Jam istiraha tiba. Semua siswa dan siswi yang tadinya tegang sebab jam pembelajaran berlangsung, kini bisa sedikit bernapas lega setelah bel nyaring menyeru dan 'mengusir' para guru yang sedang mengajar untuk pergi keluar dari ruang kelas dan membebaskan semua murid yang ia 'tahan' dalam 'penjaranya'
--dan di sinilah, gadis itu berada. Di depan sebuah papan manding besar di sisi ruang basket yang sudah penuh dengan kaum hawa seusianya, ah ... mungkin tidak. Mungkin ada beberapa yang lebih tua darinya--seniornya. Sebenarnya bukan kehendak gadis itu datang dengan ikhlas dan mantap melangkahkan kaki untuk sampai ke sini, akan tetapi sebab Davina Fradella Putri. Mantan teman sebangkunya itu memang selalu saja bisa 'menyeret' Davira untuk ikut bersamanya. Dalam alasan gadis itu, ia ingin melihat hasil seleksi yang menyertakan namanya ke dalam list beberapa waktu lalu. Merebos masuk ke dalam kerumunan dan betapa terkejutnya Davina kala ia mengetahui namanya menjadi wakil ketua official basket tanpa adanya pemilihan umum yang dilaksanakan.
Ia melirik Davina. Sejenak gadis itu memutar malas kedua bola matanya. "Udah lega 'kan?" katanya melirih.
Davina mengangguk antusias. "Gue kepilih, Ra!"
Gadis yang dilontari kalimat hanya berdeham ringan. Menatap malas Davina kemudian keluar merebos kerumunan yang sedari tadi mengapit tubuh mungil semampai miliknya.
"Ra, mau kemana lo?" Davina kembali menyela langkah Davira. Membuat gadis itu mau tak mau harus berhenti dan kembali memutar tubuhnya.
Ia menatap malas Davina yang kini diam sembari menunggu jawaban darinya. "Balik ke kelas," jawabnya singkat.
"Temenin gue daftar ulang lagi," sahutnya memohon.
Gadis di sisinya kini mendengus kesal. Ribet? Sangat. Pakai daftar ulang segala, dikira pendaftaran peserta didik baru apa?
"Lo sendiri aja deh, Dav. Gue capek mau istirahat. Lagian gue juga belum ngerjain PR," ucap Davira beralasan.
Bukannya gadis itu tak mau pergi dan menemani Davina untuk menuju ke ruang basket. Davira hanya tak ingin ke sana dan bertemu dengan anak-anak basket yang kata kaum-kaum hawa sebaya dengannya, mereka semua itu tampan. Akan tetapi, tak berguna meskipun wajah tampan tapi peringai brengsek dengan hati iblis 'kan? Seperti Adam misalnya.
"Ra ...."
"Please, Davina. Kali ini aja, lo bisa pergi sendiri 'kan?" pinta Davira melirih. Mengubah tatapan malasnya kini menjadi sebuah tatapan teduh penuh makna. Matanya sedikit berkaca-kaca. Bukan ingin menangis, tapi menahan kesal yang ada dalam hatinya sebab Davina tak pernah mau mengerti 'kemalasannya' untuk tidak datang ke ruang basket siang ini.
"Oke deh. Aku pergi sendiri." Akhirnya gadis itu mau mengerti juga. Meskipun dengan wajah kecut dan senyum aneh yang sedikit dipaksakan, setidaknya Davina mau pergi dan tak memaksa layaknya bocah aneh nan menyebalkan yang sedang memohon-mohon pada ibunya untuk dibelikan permen dan gula-gula manis.
Davina pergi. Berlalu meninggalkan gadis yang sejenak diam mematung sembari menatap kepergian mantan teman sebangkunya itu. Lalu, Davira juga ikut meninggalkan tempat itu. Melangkah jauh menuju ke dalam ruang kelasnya. Mengabaikan suasana riuh gemuruh dan canda tawa teman-teman seusianya sebab ia memang tak suka bergabung dengan mereka—si berisik dan si sok asik yang katanya kalau tak ada, suasana akan sepi bak kota mati tak berpenghuni. Davira lebih mementingkan sebuah ketenangan. Kedamaian dan kesunyian adalah harapannya di setiap malam sebelum benar menyambut pagi datang.
Tinggal beberapa langkah lagi, sebelum akhirnya dirinya bisa dinyatakan telah sampai di tujuannya. Davira ingin masuk ke dalam ruang kelasnya. Mengambil jaket di dalam laci mejanya lalu melipatnya rapi dan ia jadikan sebagai bantal untuknya tidur menjemput mimpi-mimpi tinggi yang tak akan pernah bisa ia gapai kalau ia tak tidur. Seperti bertemu dan menikah dengan panggeran kaya raya berwajah tampan dengan tubuh seksi dan tinggal di dalam sebuah istana mewah, misalnya.
--namun, langkahnya terhenti sesaat seseorang memanggil namanya lirih. Gadis itu menoleh, melihat siapa yang memanggilnya dengan nada aneh dan suara asing itu.
Dia adalah ... Kayla? Entahlah. Semakin dekat gadis itu menuju ke arahnya, Davira semakin bisa membaca name-tag yang ada di dada kirinya itu. Ya, itu Kayla Jovanka.
Davira ingat, bahwa ia sempat bertemu atau lebih tepatnya melihat gadis ini selalu mengekori kemanapun Adam pergi. Ah, dia adalah salah satu 'selir' yang menjadi bayangan remaja brengsek itu. Yang menjadi pertanyaan Davira sekarang adalah ... untuk apa gadis aneh itu menemuinya?
