webnovel

Mantra Cinta

Ketika cinta ditolak, dukun bertindak. Kisah petualangan cinta Ganang dan Arumi yang tak kunjung bersatu. Masa lalu menjerat mereka pada hubungan yang rumit. Akankah Ganang dan Arumi dapat bersatu?

D_Poetry · Urbain
Pas assez d’évaluations
21 Chs

Masa Lalu

Sepeninggal Ganang, Arumi terduduk di lantai. Kedua lututnya seolah rapuh, hingga tak sanggup lagi berdiri dengan tegak. Jantungnya berdebar kencang, dengan napas memburu. Ia menggigit bibir bagian dalam, menguasai rasa gugup yang ia rasakan saat ini.

"Ganang!" gumamnya. "Dia benar-benar brengsek! Mengapa dia harus muncul lagi di hadapanku?"

Arumi meremas ujung piyama menggunakan jemarinya yang telah berubah menjadi sedingin es, begitu pula dengan wajahnya yang memutih.

Perasaan inilah yang ditakutkannya beberapa hari terakhir. Ketika ia menyadari bahwa sosok dari masa lalunya muncul lagi, tanpa diketahui bahwa ternyata mereka berada dalam satu kota. Dunia ini memang tidak terlalu luas untuk sekedar bersembunyi dari masa lalu. Karena bagi Arumi, terlalu menyakitkan hanya untuk mendengar, atau bahkan mengenang Ganang dari masa lalu.

Suara-suara dari masa lalunya selalu menghantui. Arumi menutup telinganya, mencegah suara-suara yang menakutkan itu bermain-main di dalam gendang telinganya hingga tergambar jelas, mengisi benaknya.

Rasa ketakutan yang teramat sangat sungguh menyiksanya, menyisakan luka jauh di lubuk hatinya. Arumi berteriak histeris, dengan air mata luruh tanpa disadarinya.

***

Arumi terbangun ketika jam dinding menunjukkan angka enam. Itu artinya, ia berhasil memejamkan mata selama satu jam. Lumayan, meski kepalanya kini terasa pusing.

Arumi menggeliat malas di pembaringannya. Sudah saatnya untuk bersiap-siap berangkat kerja. Kakinya diturunkan, menapak lantai kamarnya yang berwarna putih, meraih sandal jepit di bawah ranjang.

Arumi mengikat rambut panjangnya yang tergerai dengan sebuah karet rambut yang diambilnya di atas nakas. Kemudian berjalan menuju kamar kecil di sudut kamarnya.

Setelah mandi, Arumi mengenakan pakaian kerja, setelan celana panjang berwarna hitam dengan atasan blus berwarna khaki tanpa kerah. Berdiri di depan cermin, sambil mematutkan diri. Ada kantung hitam di bawah matanya yang menunjukkan bahwa ia tampak lelah.

Disapunya bedak ke wajahnya, tipis, dan perlahan. Lipstik berwarna merah sengaja dipilihnya untuk menyamarkan wajahnya yang tampak pucat.

Setelah yakin dengan penampilannya, Arumi berjalan meninggalkan kamarnya. Ia baru teringat sesuatu, Anggun yang sedang tertidur di kamar tamu. Arumi bergegas menuju kamar tamu, dibukanya pintu. Di atas pembaringan, Anggun masih tertidur pulas. Rupa dan penampilannya tidak karuan.

Arumi melipat kedua tangannya di dada, menatap Anggun yang masih belum terbangun. Sudah kesekian kalinya tetangga dan sahabatnya ini pulang dalam keadaan mabuk. Padahal, Arumi telah seringkali mengingatkan agar tidak terlalu banyak meminum minuman keras.

"Abang ...." Terdengar suara lirih Anggun dengan mata masih terpejam.

Arumi berjalan mendekati Anggun, menarik selimutnya, kemudian menepuk pipi Anggun agar gadis itu segera terbangun. Dia bisa mendapatkan Surat Teguran dari kantor tempatnya bekerja bila terus-terusan terlambat datang ke kantor.

"Anggun, bangun!" tegur Arumi sambil mengguncang tubuh Anggun.

Gadis itu tak bergeming, hingga Arumi kembali membangunkannya. Kali ini Arumi menepuk pipi Anggun lebih keras, gadis itu menggerakkan kepalanya, kemudian berpindah posisi tidur, membelakangi Arumi.

"Anggun, ayo cepat bangun ...." Arumi menarik tubuh Anggun agar berbalik kearahnya.

Geliat dan erangan terdengar dari bibir Anggun, kemudian gadis itu melanjutkan tidurnya lagi.

Arumi menggelengkan kepalanya, tak mampu membangunkan Anggun.

