Sebuah rumah kosong masih berdiri sempurna. Hanya saja, rumput liar tumbuh di mana-mana. Dedaunan kering berserakan di teras. Cat dinding sudah banyak yang terkelupas. Jelas sekali kalau tidak pernah ada seseorang yang menempati rumah itu sejak lama.
Kini, Ellen dan Ani menggenggam besi pagar. Mereka bertengger di sana seperti orang dipenjara.
"Aku nggak mau masuk," tolak Ani sebelum diajak.
"Ah, cemen. Sama aura hantu aja takut. Emang aura hantu bisa ngapain, sih?"
"Ya, bisa macem-macem. Bisa mbuat kursi jadi melayang, terus dilemparin ke kita. Bisa ... ngapain lagi, ya–"
Belum selesai Ani berpikir, Ellen langsung menggeret tangan Ani masuk ke rumah kosong. Perempuan desa itu sedikit menarik tangannya, enggan ikut masuk. Bulu kuduknya sudah merinding, auranya sudah terasa, kata dia. Namun, Ellen meyakinkan kalau tidak akan ada apa-apa. Lagi pula, perempuan kota itu pemberani, jadi para hantu akan takut sama dia.
Begitu membuka pintu yang tidak terkunci, pandangan mereka menyapu seluruh ruangan. Atap rumah melapuk. Air bocoran hujan membekas di dinding-dinding.
Ellen menarik Ani untuk menjelajahi ruang tidur paling depan. Tiap langkah mereka menimbulkan bekas. Seperti debu tebal yang baru saja disingkap oleh kaki-kaki kecil itu. Ellen menutup hidungnya karena berkali-kali bersin. Udara lembap juga mengganggu pernapasan mereka.
Sinar matahari yang menerobos masuk lewat kaca jendela di kamar itu sangat membantu penglihatan. Mereka menjelajahi setiap sudut, menyentuh barang-barang di sana dengan bersemangat. Begitu seterusnya sampai pindah ke berbagai ruangan. Kini Ani mulai percaya kalau tidak ada hal menakutkan di sana.
Ketika berada di salah satu ruang anak, Ani menemukan buku bacaan yang menarik. "Ellen, Ellen, coba lihat ini!"
Ellen mendekat. Ani mulai membalik satu per satu halaman di buku tersebut. Sementara itu, Ellen melihat dengan seksama.
Akan tetapi, tidak seperti buku cerita pada umumnya yang memiliki teks, semua halaman di buku ini hanya berupa gambar. Ellen mengerutkan kening. Dia menemukan pola yang sama pada setiap halaman. Ada bulatan merah dan hijau di setiap halaman. "Menurutmu, ini apa?" Ellen meletakkan jarinya di atas bulatan merah. "Di setiap halaman ada bulatan kayak gini, lho." Dia membalik halaman dan menunjukkan bulatan merah yang sama pada Ani.
"Eh, iya, ya. Apa ini?" Ani ikut-ikutan menunjuk bulatan merah itu. Tepat di titik yang sama dengan jari Ellen.
Dalam waktu yang singkat, dunia berputar cepat. Mereka hanya bisa berteriak dan tidak dapat mengendalikan diri. Rasanya, seolah tersedot oleh dunia lain, membawa mereka entah ke mana.
"Tolong kita–!" Mereka melontarkan permintaan itu, meski tidak yakin akan ada seseorang yang mendengarnya.