berusaha mencapai atas dinding. Voran tak membiarkan gelombang serangan berakhir begitu saja.

"Sian, Hainz, kalian berdua … pergilah ke atas sana dan buat prestasi. Kehadiran kalian akan menjadi pembeda. Mereka tidak bisa bertahan hanya dengan penambahan prajurit saja. Dibutuhkan sosok-sosok yang dapat diandalkan. Swaster Merran terluka parah akibat perang itu dan yang lainnya, mereka tidak terlalu baik. Sedangkan para Kultivator di sisi kita, mereka akan menjadi kartu lain. Jadi, kalian berdualah yang bisa kuandalkan saat ini. Pergilah dan tunjukkan kemampuan kalian!"

Voran memerintahkan mereka berdua untuk berjuang di atas tembok dan memberikan bantuan pada prajurit yang berjuang di sana. Dia bisa membayangkan sekeras dan sesengit apa pertarungan di atas sana. Ingin rasanya dia segera bergegas memasuki medan perang yang terjadi di atas dinding. Namun, dia menunggu mereka membuka gerbang sembari terus mengirimkan gelombang serangan lain.

Disamping dia tak bisa melakukan tindakan apapun terhadap situasi yang ada di depan matanya ini. Voran menarik pedangnya, dia mengangkatnya tinggi-tinggi. Pantulan cahaya matahari memantul ke segala arah dari bilah pedangnya. Masih banyak prajurit di sekelilingnya dan Veus tak mengubah formasinya bahkan untuk sejenak saja. Mereka membentuk sebuah formasi 6 kolom berjajar yang memberikan tekanan besar pada prajurit musuh.

"Pedang ini telah meminta darah dan mereka ada di depan sana. Aku tidak tahu apakah ini hanya sekadar pedang biasa atau bukan. Yah … untuk sekarang ini jauh lebih baik daripada aku menggunakan tangan kosong." Dia menurunkan pedangnya dan memasukkannya kembali ke sarungnya. "Tidak ada yang perlu aku khawatirkan selain dari ketetapan hatiku saja."

Ketika Voran melihat pertempuran yang begitu sengit dan berdarah, ia mengernyitkan dahinya. Meski ini merupakan kedua kalinya, tetap saja, hal semacam ini masihlah baru untuknya dan bukan sesuatu yang bisa dibiasakan dengan cepat. Namun, ketika dia mengingat situasinya, dia tahu jika ia harus membiasakan diri dengan hal semacam ini.

"Bala bantuan mereka tiba! Tidak hanya memiliki kultivasi yang tinggi, mereka juga berkemampuan baik. Kehadiran mereka meningkatkan semangat juang para prajuritnya dan ini cukup merugikan untuk kita. Tidak masalah, pasukanku tak akan selemah itu dan aku masih memiliki kartu tersembunyi lainnya."

Setelah mengatakannya, Voran mendekati Veus dengan tenang. Ia berkuda perlahan-lahan. Mereka perlu mengirim sisa bangsawan yang masih ada di pasukannya. Tak peduli apa mereka terluka atau tidak, selama mereka masih bisa berdiri, mereka harus dikirim ke sana. Ia mengatakan hal itu pada Veus. Namun, dia mengecualikan Swaster Merran yang terluka parah dan mungkin berada di ambang kematiannya.

Ketika dia memikirkan situasi yang dihadapi oleh Swaster Merran, tiba-tiba saja sebuah ide terlintas di benaknya. Sebuah jalan untuk tetap membiarkannya hidup dan memanfaatkan bakatnya, tapi juga menghancurkan apa yang ada di sekitarnya. Sejenak hal itu terbesit di benaknya dan segera dia kembali fokus pada apa yang ada di depannya.

"Yang Mulia, akan menjadi kerugian bila kita mengirim mereka ke sana. Yang ada, kita malah akan dirugikan dengan mengirik mereka ke sana. Apa yang dibutuhkan pasukan kita di sana merupakan tenaga yang segar nan kuat. Namun, jika Yang Mulia bersikeras untuk mengirim mereka, saranku … " Veus menahannya dan mengamati seluruh situasi di medan perang. Setelah beberapa detik berlalu begitu saja, ia pun melanjutkannya. "Kita bisa mengirimnya masuk ke sana setelah gerbang terbuka, Yang Mulia. Kita korbankan mereka untuk menahan gerbang itu terbuka selama mungkin hingga seluruh pasukan masuk ke sana!"

Voran memikirkan rencana itu. Apa yang dia harapkan hanyalah kematian untuk mereka karena itu tujuannya sejak awal membawa mereka ke medan perang. Mungkin ini akan menjadi kerugian. Akan tetapi itu hanya kerugian untuk jangka pendek bukannya jangka panjang. Dia tetap mengizinkan adanya bangsawan di kerajaannya karena itu merupakan sebuah kesinambungan dengan adanya sebuah kerajaan. Namun, dia memiliki kriteria tersendiri dalam melihat dan mengizinkannya.

"Tidak buruk. Jauh lebih baik daripada mengirim mereka langsung menuju ke tembok! Baiklah, aku serahkan seluruh pengaturan pasukan padamu, Marshalku! Aku mempercayai kekuatan dan kemampuanmu. Buat mereka takut akan namamu dan tentunya akan namaku jua. Biarkan dunia tahu jika Salauster Vande Voran bukan hanya sekadar bocah semata. Saat ini, hanya kau yang memiliki kultivasi tertinggi di pasukan. Kuharap kau tahu itu, Veus!"

Voran mengingatkan Veus jika dialah yang terkuat saat ini di pasukannya mengingat Larsson mendapatkan tugas yang sama pentingnya dengan penyerangan saat ini. Voran menatap ke arah pertempuran dan ia melihat ki menyeruak keluar dari setiap mayat. Di waktu itulah dia tersenyum.