Arumi duduk di tepi pembaringan, kemudian memilih cara terakhirnya, yakni mengelitik pinggang dan ketiak Anggun. Benar saja, gadis itu menggeliat kegelian sambil terkikik dengan mata terpejam. Aroma alkohol menguar dari mulutnya.

"Ayo, bangun. Sudah jam setengah delapan. Aku harus berangkat kerja. Aku tidak mau kamu masih di sini selama aku kerja!" tegas Arumi ketika gadis itu akhirnya membuka kelopak matanya.

"Aduh ... pusing ...." rintihnya sambil memegangi kepalanya.

Arumi mendengkus melihat Anggun yang mengeluh pusing. Padahal ia tahu bahwa ini semua kesalahannya sendiri.

"Jangan pake alasan, ayo, cepat pulang sana." Arumi beranjak dari tepi pembaringan.

"Kok aku di sini .... Abang mana?" tanya Anggun sambil memukul kepalanya yang sakit.

Arumi menatap Anggun yang kebingungan, mengapa bisa berakhir di apartemennya. Ia mengingat ucapan Ganang, yang mengatakan bahwa Anggun sangat tergila-gila padanya. Sekarang Arumi benar-benar yakin kalau Anggun memang tergila-gila pada Ganang.

"Mbak ... Abang ke mana?" Anggun mengulangi pertanyaan yang tidak mendapatkan jawaban dari Arumi.

Arumi mengangkat bahunya, kemudian berjalan keluar dari kamar yang ditempati Anggun. Setelah tiba di pintu, Arumi berhenti, kemudian membalik tubuhnya menghadap kearah Anggun yang masih memijat kepalanya.

"Kamu memang sudah gila!" ucap Arumi, kemudian meninggalkan Anggun di kamar dengan wajah semakin kebingungan.

Arumi meletakkan empat papan roti tawar ke dalam mesin pemanggang, kemudian menutup dan menyalakan tombol pemanggang. Ia juga menyiapkan dua cangkir yang diisi gula dan teh celup ke dalamnya, lalu menyeduhnya dengan air panas.

Satu gelas diletakkan di atas meja, sementara yang satu gelas lagi dipegangnya. Terdengar suara 'ctek' menandakan bahwa roti di dalam mesin pemanggang telah matang.

Arumi sedang mengeluarkan roti dari mesin pemanggang ketika Anggun dengan langkah terseok keluar dari kamar tamu, menuju ke meja makan. Kedua tangannya masih memijit kepala.

Tanpa disuruh gadis itu duduk di kursi yang telah terhidang secangkir teh manis hangat.

Arumi meletakkan roti panggang di atas piring, kemudian menaruhnya di atas meja. Setelah itu, ia duduk di kursi yang berhadapan dengan Anggun. Ia melakukan semua tanpa berbicara sepatah kata pun. Sementara Anggun terus memperhatikan Arumi.

"Mbak, marah, ya?" ucapnya tiba-tiba dengan wajah penuh penyesalan.

Arumi menatap wajah Anggun, kemudian fokus pada cangkir tehnya. Ia menyeruput teh, kemudian menggigit roti panggang buatannya. Menikmatinya tanpa suara.

"Mbak ...," ucapnya lagi, merengek. "Aku ga bakal nyusahin kamu lagi, deh. Janji."

Mata Anggun yang menghitam di bagian bawahnya menatap Arumi dengan bibir cemberut.

"Ya, Mbak, ya ... aku janji beneran, nih. Maaf deh, beneran. Aku minta maaf," ujarnya lagi sambil mengacungkan jari kelingkingnya yang sebelah kanan kearah Arumi.

Arumi tidak menanggapinya, ia malah berdiri meninggalkan meja makan setelah menghabiskan satu potong roti panggang.

Anggun mendengus kesal dengan sikap Arumi yang membuatnya jengkel.

"Aku kan udah minta maaf, kok dicuekin," gerutunya dengan bibir mengerucut.

"Kalau sudah selesai sarapannya, letakkan kembali di tempat cucian piring. Terima kasih kalau kamu bersedia mencuci dan meletakkannya di atas tatakan." Arumi berbicara ketika mendengar gerutuan Anggun di belakangnya. "Satu lagi, silakan tinggalkan apartemenku setelah kamu membereskan tempat tidur yang telah kamu tempati semalam."

Sia-sia saja memberikan kesempatan pada Anggun untuk berubah. Karena ia tahu, gadis pemabuk yang gila dengan alkohol itu tidak akan bisa berubah sedikit pun.

Anggun memang gadis keras kepala yang tidak bisa diingatkan. Meskipun sudah ratusan kali Arumi mengingatkan, memarahi, bahkan menjadi cerewet demi kebaikannya, gadis itu masih tetap menjadi Anggun dengan kepala batunya.

***