webnovel

26. Sakitnya Masih Terasa

Arwin menutupi matanya yang disilaukan oleh mentari pagi, Setelah cukup beradaptasi ia menyingkirkan tanganya perlahan.

Dia bangun dan melihat sekeliling untuk mengingat-ingat potongan-potongan memori yang belum menyatu di otaknya. Beberapa saat sesudah itu matanya langsung terbuka segar kembali.

Reflek kepalanya menoleh ke sebelah kanannya, Namun nihil. Kamar mandi, di depan lemari juga tidak luput dari penglihatannya untuk mencari sosok remaja yang baru saja diperkosa olehnya semalamam itu.

Tetapi tetap saja hasilnya tidak ada. Menggaruk kepalanya bingung, Perasaannya campur aduk saat ini. Ia sedikit bergeser ke pinggir ranjang dan menurunkan kedua kakinya, Kini tatapannya beralih ke lantai.

Hanya pakaiannya yang masih tersisa di sana. Mengusak surainya frustasi, Arwin bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang benar-benar lengket, Bahkan perut dan bagian selangkangannya bernoda sperma yang belum sepenuhnya kering.

Usai mandi, Ia keluar dengan telanjang bulat, Air-air yang menetes dari tubuhnya ia biarkan membasahi lantai, lagipula tidak ada siapapun di kamar ini selain dirinya. Diminumnya segelas air putih di nakas samping ranjang dan menilik jam dinding di sana, Jam 10 pikirnya, Pantas saja sosok remaja itu tidak lagi ditemukannya.

Hela nafas, Arwin mulai memunguti satu persatu pakaian miliknya yang berserakan di lantai, Berjalan ke tempat sampah lantas membuang seragam sekolahnya begitu saja.

Beruntung hari ini mereka diliburkan karena tanggal merah, Jadi Arwin tidak perlu repot-repot mendengar Hpnya berdering tanda bahwa sang mama menelepon, Dia sendiri pun tidak tahu dimana letak benda itu setelah kejadian kemarin.

Bayang-bayang pergulatannya di sore hingga malam tersebut kembali berputar di benaknya. Bukannya jijik, Arwin malah tersenyum miring. Sekalipun tidak menyangka kalau dia adalah pria pertama yang merebut keperjakaan Rino.

Padahal dengan tampang yang tampan dan tinggi seperti itu, Rino seharusnya tidak perjaka lagi. Akan tetapi dugaan seseorang tidak selalu benar, Sekalipun tebakannya sendiri.

Hembusan angin membuat khayalannya pudar, Arwin menengok pada jendela, Tampaknya keadaannya sudah terbuka seperti itu sejak mereka bergulat.

Segera ia menuju lemari, mengambil handuk dan memakainya kemudian berjalan mendekati jendela. Dengan pelan dibukanya pintu jendela kaca tersebut untuk menghirup udara bebas serta bersih disekitar vila yang berada di pegunungan Tinombala ini.

***

Rani panik, Berkali-kali dia harus sedikit berlari dari tempat dagangan baksonya menuju kamar anak sulungnya guna mengecek kondisi sang anak. Bagaimana dia tidak panik jika seharian kemarin putranya itu tidak sekalipun memberinya kabar bahkan saat sang surya meredup digantikan oleh bulan, Kabar tentang keberadaan sang anak pun tak kunjung diterimanya.

Tau-tau pagi tadi dia menemukan sang anak entah sejak kapan terbaring lemas di tikar yang berada di kamarnya dalam keadaan memperihatinkan. Rani masih ingat jika baju itu adalah pakaian yang dikenakan Rino kemarin.

Juga sampai detik ini anak sulungnya itu belum juga membuka mulutnya, Yang dilihatnya Rino kebanyakan menatap ke atap dengan tatapan kosong. Bubur yang Bundanya siapkan sejak pagi masih tetap utuh tidak tersentuh sedikitpun olehnya.

Wanita itu berucap cemas, "Sayang, Itu buburnya dimakan, Atau Bunda mau buatkan yang hangat lagi... Kamu mau apa?"

Rino, "..." Rani menghela nafas sedih, Seumur hidup baru kali ini anak sulungnya terlihat seperti ini. Sebagai seorang wanita yang mengandung dan melahirkannya hati Rani bagai remuk menyaksikan pemandangan didepannya.

Rani, "Ya sudah bila kamu tidak mau cerita sama bunda, Bunda mengerti kamu pasti punya masalah, Tapi Bunda mohon jangan seperti ini" Lirihnya lalu terisak dalam diam.

