Suasana ruang tamu terasa senyap sejak kehadiran Pak Miko di sana. Bu Nanda langsung ijin kembali ke kamar setelah melihat kedatangan anaknya. Meninggalkan Mia yang sudah pasrah dan harap-harap cemas akan nasibnya ke depan.
Sebuah deheman mengagetkan Mia yang sedang mengelana pikirannya. Ia terperanjat, refleks menoleh ke sumber suara.
"Kamu tentu sudah tau permasalahan yang akan kita bahas, bukan?" tanya beliau dengan nada seriusnya.
Mia menegakkan punggungnya sebelum menjawab, "sudah, Pak. S-saya benar-benar minta maaf," sesalnya.
"Kenapa minta maaf?"
"T-tugasnya jadi kotor, ketumpahan teh tadi," cicitnya. Ia meremas jemarinya, mengalihkan kegugupan yang malah makin menjadi.
Helaan nafas terdengar. "Saya sudah mendengar berita itu dari beberapa sumber. Tidak ada yang bisa disalahkan dalam tragedi tersebut, itu semua terjadi di luar kehendak manusia."
"Tapi nanti gimana sama tugas teman-teman saya, Pak? Mereka sudah mengerjakan tugas dari Bapak dengan sungguh-sungguh, tapi malah rusak gitu aja. Itu sudah menjadi tanggung jawab saya, Pak. Saya takut membuat mereka kecewa sama saya, dikiranya saya yang teledor."
"Lalu kamu mau bagaimana? Ada saran?"
Mia menggeleng pelan. Sudah ia pikirkan jalan keluarnya, jalan tengah-tengah yang dapat diterima kedua belah pihak (dosen & mahasiswa). Tapi sama sekali ia tak menemukan solusinya.
"Oke, anggap saja tugas hari ini ditiadakan."
"T-tapi gimana sama nilai kami, Pak? Nanti kosong, dong? Pasti kecewa banget kalau tugasnya nggak dapet nilai, sia-sia dong ngerjainnya..." protes Mia, menolak usulan dosennya tersebut.
"Saya sudah kasih solusi, atau kalian mau ngerjain lagi? Tapi dengan artikel yang berbeda tentunya," usulnya tanpa beban. Yakinlah, beban sebenarnya dipikul oleh para mahasiswa.
Pingin nangis rasanyaaa... Gini amat cuma buat dapetin ijazah.
"Tapi berita tadi pasti sudah tersebar, Pak. Apalagi tadi banyak yang lihat pertengkaran saya sama kakak tingkat. Nama saya udah terlanjur jelek, Pak.." rengekku tanpa sadar.
"Ya terus mau gimana? Saya sudah berbaik hati untuk tidak mengambil nilai tugas tadi," desahnya.
"Tadi Bapak nggak bilang gitu."
Beliau hanya menaikkan sebelah alisnya. Sok keren banget! Tapi... Sayangnya emang keren banget... ;)
"Bapak bilangnya tugas hari ini dianggap tidak ada, artinya nilainya kosong 'kan, Pak?"
"Dasar kamu ini," ucapnya tak percaya. "Tugas ditiadakan, itu artinya saya tidak ambil nilainya. Nanti akan saya pikirkan tugas penggantinya, jadi nilai kalian tetap aman. Bagi yang tadi ngerjainnya asal-asalan, mereka bisa beruntung karena nggak dinilai."
Mia ber-oh ria setelah mendengar penjelasan dosennya tersebut. Ia sempat berpikiran negatif tentang Pak Miko, dikiranya beliau setega itu bahkan sampai memarahinya karena sudah bersikap teledor tadi.
"Ngomong-ngomong, bagaimana bisa kamu sampai bertengkar sama kakak tingkat?"
"Dia rese' banget, Pak. Udah salah tapi nggak mau ngakuin kesalahannya. Malah kebanyakan alasan gitu, jadi seolah-olah dia itu korban, dan mencari pembenaran dari perbuatannya itu. Saya langsung emosi gitu aja pas dia kayak gitu, nggak peduli lagi dia kakak tingkat atau ketua BEM sekalipun," ucap Mia menggebu, menceritakan sumber kemarahannya kepada Pak Miko.
Dosen muda tersebut mendengar cerita gadis di depannya dengan seksama, nampak penasaran dan tertarik dengan gadis tersebut. Ehm, maksudnya tertarik dengan cerita yang dibawakan olehnya dengan penuh penghayatan. Rasa lelahnya akibat bekerja seharian serasa lepas semua saat mendengarkan curhatannya.
Ia jadi membayangkan bagaimana jika mereka menjadi pasangan suami istri kelak? Pasti hari-harinya akan lebih berwarna, apalagi saat mereka bercerita tentang kegiatan seharian ini. Pillow talk gitu.
Apasih kok sampai pillow talk segala? Sofa talk yang ada...
