webnovel

Maaf, Pak!

Mia itu seorang mahasiswi baru di sebuah universitas ternama, jurusan yang dia ambil adalah pertanian, tapi dia lulusan SMK jurusan Tata Busana. Yang namanya berada di dunia baru, tentulah Mia membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan lingkungannya, apalagi melihat latar belakang pendidikan sebelumnya. Mata kuliah yang berbeda dari bidang yang ia geluti sebelumnya, membuatnya merasa keteteran saat diberi tugas oleh para dosen. Ia merasa frustasi saat semua tugas berkejaran untuk minta segera diselesaikan. Ia pingin ke luar aja! Tapi... Itu semua cuma angan semata, apalagi saat mereka kedatangan dosen baru yang terkenal akan ke-killer-annya. Dosen tersebut berhasil menggagalkan keinginan Mia untuk berhenti kuliah. Bagaimana bisa? Start: 25 November 2020

Lemon_lee · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
23 Chs

H

Tampang seorang pria di seberang meja sudah asem tak tertolong. Ia merasa kesal karena diperintah-perintah saat di rumahnya sendiri. Apalagi sosok perempuan muda yang tersenyum malu-malu itu, ia tau niat terselubung mahasiswinya itu.

Kabar burung yang beredar di lingkungan kampus sudah sampai di telinganya. Ia merasa kesal dan terganggu, namun ia tak punya hak untuk membungkam semua mulut mereka. Dua tangannya hanya cukup ia gunakan untuk menutup kedua telinganya.

"Ambilin piring sama sendok sekalian, Mas. Masa' iya makan pakai tangan di bungkusnya? Peka sedikit, gitu lhoh, Mas. Gimana mau cepet punya pasangan kalau nggak peka begitu?"

Dengan perasaan kesal, ia pun menuruti kemauan Ibunya. Tak tega rasanya mengabaikan beliau, walaupun rasa kesal sedang mendominasi.

Diletakkannya piring dan sendok di meja ruang makan, kemudian memindahkan menu lothek ke piring.

Dua wanita beda usia yang tadi asyik bercengkerama di ruang tamu, kini sudah berpindah ke meja ruang makan.

"Silahkan dinikmati lotheknya. Maaf ya kalau seadanya, kamu tau sendiri pemilik rumah ini masih bujang. Jadi rumah ini belum ada sentuhan wanita selain art dan Ibu sendiri."

Oke, siap-siap dikuliti sama Ibunda Ratu. Aib yang tak seorangpun tau (selain keluarga) bakalan terbuka perlahan. Entah disengaja atau tidak oleh ibunya.

Lothek yang biasanya menjadi menu favoritnya, kini terasa hambar dilidahnya. Ingin menyudahi acara makannya, namun belum apa-apa sudah mendapat tatapan peringatan dari Sang Ibu.

"Kamu masih kuliah ya? Di jurusan apa kalau Ibu boleh tau?"

"Pertanian, Bu. Saya mahasiswinya Pak Miko juga.." jelas Mia.

Mungkin ia berniat untuk menjelaskan statusnya kepada Ibu, bahwa mereka hanyalah sebatas dosen dan mahasiswa.

"Semester berapa? Sudah ambil skripsi?"

"Dia mahasiswi baru, Bu," sela Pak Miko.

"Masih baru? Kok mau sama bujang lapuk Ibu? Kamu nggak dipaksa 'kan sama dia?"

Tatapan sengit Ibu kembali mengarah ke anak bujangnya yang merasa serba salah.

"Maksud Ibu apa, ya?"

Halah, sok pasang muka polos. Padahal sudah mencak-mencak dalam hati sana.

"Sudah jangan malu-malu. Kayak Ibu nggak pernah muda saja. Nggak apa-apa, jalani saja dulu. Kalau memang berjodoh, semoga bisa berakhir bersama di pelaminan."

Waduh! Fix ini udah makin dalam salah pahamnya. Kok mau ngasih pembelaan berasa sulit banget, ya? Kayak nggak bisa nemuin celah gitu.

"Kami nggak terlibat dalam hubungan yang seperti itu, Bu," Pak Miko yang sudah mulai jengah mencoba untuk melawan balik.

Sudah cukup ia mengalah sedari tadi, kini saatnya untuk membela dirinya sendiri. Mia? Biarlah itu menjadi urusan perempuan itu sendiri.

Suasana di ruang makan berubah canggung, terutama bagi sepasang muda-mudi yang berstatus single itu, namun tak disadari oleh Ibu. Atmosfir kebahagiaan masih menguasai beliau, bahkan sampai acara makan lothek selesai dan beliau pamit pulang.

"Ya sudah, Ibu pulang dulu ya. Mia, kamu jangan sungkan buat berkunjung ke rumah Ibu. Minta saja Masmu ini mengantar ke rumah, atau mampir sekalian kalau kamu lagi main ke sini. Ibu tunggu kedatangannya ya Cah Ayu..."

