Senja selesai bertugas menandakan malam gelap datang menyapa. Motor moge besar yang didominasi warna hitam di setiap sudut body-nya itu sudah rapi terpakir di halaman rumah bergaya minimalis dengan satu mobil merah maroon yang menempati ruang garasi di sisi bangunan rumah. Halamannya kecil namun indah dipandang mata. Dengan rumput hijau sebagai alasnya dan satu pohon besar yang berdiri kokoh di tengah halaman. Di bawahnya ada meja bulat yang ditemani sepasang bangku kecil terbuat besi. Jajaran lampu bulat menghias dan menerangi jalan berbatu yang menjadi akses utama masuk ke dalam beranda rumah.
Damai, itulah suasana halaman depan yang menjadi tempat pilihan remaja jangkung ber-hoodie hitam yang apik dipadukan oleh celana jeans panjang dengan sepatu sneakers biru tua yang membungkus hangat kakinya. Ia bergumam ringan untuk melepas sepi sesaat setelah nyonya rumah memutuskan untuk kembali masuk ke dalam rumah dengan alasan bahwa ia akan segera memanggil anak gadisnya untuk menemui Arka.
Namun, wanita tua itu sangat lama. Membuatnya sedikit bosan kala sepi benar-benar menguasi suasana yang ada di sekitarnya. Toh juga, salahnya sendiri. Siapa suruh datang ke rumah Davira malam-malam tanpa sepengetahuan si gadis?
"Ka? Lo ngapain di situ?" Seseorang menyelanya kemudian.
Arka menoleh. Menatap gadis dengan handuk kecil yang menggantung rapi di pundak kirinya. "Lo baru habis mandi, Ra?" tanyanya mengabaikan pertanyaan dari Arka.
Gadis itu mengangguk. "Kenapa memangnya? Ada peraturan undang-undang tentang gadis perawan yang gak boleh mandi malem-malem?" ucapnya dengan nada enteng sembari berjalan mendekat.
"Ke pasar malam yuk?!" ajaknya tiba-tiba. Davira sejenak tertegun. Remaja ini, selalu saja datang dengan 'kejutan' tak terduganya.
"Ngapain? Rame ah! Gak mau." Davira menyela. Duduk di sisi Arka kemudian meletakkan handuk kecil di atas meja.
Ia menatap Arka. "Lo gak ikut MOS ya?"
Arka menoleh. "Ikut," jawabnya tegas.
"Kok gue gak pernah lihat lo? Gue baru lihat tadi pagi pas lo promosi basket," gumam Davira sembari memainkan ujung kakinya.
"Awal MOS gue liat lo, Ra. Tapi gue gak nyapa aja." Arka menjelaskan singkat. Membuat gadis di sisinya menoleh cepat.
"Terus kenapa gak nyapa? Sombong banget lo sekarang." Davira terkekeh kecil. Masih dengan aktivitasnya memainkan ujung jari jemari kakinya menghantam rerumputan hijau di bawahnya.
Arka Aditnya ikut tertawa ringan. Davira masih sama. Gadis yang terlihat dingin dan tak acuh itu sebenarnya adalah seorang gadis yang hangat. Peringainya baik dan cara bicaranya sangat sopan. Arka sudah mengenal Davira sejak gadis itu masih berusia 8 tahun. Menjadi teman Davira pertama kala semua anak sekolah dasar di kelasnya menjauhi Davira sebab gadis itu tak pandai bergaul.
Arka adalah teman pertama yang bermain ke rumah Davira dan mampu membuat gadis itu tertawa terbahak-bahak dengan tingkah konyolnya di masa kecil. Davira sangat bahagia dengan pertemanannya bersama Arka Aditya. Sebelum akhirnya si remaja tampan itu menghianati Davira dengan kepergiaannya ke negara tetangga untuk ikut bersama ayahanda dan ibunda guna mengembangkan sayap perusahaan di negara itu.
Davira kesepian. Bahkan ia sempat menangis berhari-hari setelah mendengar bahwa tetangga selisih dua rumah dari rumahnya itu pergi dan menjual kediamannya. Akan tetapi, waktu membuat gadis itu dewasa dan belajar bahwa apa yang dilakukan oleh sahabat kecilnya hanya sebab paksaan dari keadaan. Jadi, Davira memutuskan untuk tak marah dan terus menunggu Arka kembali.
