webnovel

Part 13

Bahkan dalam sedihnya, Binar terlihat sebagai wanita yang benar-benar anggun. Tak ada tangis sesenggukan yang terlalu dramatis. Dia hanya diam dalam napas yang tidak teratur, membiarkan tetes-tetes air matanya turun membasahi pundak pria yang erat memeluknya.

Sore itu waktu terasa berjalan cepat. Entah mengapa, tangisan sang wanita berambut hitam justru membuat kebersamaan mereka menjadi hangat. Bahkan detik-detik yang berjalan seperti tidak rela membiarkan mereka menikmati kedekatan yang begitu erat. Berusaha memisahkan mereka dengan menjadikan matahari turun dan bersembunyi di dalam hitam.

Binar menarik kepalanya mundur menjauhi pundak yang sudah basah oleh air matanya. Kepala wanita itu masih tertunduk. Pipinya merah dan jelas terlihat basah.

Dengan sentuhan dan gerakan yang begitu lembut, Farhan memegang dagu Binar dan membantu wanita itu melihat ke depan. Menatap ke arahnya dengan mata cokelat yang penuh kesedihan. "Semua akan baik-baik aja."

Farhan lalu menggerakkan tangan kanannya untuk meminggirkan helai-gelai rambut yang menutupi wajah Binar. Kemudian tangannya bergerak dengan lebih manis, menyusuri pipi sang kekasih dan mulai membasuh sisa-sisa air mata yang ada di sana. Lebih lanjut, jari-jemarinya merangkak naik ke bawah mata dan membersihkan sisa-sisa basah yang berada di ujung-ujung.

Dengan kedua matanya, Binar tidak membiarkan wajah Farhan lepas dari pandangan. Menatapnya lekat dan penuh harap. "Kamu tahu dari mana kalau semua akan baik-baik aja?"

"Karena kamu itu wanita paling kuat yang pernah aku kenal."

Sebuah senyum. Satu senyum manis yang tersungging dan menghiasi wajah lembut pria itu. Senyum yang tidak pernah bosan Binar menatapnya. Senyum dari seorang pria yang mencintai Binar dengan sepenuh hati.

Tanpa perintah, kepala Binar bergerak maju mendekat. Menyisihkan jarak yang memisahkannya dan Farhan. Semakin dekat, lalu lebih dekat lagi. Hingga Binar bisa mencium aroma keringat dari tubuh pria itu. Sebuah aroma yang selalu dia suka. Natural dan maskulin. Menutupi bau tipis dari parfum yang Farhan pakai. Dan setiap kali mencium aroma Farhan yang berkeringat, entah mengapa Binar selalu merasa tergoda.

Kedua wajah mereka berhadapan dengan jarak yang tidak mencapai satu jari. Binar dapat merasakan deru napas Farhan yang semakin cepat. Dia menyukai sensasi napas pria itu, yang menyentuh hangat di kulit-kulit wajahnya. Dia menyukai tatap mata Farhan setiap kali mereka berada sedekat ini. Sorot dari mata hitam yang hampir selalu terlihat gugup ketika mereka berada sedekat ini.

Lalu, wanita itu bergerak semakin maju hingga di antara mereka tidak lagi ada jarak, walau hanya sehelai rambut. Hidung mereka sudah saling bersentuhan. Bertukar kehangatan dalam tiap deru napas yang mengalir. Binar tidak lagi bisa melihat jelas tatap dari mata hitam yang selalu dia suka, dan memutuskan untuk mulai memejamkan matanya sendiri. Menekankan hidung agar keduanya makin tak terjeda. Hingga akhirnya, bibir mereka mulai merapat. Bertemu dalam sentuhan paling lembut.

Hangat. Manis. Dan berasa seperti kopi.

Untuk beberapa waktu, mereka hanya diam seperti itu. Merasakan tiap detik di mana udara yang mereka embuskan saling menghangatkan pipi masing-masing. Setelah keduanya sama-sama merasa nyaman, barulah pasangan kekasih itu mulai menggerakkan bibir mereka. Menikmati tiap titik basah dan kehangatan yang tertukar di perbatasan bibir masing-masing. Melekat erat. Melekat kuat. Menukarkan cinta. Dan tentunya, hasrat untuk saling menikmati ciuman mereka.

Dengan kedua tangannya, Binar memeluk Farhan seolah tidak rela membiarkan pria itu terlepas meski hanya sekejap. Dia begitu menikmati pertukaran cinta ini. Merasakan deru napas yang tiap detik kian merangkak naik. Menikmati bibirnya yang basah oleh bibir pasangannya. Melumat setiap bagian dari bibir basah Farhan yang dapat dia selipkan di tengah kedua bibirnya sendiri. Menghidu aroma keringat yang cukup kuat dari leher pria itu.

Hingga tanpa disadari, Binar maju semakin jauh hingga kedua buah dadanya bersentuhan dengan Farhan. Menyadari, bahwa kali ini ciuman mereka jauh lebih berhasrat dari yang sudah pernah mereka lakukan sebelumnya.

