webnovel

Sagara keren

Hari H makin dekat. Dan Sagara terlihat sungguh-sungguh dalam belajarnya. "Ningrum, aku mau tes kemampuanku, kamu bacain soal, dan biar aku yang jawab."

"Hem, ide bangus." Ningrum meletakkan dua cangkir kopi di meja makan untuk menemani belajar mereka. Seperti biasanya, mereka belajar menunggu malam agak larut agar tidak ketahuan oleh Bi Lilis. Karena biasanya di atas jam 8 malam Bi Lilis sudah pergi tidur.

"Yaudah, kamu mau soal apa dulu?" Tanya Ningrum sembari menarik kursi dan duduk.

"Aku mau coba soal kimia." Ucap Sagara antusias.

"Kamu yakin?" Dahi Ningrum mengeriyit tak percaya.

"Yakinlah!" Sagara tersenyum penuh percaya diri, itu karena dia sangat yakin akan dapat menjawab semua pertanyaan dari Ningrum.

"Oke... kita mulai soal pertama," Ningrum mencari soal yang ada di dalam buku cetak. "Denger baik-baik, ya? Pada model atom Niels Bohr elektron mengelilingi inti dalam lintasan namun elektron tidak dapat jatuh kedalam inti atom, karena?"

"Elektron mengorbit inti atom pada tingkat energi tertentu, dan tidak dapat berpindah dari tingkat energi orbit ini tanpa adanya perubahan energi." Jawab Sagara mantap. Ningrum bahkan sampai menatap tak percaya.

"Oke, sekarang kita coba soal ke dua."

"Boleh," Sagara tersenyum penuh arti.

"Nama senyawa HNO3 dan H3PO4 adalah?"

Gara tampak berpikir sebentar, "Asam klorida dan asam sulfat."

"Soal ke tiga, Kalor pembakaran gas CH4 adalah?"

"+794 ku/mol."

Sekarang Ningrum menatap takjub pada Gara. "Aku tidak menyangka kau bisa belajar secepat ini. Dan daya ingatmu sangat luar biasa."

"Tentu saja," Gara mengusap hidungnya bangga. Padahal dia bisa melakukan itu semua karena meminum obat ramuan misterius yang di temukannya beberapa hari yang lalu. Sehingga ia memiliki daya ingat yang cermelang.

"Jika seperti ini, aku yakin kau akan lolos menjadi salah satu murid penerima bea siswa." Ningrum tersenyum senang. Sedangkan Sagara menatapnya tanpa berkedip. melihat gadis itu tersenyum senang, ia seperti merasakan kedamaian tersendiri di hatinya.

"Gara... mau coba soal dari pelajaran lain?" Suara Ningrum membuat lamunan Sagara buyar.

"Ah... ya, boleh, siapa takut!" Ucap nya sedikit salah tingkah.

"Baiklah, bagaimana kalau soal Fisika?"

"Boleh."

Ningrum dengan semangat membacakan soal-sola lainnya. Dan Sagara selalu bisa menjawabnya dengan benar. Membuat seorang Ningrum benar-benar salut padanya.

"Astaga... kau keren sekali. Ternyata kau sungguhan pandai." Pekik Ningrum senang.

"Memangnya tadinya kau berpikir apa tentangku?" Selidik Sagara.

Ningrum menggeleng, "tidak... sebenarnya kalau boleh jujur. Tadinya aku sedikit meragukanmu, aku kira kau hanya bermulut besar karena tidak ingin kalah dari Dewa."

Mendengar itu Sagara hanya bisa tersenyum kecut. Awalnya memang begitu, tapi tidak di sangka dia mendapatkan sebuah keajaiban dengan menemukan botol ramuan ajaib yang membuat ingatannya jadi seperti sekarang ini.

"Apa ... aku tampangku, sungguh tidak meyakinkan?" Mendadak Sagara merasa tidak percaya diri. Kalau bukan berkat ramuan itu, pasti dia juga tidak bisa menjawab semua pertanyaan dengan lancar.