Si Bapak dosmud nampak frustasi dengan penilaian Sang Ibu. Ia masih terdiam di tempatnya duduk, helaan nafas sesekali terlihat ia lakukan untuk menenangkan diri.

"Maafkan Ibu saya, Mia.."

"N-nggak papa, Pak," jawab Mia pelan.

"Saya tau kamu merasa kurang nyaman tadi. Tapi saya nggak bisa banyak membantu, karena posisi kita sama-sama tertekan."

Mia tersenyum, namun yang terlihat sangatlah aneh. Senyumnya terlihat kaku, dipaksakan, dan tak sampai ke matanya.

Namun ia tak ingin terus terjebak dalam situasi yang awkward ini. Maka ia putuskan untuk mengembalikan pembicaraan ke topik awal.

"Maaf, Pak. Kapan kita akan memulai diskusinya?"

"Ah, iya. Saya ada penawaran buat kamu," ia berhenti sejenak, memperhatikan respon Mia yang sedang berbalas pesan entah dengan siapa.

Merasa tak mendengar ucapan dosennya, Mia sadar diri dan mematikan ponselnya. Ia masukkan lagi benda pipih itu ke dalam tas.

"Di semester depan saya mendapat jadwal untuk mengajar di angkatan kamu. Melihat performa kamu selama ini, saya ingin kamu menjadi koordinator lagi di kelas saya nanti."

Mia spechless.

Perasaan selama ini dia biasa aja kerjanya, bahkan nggak kelihatan kalau dia getol banget buat menjalankan jobdesc-nya. Ia berbeda dari mahasiswa lain yang ambisius banget buat jadi koordinator kelas beliau. Biar bisa tebar pesona sekalian, gitu.

Yang tidak diutarakan, ia juga sering mengata-ngatai dosen muda di depannya itu. Sering merutuki sikap beliau ke mahasiswanya yang sering seenaknya. Ya walaupun itu emang udah tuntutan kerja, sih.

"Nggak salah, Pak?"

"Kenapa? Kamu nggak mau?"

"Bukan begitu, Pak. Tapi-"

"Jarang-jarang saya berlaku demikian. Cuma sama kamu saya berlaku demikian. Jadi?"

"Saya pikir-pikir dulu, Pak."

Beliau tampak kurang puas dengan jawaban Mia. Ia menawarkan sesuatu pada seseorang, tentulah bukan sekedar menawarkan. Ia memilih dengan cermat, siapa yang dapat dipercaya dan kompeten di bidangnya. Dalam hal ini, Mia termasuk dalam kriterianya tersebut. Ia ingin mahasiswinya tersebut dapat berkembang dan menemukan passionnya.

"Jangan terlalu banyak berfikir. Saya menemukan potensi yang besar dalam diri kamu, dan itu masih bisa terus dikembangkan dan digali," biarlah ia terkesan memaksa. Toh semua ini demi kebaikan Mia nanti.

"Saya gaji kamu kalau perlu."

Busyet! Enteng banget ngomongnya!

Emang ada yang kayak gitu? Cuma koordinator kelas, tapi dapet gaji juga? Kalau asisten praktikum, baru Mia percaya.

Tapi buat Pak Dosen, apapun akan ia usahakan. Walaupun harus mengikhlaskan sedikit pendapatannya untuk menggaji mahasiswa.

"Tapi saya nggak kerja sama Bapak."

"Anggap saja reward dari saya. Benar katamu, kamu nggak bekerja buat saya. Kamu bekerja buat temen-temen kamu."

Walaupun sering dinistain pas ngasih kabar kalau ada titipan jurnal internasional, dinyinyirin gegara sering nagih tugas di grup, tapi tanggungjawab tetaplah tanggungjawab. Nggak mungkin ia buang tugas yang sudah dikerjakan oleh teman-temannya dengan sepenuh hati ke tempat sampah, demi membalas perbuatan mereka.

Bisa-bisa ia didemo sama teman sekelasnya nanti. Disuruh ngerjain tugas mereka dari awal sampai akhir kuliah.

"Kok malah ngelamun?" Dosen muda tersebut nampak tak suka karena merasa diabaikan oleh lawan bicaranya. Ia sangat benci akan hal itu. Diabaikan!

"Eh! M-maaf, Pak!"

"Oke, saya kasih waktu sampai pengumuman KHS nanti. Saya harap kamu menerima tawaran saya ini, Mia."

Duh! Kalau gini caranya, gimana dia bisa terbebas dari dosen killer ini? Padahal ia sudah merencanakan untuk pensiun dari jabatannya ini. Jadi kalau dia pindah nanti, sudah ada kandidat yang menggantikan posisinya.

Tapi dia punya hak buat nolak juga, bukan?

.

.

.

.

.

To be continue