Mia terheran-heran saat mendapati dosen muda tersebut menggelengkan kepalanya. Apa yang sedang dipikirkan oleh dosennya tersebut? Apa beliau menyesali keputusannya perihal tugas siang tadi? Gawat kalau beneran masalah nilai!
Dengan perasaan takut yang amat kentara, Mia mencoba menyadarkan dosennya tersebut. "P-pak Miko," panggilnya sambil menggoyangkan tangan di depan wajah beliau. Maaf kalau dinilai nggak sopan, ia nggak mau kalau sampai beliau ketempelan makhluk halus! Normal aja udah serem, gimana kalau ketempelan? Bisa tambah-tambah galak nanti.
"Y-ya?" Beliau agak tergagap, mencoba menyembunyikan salah tingkahnya dengan berdehem.
"Berarti fix tugas hari ini nggak dinilai 'kan, Pak? Nanti kitanya udah seneng-seneng, eh malah ternyata dinilai."
"Ooh, jadi kalian seneng kalau tugasnya nggak dinilai?"
"Eeh, b-bukan begit-begituu, P-pak..."
"Kalian nggak suka ya kalau dapet tugas dari saya? Jadi selama ini kalian terpaksa ngerjainnya, gitu?" selidiknya. Matanya memicing menunggu jawaban mahasiswinya tersebut. Ia penasaran tentang penilaian langsung dari gadis tersebut.
"Ng-nggak! Apaan sih? Siapa yang bilang nggak suka? Saya cuma jujur aja, Pak. Menyampaikan apa yang selama ini mahasiswa rasakan saat mendapatkan banyak tugas dari dosennya. Rasanya berat banget saat tugas menumpuk dan harus segera dikumpulkan semuanya. Bahkan saya sering kepikiran buat pindah jurusan aja, Pak, saking keselnya.."
"Pindah jurusan?" setiap kata terdapat penekanan di sana, seolah ingin mendapatkan kejelasan akan kalimat yang terdengar.
"Ehehe, soalnya saya ngerasa ini bukan bidang saya, Pak. 'Kan saya anak tata busana sebelumnya, eh malah nyasar di pertanian. Melenceng jauh, Pak. Makanya saya ngerasa keteteran di sini, jadi pingin pindah jurusan yang linier sama jurusan saya sebelumnya."
"Dicoba dulu di pertanian, jangan langsung pindah," usulnya.
"Bapak bilang kayak gitu bukan karena Bapak dosen pertanian, 'kan?" Mia curiga, takutnya beliau akan mengadukan keinginannya tadi kepada dosen-dosen yang lain. Bisa ditandai nanti!
"Apa korelasinya antara kamu pindah jurusan dengan status saya sebagai dosen pertanian? Saya rasa itu hak kamu untuk menentukan apa yang akan kamu lakukan ke depannya. Sebagai seorang tenaga pengajar, saya hanya ingin kamu mencoba bertahan sebentar lagi. Siapa tau nanti kamu menemukan kenyamanan di sana."
"Tapi saya udah nggak tahan, Pak. Jujur aja saya udah usaha semaksimal mungkin, tapi hasilnya gitu-gitu aja. Saya ngerasa nggak dapet apa-apa di sana, nggak ada perkembangan gitu.."
"Kamu nemuin hal-hal yang membuatmu tertarik, nggak? Kalau nemuin, maka hal itu bisa dijadikan sebagai alasan kamu buat bertahan."
'Yang membuatku tertarik itu kamu, Pak,' batinnya girang. Tapi ia langsung tersadar, dosen di depannya ini killer banget, ya walaupun ganteng siiih. Buat apa menyangkalnya? Toh memang sudah terbukti nyata kalau beliau itu dosen muda nan tampan, mapan, dan menawan. Rawr!
"Apa ya..." Mia mencoba sok-sokan berpikir, meletakkan telunjuk dan ibu jarinya di bawah dagu.
"Saya bisa bantu kamu," eh! Ada angin apa beliau mengusulkan diri seperti itu? Nggak biasanya, deh! Apalagi Mia, Miko pun heran dengan ucapannya sendiri. "Maksud saya, kalau kamu menemukan kesulitan bisa didiskusikan sama saya," takut terjadi kesalahpahaman, kan bisa makin panjang urusannya.
"Nggak usah, Pak. Takut ngerepotin nanti," ucap Mia sungkan. Walaupun nggak baik nolak rejeki, tapi mending cari aman aja deh.
"Saya nggak ngerasa direpotin. Justru saya merasa senang bisa membantu mahasiswa saya. Ini penawaran terbatas, syarat dan ketentuan berlaku.."
"Nggak gratis, dong?" ceplosnya ngasal. Ia langsung menutupi mulutnya, merutuki kelancangannya tersebut.
"Di dunia ini nggak ada yang gratis," ucapnya dengan nada datar.
Mia butuh setangkai bunga! Atau kancing baju juga boleh! Mia kudu ottokhae???
.
.
.
.
.
to be continue