Kesadaran Rino berangsur-angsur pulih mendengar suara tangis Bundanya. Menoleh dan benar saja Bundanya tengah menangis dan itu karena dirinya. Menyampingkan semua masalah di kepala dan juga tubuhnya Rino memaksa bangun dan langsung memeluk erat Bundanya.

Rani terkejut, lantas tersenyum lembut dia membalas memeluk sang anak.

Rino, "Maaf, Gara-gara Rino, Bunda jadi nangis seperti ini" Dia menenggelamkan kepalanya di bahu sang Bunda.

Rani segera menenangkan anaknya, "Shuuut... Tidak usah minta maaf begitu, Bunda hanya khawatir kamu akan sakit kalau tidak makan, Sejak pulang tadi sampai sekarang kamu belum makan apa-apa loh"

Rino bungkam namun di detik berikutnya sebuah isakan terdengar jelas di telinga Rani membuat wanita itu kaget serta merasa mungkin anaknya menangis karena ucapannya barusan.

"Jangan nangis sayang, Bunda minta maaf" Rino menjawab gelengan kepala.

Rino, "Bunda hiks... tidak apa-apa kan kalau Rino peluk begini sebentar saja" Lirihnya terisak.

Rani, "Peluk saja sepuasmu, Menangis saja, Bunda siap jadi tempat sandaranmu" Ujarnya lembut, Bukannya tenang isakan Rino justru terdengar semakin kencang.

Untuk kali ini Rani tidak bertanya lagi dan memilih diam sambil menepuk-nepuk pundak putranya.

Potongan-potongan gambar dimana dia digerayangi paksa masih tetap melintas di otaknya tanpa henti membuatnya nyaris gila. Tidak akan menyangka bahwa keputusannya untuk berpacaran dengan pria itu akan menjadi malapetaka bagi dirinya sendiri.

Tubuhnya, terutama di bagian bawah jelas sakitnya masih dirasakannya. Sekeras apa ia ingin menyangkalnya namun bukti di badannya memperjelas semuanya.

Untung pria itu tidak memberinya cupang di lengan atau lehernya, Jika tidak mungkin sang Bunda sudah mengetahui penyebab dia seperti ini. Tidak, tidak, Rino menggeleng cepat, Lebih baik dia menanggung beban ini sendirian daripada harus melihat kekecewaan dari wanita yang telah melahirkan dan membesarkannya.

Rani, "Sudah ya nangisnya, Makan dulu, Kalau kamu mau nanti Bunda suapin" Tawarnya seraya melepaskan Rino dari rengkuhannya dan menatap wajah tampan duplikat sang suami itu dengan pandangan teduhnya.

Sekilas Rino menatap Bundanya, Kemudian mengangguk malu. Rani terkekeh kecil, Diraihnya mangkuk bubur yang sebelumnya diletakkannya di samping tempat tidur Rino dan mulai menyuap anaknya.

Mereka terus diam dengan Rani yang terus tersenyum menggoda sang anak sampai sebuah buntalan berbentuk kepala muncul dari balik pintu sambil menggigit jarinya.

Karena posisinya yang membelakangi pintu, Rani jelas tidak melihat kehadiran buntalan kecil itu kecuali Rino. Masih dalam keadaan mengunyah, Rino berusaha menunjuk Dani melalui lirikan mata serta memajukan bibirnya berkali-kali.

Rani memandang aneh sang anak, "Kamu ngapain Rin?" Herannya.

Remaja itu tetap tidak menyerah, Sekali lagi dia mengkode Bundanya, Namun bukannya mengerti malah Rani terlihat seperti orang bodoh dengan wajah berkerutnya.

Mendengus pelan, Rino mempercepat proses penguyahan di mulutnya kemudian menelannya, "Ituloh Bun, Ada Dani di balik pintu" Seraya menunjuk.

Segera Rani menoleh, Detik berikutnya dia tertawa mendapati anak bungsunya yang seperti ngiler melihat abangnya makan, Atau bisa dikatakan iri.

Rani, "Kenapa Sayang?" Tanyanya pada Dani.

Bocah itu menggelengkan kepalanya, "Dani mau dicuap juga Bun" Ujarnya polos.

Rino refleks tertawa, Dia memanggil sang adik dengan gestur mengajak. Setelah adiknya sampai Rino langsung memangkunya dan keduanya secara bersamaan menatap bunda mereka.

Geleng-geleng kepala, Rani tersenyum manis lantas mulai menyuap remaja dan bocah kecil itu secara bergantian.