"Iya... sedikit, aku lihat kau sangat urakan dan..."

"Dan apa?" Desak Sagara. Namun Ningrum merasa sungkan untuk melanjutkan kalimatnya. "Tidak apa-apa, aku lebih suka orang berkata jujur tentangku daripada berkata manis tapi nyatanya semua palsu. Setidaknya dengan perkataan jujurmu, siapa tahu aku bisa lebih memperbaiki diriku."

"Em... meurutku, tadinya kau itu hanya cowok arogan dan besar mulut saja, manja dan tidak bisa apa-apa."

Jleb!

Kata-kata Ningrum seolah langsung menancap di jantung hati Sagara. Ya... itu terlalu jujur, tapi memang begitu kenyataanya.

"Maaf..." Ningrum mendadak tidak enak melihat perubahan wajah Sagara.

Pemuda dengan wajah lutung itu mencoba tersenyum. "Tidak apa-apa, apa yang kamu katakan benar adanya. Aku memang seperti itu." Jawabnya murung. Ia jadi teringat akan masa-masa tinggal di kerajaan, dirinya hanya menghabiskan waktu untuk bersenang-senang dan tidak peduli apa kata orang. Sampai akhirnya ia di kutuk dan terlempar di dunia yang asing ini.

"Tapi... kau tidak perlu khawatir, aku yakin, kau bisa berubah menjadi orang yang lebih baik jika kau mau berusaha." Ningrum tidak hanya sekedar menghibur, namun ia lebih kepada menunjukkan kepeduliannya. "Aku juga masih banyak kekurangannya, tapi... asal kita mau berusaha dengan baik, perubahan itu pasti ada." Lanjutnya seraya tersenyum hangat.

Mendengar kata-kata Ningrum yang bijaksana, membuat hati Sagara ikut menghangat. Padahal gadis ini sedang mengalami ujian yang sangat berat. Kehilangan orang tua, mendapat penyakit aneh dan di jauhi semua orang. Semua itu pasti tidak mudah di lalui, apalagi usianya masih sangat muda. Tapi... Ningrum berbeda, di balik semua penderitaan yang ia rasakan, ia masih mampu memberi semangat pada orang lain dengan tulus.

"Hei... kenapa tiba-tiba liatin aku kayak gitu?" Mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah Sagara.

Sagara sontak menjejakkan kakinya kembali ke dunia nyata. Tadi ia lagi-lagi melamun. "Enggak... nggak apa-apa. Aku cuma salut aja sama ketegaran kamu. Aku harap suatu saat penyakitmu itu akan segera sembuh dan kamu bisa nemuin kebahagiaanmu lagi."

Ningrum tersenyum mendengarnya, "makasih, selain Bi Lilis, Dewa juga sering bilang gitu ke aku. Dia selalu nguatin aku, jadi nya aku bisa lewatin ini semua."

Wajah Gara mendadak masam lagi ketika Ningrum menyebut nama Dewa. Apa mungkin Dewa sudah mengambil hati Ningrum sepenuhnya? Batinnya.

"Kamu... suka ya sama Dewa?" Daripada penasaran, Sagara memilih untuk bertanya langsung saja.

"Ah... apa? Kamu ngomong apa?" Jelas sekali kalau saat ini Ningrum terlihat salah tingkah.

"Tidaklah, kami kan cuma teman."

Dari gelagat nya saja sudah terlihat jika Ningrum seperti suka dengan Dewa. Jadi Sagara tidak ingin bertanya lebih lanjut lagi. Dia tidak ingin membuat perasaannya sendiri tidak nyaman.

Biarlah apa yang tersimpan di hati tetap menjadi rahasia, meski hati tidak bisa berbohong. Setidaknya ia bisa terus dekat dengan Ningrum adalah sebuah keberuntungan. Masalah siapa yang di sukai oleh Ningrum, Sagara tak ingin terlalu memikirkannya.

Bersambung