Hingga akhirnya, waktu benar menjawab semua doa yang diucapkan oleh bibir kecilnya. Arka kembali tepat saat dirinya masuk ke sekolah menengah pertama. Memang Tuhan tak menyatukan keduanya dalam satu kelas, namun ... Davira bahagia sebab Arka kembali menemaninya. Menjadi sahabat laki-laki yang semakin dewasa semakin brengsek dan menyebalkan saja.
"Lo beli rumah di gang sebelah?" sahut Davira kala diam adalah aktivitas yang mereka putuskan sebab tak ada lagi obrolan yang bisa mereka perbincangkan.
"Gue nyaranin papa-mama buat beli rumah lama lagi. Tapi, yang punya gak mau ngejual," jawab Arka dengan nada memelan.
Gadis di sisinya terkekeh. "Segitunya lo pengen jadi tetangga gue lagi?"
Remaja tampan di sisinya mengangguk samar. Bergumam ringan lalu ikut terkekeh mengimbangi aktivitas Davira.
"Ayok, Ra! Ke pasar malam?!" ajaknya lagi. Davira menoleh. Berdecak ringan. Lirih bibirnya mengumpati pria aneh yang benar-benar menyebalkan saat ini.
"Ayolah, Ra. Ini hari-hari terakhir~" rengeknya kemudian. Wajah tampan berekspresi serius miliknya berubah menjadi wajah ber-aegyo menjijikan yang membuat Davira ingin memuntahi wajah Arka Aditya sekarang ini.
"Lets Go, Nona Faranisa!" katanya lagi. Davira menghela napasnya pendek. Menggeleng ringan kemudian.
"Gue gak akan pergi. Kalau enggak ya enggak."
Arka mendesah. "Okeh gue tunggu sampek lo mau," tuturnya tegas.
Davira mengerutkan keningnya samar. Iya, Benar. Dia adalah Arka Aditya yang akan kokoh dengan kemauannya sampai Davira mengiyakan.
"Kalo sampek pagi gue gak mau?" tanyannya menggoda.
Arka menimbang-nimbang janggut lancipnya. Sejenak melirik Davira kemudian tercengir kuda. "Gue tunggu sampai pagi."
"Cih, lo mau nginep di sini?" Davira memberi tatapan malasnya.
Arka bungkam. Kemudian menatap ke dalam rumah Davira Faranisa dan mendapati jikalau mamanya sedang duduk bersantai di ruang tamu.
"Tante! Arka boleh nginep gak?!" pekiknya berteriak agar si wanita dengan rambut pendek berwajah sedikit identik dengan Davira itu mendengarnya.
Tepat. Mama Davira mendengar teriakan Arka Arditya.
"Boleh, tidur aja di kamar tamu, Nak!" sahutnya ikut berteriak.
"Terimakasih, Tante!"
Arka kemudian menatap Davira yang baru saja menyipitkan kedua mata bulatnya. Remaja itu tercengir kuda. Dan senyuman itu ... baru kali ini Davira membencinya.
"Brengsek lo! Tunggu di sini, gue ganti baju dulu," umpat Davira sembari melempar handuk kecilnya dan sukses terjun bebas di atas wajah tampan Arka Aditya.
"Ih, Ra! Kebangetan banget sih!" katanya mendengus kesal. Gadis itu mengabaikan. Terserah lah, ia yang harusnya kesal dengan tingkah menyebalkan remaja jangkung itu.
***LnP***
Motor moge itu membelah jalanan Kota Jakarta dengan kecepatan sedang. Sesekali berhenti kala lampu merah menyala dan kembali berjalan kala lampu hijau menggantikan tugas si lampu merah. Juga, motor moge yang membawa tubuh Davira juga Arka untuk sampai ke pasar malam di tengah kota itu berbelok di beberapa persimpangan jalan. Arka melirik sejenak gadis yang kini meletakkan dagunya di atas pundak Arka. Sedikit miring posisi kepala Davira sebab helm besar yang membungkus rapi kepalanya.