Dan ketika itulah, perlahan Binar menarik dirinya mundur teratur. Menjeda kebersamaan mereka dalam cara yang tidak membuat kekasihnya terusik sedikit pun.

Keduanya terdiam, nyaris tak bergerak, dengan bibir yang masih saling menyatu. Satu-satunya hal yang membuktikan bahwa mereka masih hidup adalah embusan napas yang menderu bagai badai. Seiring dengan gerakan lembut dan teratur untuk melepaskan bibirnya dari Farhan, Binar membuka kedua matanya. Pada saat yang sama, Farhan juga melakukan hal serupa. Keduanya saling bertukar tatap untuk waktu yang cukup panjang.

Meski kulit wajah Farhan tidak begitu terang, Binar dapat melihat jelas pipi merona yang menghiasi wajah kekasihnya. Memang bukan yang pertama, tapi ini adalah ciuman paling hot yang pernah mereka lakukan. Jika saja tidak segera menahan diri, Binar tidak tahu apa yang akan terjadi dalam rentang waktu satu jam ke depan.

Dan, seolah tidak saling mengenal, keduanya sama-sama kehilangan bahan pembicaraan. Kikuk, layaknya apa yang mereka lakukan barusan adalah sesuatu yang tabu dan tidak seharusnya terjadi.

Dalam gerak yang tidak benar-benar mulus, Binar bangkit dari sofa tempat mereka tengah duduk dan mulai melangkah ke kamar mandi. "Aku–aku cuci muka dulu, ya."

Sambil memperhatikan seluruh pergerakan kekasihnya, Farhan mengangguk kecil. Apa yang baru saja terjadi membuat jantungnya berdebar terlalu cepat hingga terasa hampir meledak. Menutup wajahnya dengan kedua tangan. Merasa bodoh karena telah membiarkan ciuman luar biasa mereka terjadi di saat Binar sedang tidak baik-baik saja.

***

Jam di dinding sudah menunjukkan pukul tujuh malam, ketika mereka berdua meninggalkan rumah untuk pergi makan malam. Karena ini bukanlah acara yang direncanakan, Farhan mencari tempat makan yang tidak begitu jauh dari tempat Binar tinggal.

Dalam waktu kurang dari dua jam, Binar sudah kembali berada di depan pagar rumahnya. Melambaikan tangan sambil memperhatikan motor yang berlalu kian jauh, hingga tidak lagi dapat terlihat di persimpangan jalan. Setelah mengunci pintu, Binar melangkah ke kamar dan cepat membaringkan tubuh di atas ranjang miliknya sendiri. Meski tidak semewah ranjang milik para pria yang bisa membayar malam untuk bersamanya, tetap saja ranjang ini terasa paling nyaman dan menenangkan. Bebas dari jangkauan tangan-tangan nakal yang selalu berusaha menikmati tiap bagian kecil dari tubuhnya.

Kedua mata wanita itu terpejam. Namun, pikirannya masih berpetualang ke berbagai tempat. Setiap detik, setiap gerakan, setiap deru napas, setiap kali kedua bibirnya melumat bibir sang kekasih; seluruh hal itu masih begitu jelas terputar dalam rekam ingatan Binar. Dan tanpa menunggu perintah, dalam sekejap jantungnya berdetak lebih cepat. Mukanya terasa hangat hanya dengan mengingat kejadian tadi sore.

Tidak bisa dipungkiri bahwa sebuah ciuman hanyalah hal kecil dibanding semua yang sudah pernah Binar lakukan. Namun, ketika hal kecil seperti itu dilakukan pada pria yang dia sayang, sensasinya terasa jauh lebih menyenangkan. Jauh lebih mendebarkan dan penuh dengan cinta. Bukan sekedar hasrat untuk memuaskan pelampiasan. Akan tetapi, bentuk ekspresi kasih sayang atas rasa yang sama-sama mereka rasakan. Keinginan untuk memiliki. Keinginan untuk berbagi. Keinginan untuk saling melengkapi, dalam perjamuan bibir-bibir mereka.

Lalu secara tidak sadar, Binar mulai membayangkan bagaimana rasanya jika suatu saat nanti dia dan Farhan memutuskan untuk melewati batas yang sudah mereka tetapkan. Bagaimana jika suatu hari nanti, Binar tidak lagi merasa cukup dengan sekedar ciuman mesra?

Wanita itu mengambil bantal untuk menutupi wajahnya. Berusaha meredam bayang-bayang yang tidak seharusnya dia pikirkan. Karena, seharusnya wanita itu sekarang jauh lebih memikirkan bagaimana cara untuk menghadapi hari esok. Dia seharusnya memikirkan bagaimana cara untuk menjelaskan ketidak hadirannya hari ini. Menjelaskan semuanya pada Dita, sang atasan yang selalu memperlakukannya secara tidak adil.