Arka meraih tangan kiri Davira. Membuat posisi tangan si gadis yang awalnya masuk ke dalam kedua saku hoodie-nya kini berpindah melingkar rapi dan jari jemari lentiknya saling bertaut di atas perut datarnya. Davira melirik Arka, sejenak tersenyum kemudian semakin jelas merapatkan pelukannya.
"Kedinginan 'kan lo?" ucapnya menyela suara bising jalanan.
Arka terkekeh kecil. "Tau aja," katanya lirih.
"Makanya gak usah sok-sokan ngajak gue pergi malem-malem."
Arka bungkam. Masa bodoh. Iya, masa bodoh. Ia tak terlalu memikirkan hawa dingin yang menusuk masuk ke dalam tubuhnya meski hoodie tebal sudah ia kenakan.
Arka sengaja menggunakan hoodie ketimbang kemeja atau kaos turtle neck yang akan membuat penampilannya bak oppa-oppa korea yang menawan hati hanya karena seorang Davira Faranisa. Ya, karena Davira. Gadis itu sangat suka memasukkan kedua tangannya ke dalam saku hoodie Arka saat sedang memboceng si remaja jangkung itu.
Dalam alasannya, jikalau siang hari ia hanya tak suka jari jemari cantiknya kepanasan. Jika sore dan malam tiba seperti ini, gadis itu hanya tak suka jika jari jemari cantiknya membeku sebab kedinginan.
Arka suka. Sebab Davira memeluknya saat ini. Meskipum maksud dan tujuan gadis itu adalah untuk sebisa mungkin menghangatkan tubuh si remaja, namun bagi Arka momen seperti inilah yang sangat ia sukai.
Motor moge Arka memelan setelah kiranya 15 menit ia habiskan di jalanan. Menepi di sebuah tempat parkir ramai yang sengaja disediakan untuk para pengunjung pasar malam.
"Turun dulu, gue mau parkir," katanya pada Davira. Gadis itu mengangguk. Turun dari moge dan melepas helmnya.
"Sini helmnya."
Davira menoleh cepat kala sejenak tatapannya tercuri oleh keindahan gemelap lampu yang ada di pasar malam. Sumpah, ini sangat indah dan menyejukkan mata.
"Cepetan," kata Davira menyela. Berjalan mendahului Arka sesaat setelah menyerahkan Helm pada remaja itu.
Arka terkekeh kecil. Dasar cewek! Tadi diajak ogah-ogahan. Sekarang maksa buat cepetan.
Davira menghentikan langkahnya tepat di sisi pohon besar yang sedikit gelap sebab lampu tak sukses menembus celah-celah dedadaun yang ada.
Gadis itu memutar tubuhnya. Menatap Arka yang kini berlari kecil untuk menjangkaunya setelah selesai memarkirkan rapi mogenya di ujung tempat parkir.
"Ayok," ajaknya pada Davira. Remaja itu menarik tangan Davira dan menggenggamnya erat.
Gadis itu melirik genggaman Arka. Kemudian melepas genggaman itu dan memindah tangannya merangkul lengan si remaja jangkung itu. Arka tersenyum tipis. Benar, Davira tak suka seseorang menggengam tangannya begini.
Gemerlapnya lampu yang menerangi tempat luas dengan puluhan pedangang, wahana bermain, dan ratusan pengunjung itu kini benar-benar mencuri segala fokus yang ada dalam diri Davira Faranisa. Tempat ini langka, sebab hanya ada setahun sekali. Itupun jika tak terpaksa, Davira enggan datang ke tempat ramai begini.
"Mau gue beliin permen kapas?" tunjuk Arka pada seorang pedagang tua yang sedang mengolah permen kapas yang menjadi dagangannya.
"Gak ah, kemanisan." Davira menolak singkat. Menunjuk jajaran bakso yang ditusuk menjadi satu dan dipanggang di atas sebuah bara api yang menyala. Bakso bakar.
"Beli itu," katanya menunjuk.
Arka menoleh. "Oke kita antri," lanjutnya sembari membawa tubuh Davira mendekat. Akan tetapi, gadis itu mencegah. Menghentikan langkahnya yang juga membuat langkah sepasang kaki jenjang ikut dipaksa untuk terhenti.
"Lo antriin jus yang di sana. Gue antriin bakso itu. Biar cepet," kata Davira memerintah.
Arka tertawa. Dasar, Davira Faranisa.
"Cepetan!" lanjutnya menyentak. Kemudian gadis itu meninggalkan Arka di sana. Masuk ke dalam kerumunan yang ada di depannya.
Arka baru saja ingin berbalik untuk menuju kedai jus yang tak seramai kedai bakso bakar yang menjadi tujuan Davira Faranisa.
"Arka?"
Seseorang memanggilnya. Remaja jangkung itu menoleh. Si kapten tampan yang berjalan bersama seorang gadis. Penampilannya santai. Dengan celana panjang yang dipadukan kaos berwarna senada dan jaket kulit cokelat muda yang sering ia bawa ke sekolah. Adam Liandra Kin.
"Cewek baru?" katanya lirih. Adam terkekeh kecil.
"Kak Lita, mantan ketua official basket. Tadinya kita mau milih kafe buat ngbrol tentang organisasi, tapi tau ada pasar malem jadi mampir ke sini, deh." Adam menjelaskan pada Arka yang hanya manggut-manggut tanpa mau memberi sanggahan pada Adam. Toh juga, mau menyanggah apa lagi. Bagi Arka, gadis yang bersama Adam kemarin, hari ini, besok, dan besoknya lagi adalah urusan remaja tampan itu.
"Lo sendiri? Kasian amat—"
"Sama Davira," katanya menyela sembari menunjuk gadis yang baru saja berjalan menuju ke arahnya dengan dua plastik kecil yang penuh dengan bakso bakar.
Adam menatapnya. Dari kejauhan, gadis itu sangat cantik dan anggun. Rok jeans pendek selutut dengan kancing yang berjajar di tengahnya dipadukan kemeja polos yang sedikit kedodoran namun apik membalut tubuh semampai Davira Faranisa. Sepasang sepatu putih bersih tanpa motif yang senada dengan tas slepamang kecil menambah kesan anggun penampilan Davira malam ini.
Adam ... menyukai penampilan gadis itu.
Davira berjalan mendekat. Tersenyum manis pada Arka sembari memamerkan bawaannya. "Cepet 'kan?" katanya menyela.
Arka mengangguk. "Kok bisa?"
Davira yang tadinya hanya terfokus pada Arka kini sejenak menatap Adam juga gadis cantik jelita yang ada di sisinya. Gadis ini sama dengan gadis yang ia lihat tadi sebelum dirinya dijemput oleh ojek online langganannya tadi siang menjelang sore.
"Ternyata yang ngantri bukan ngantri bakso, tapi ngantri kebab di sampingnya." Davira menjelaskan. Menoleh pada Arka lalu melirik tangan remaja itu yang masih kosong.
"Lo belum beli jusnya?!" rengek Davira kemudian.
Adam lagi-lagi melihat sisi lain dari Davira Faranisa. Selain wajah yanh cantik dengan polesan make up sedikit tebal menghias wajahnya yang memang sudah ayu, rengekan gadis itu sangat menggemaskan. Jadi, begini toh seorang Davira Faranisa kalau di luar lingkungan sekolah.
"Bawa! Gue yang beli, dasar!" selanya menyodorkan bakso bakar yang ada di tangannya. Arka menerima itu tanpa bantahan. Sumpah, ia juga tertegun dengan kecantikan Davira yang baru ia sadari kala kedua lensa mereka saling bertautan satu sama lain.
Davira lagi-lagi meninggalkan Arka. Berjalan menuju kedai jus yang sedikit jauh posisinya dari tempat mereka berdiri.
"Kakak mau jus juga? Aku beliin." Adam menyela. Tanpa menunggu balasan dari seniornya, ia pergi. Menyusul Davira menerobos kerumunan yang ada.
Ya, Adam menyusul keberadaan Davira. Sebab inilah saat yang tepat untuk berbincang dengan gadis cantik nan mempesona itu.
...To be Continued...