"Lo Davira 'kan?" tanyannya berbasa-basi.
Gadis itu mengangguk dengan ekspresi tak acuh miliknya. "Kembarannya Bae Suzy," sahutnya lirih.
Davira sedang mencoba menjadi gadis brengsek saat ini.
"Jauhin Adam." Kali ini tak ada basa-basi yang menjadi bahan obrolan di antara keduanya.
Davira Faranisa menyipitkan kedua matanya. Dahinya samar berkerut dan kini bibir ranumnya tersenyum miring. Ah, dasar ratu drama!
"Kapan gue deketin dia?" Gadis itu bertanya dengan nada ringan. Tersenyum seringai di bagian akhir kalimatnya.
Kayla diam bungkam tak bersuara. Benar juga, ia salah strategi kali ini.
"Pokoknya gak usah tebar pesona ke dia!" ucapnya dengan nada yang sedikit 'sewot'.
"Gue emang punya pesona," tuturnya terkekeh kecil.
Kayla menautkan kedua alisnya. Sejenak mendengus kesal untuk menanggapi gadis di depannya itu. Wajah Davira memang cantik. Tubuhnya semampai menggoda dan apapun yang telihat fisik oleh sepasang mata telanjang adalah sempurna. Namun, siapa sangka kalau peringai gadis ini sungguh menyebalkan. Caranya berbicara sedikit sombong. Menanggapi lawan bicara yang datang padanya tak ada sopan santun sedikit pun. Akan tetapi, tidak pada semuanya. Davira masih sopan santun, kok. Hanya saja sopan santunnya itu ia tujukan pada orang-orang terpilih yang datang dengan sopan santun juga. Tak seperti Kayla Jovanka yang datang padanya dengan wajah masam, tatapan tajam tak suka dan obrolan yang tak menyenangkan sama sekali.
"Gak usah banyak bacot, gue bilang jauhin Adam ya jauhin—"
"Lo tau gak siapa yang banyak bacot di sini?" Davira mendekatkan langkahnya pada Kayla. Menatap sepasang lensa cokelat itu kemudian mengusap ujung rambut hitam tipis nan lurus milik gadis itu lembut. Lalu meliriknya dan tersenyum singkat sebelum akhirnya mencekram kuat ujung rambut Kayla.
"Kayla Jovanka," katanya mengeja lirih huruf demi huruf yang tercatat di atas name-tag hijau tua gadis di depannya itu.
"Lo berurusan sama orang yang salah," lanjutnya sembari mengembangkan jelas senyum manis di atas bibir ranum mungilnya.
Kayla mengerutkan dahinya. Sejenak melirik jari jemari Davira yang bermain di ujung rambut hitam miliknya. Munafik jika Kayla mengatakan bahwa ia tak sedang menahan takut dalam dirinya. Sebab tatapan gadis itu, mirip seorang psikopat gila saat ini.
"Lo mau pergi atau—"
"Davira!" Seseorang menyela kalimatnya. Bukan hanya yang dipanggil yang menoleh cepat. Akan tetapi juga gadis yang ada di depan Davira. Ia menyibakkan jari jemari Davira dari atas pundaknya. Menatap tajam remaja jangkung berparas tampan yang sudah berdiri mematung tak jauh dari posisi mereka berdua.
Pertanyaan terbesarnya kali ini adalah, sejak kapan remaja itu berdiri di sana sebagai penonton bisu yang tak suka berkomentar banyak?
"Cukup," katanya melirih. Berjalan mendekat dan berdiri di sela-sela dua gadis yang kini tak bisa saling memandang lagi sebab tubuh jangkung Arka Aditya—remaja yang menyela keduanya— itu menutup padangan mereka. Arka menatap Kayla yang juga ikut memberi tatapan aneh padanya.
"Lo mau jadi 'super-man'nya dia?" kekeh Kayla kemudian.
"Sebenarnya Davira lebih Iron Man," godanya untuk membalas kekehan lirih nan menyebalkan milik Kayla Jovanka. Jujur saja, Arka tak menyangka jika Kayla memiliki hati selicik ini. Jika dilihat dari paras cantik jelita sedikit imut miliknya itu, Kayla lebih cocok berperan sebagai si protagonis berperingai terpuji yang suka membantu kadang teraniyaya ketimbang menjadi tokoh antagonis berwatak brengsek seperti ini.
"Aku lebih suka Captain Amerika," balas Davira menyela.
Kayla mendengus kesal. Menghela napasnya ringan kemudian. Dua sahabat ini, sama-sama menyebalkan!
"Juga, sebenarnya gue itu ngelindungi lo, bukan Davira." Arka mempersingkat kalimatnya. Senyum kaku terkesan sedikit dipaksakan terlukis di atas paras tampannya.
"Kenapa lo mau nglindungi gue? Gue bisa—"
"Davira belum ngomong?"
Kayla menarik wajahnya. Diam bungkam tak berucap untuk menunggu Arka melanjutkan kalimatnya yang terkesan sangat berbasa-basi itu.
"Gue udah ngomong, kalau dia berurusan sama orang yang salah." Lagi-lagi gadis itu menyahut di balik tubuh jangkung Arka yang masih kokoh menutupinya.
Davira bersembunyi karena dia takut? Oh Tentu tidak! Davira membiarkan Arka tetap berada dalam posisinya sebab ia menunggu momen yang tepat untuk menunjukkan, betapa 'salahnya' si gadis berwajah oriental itu setelah memutuskan untuk menghampiri dirinya ke sini.
"Lo tau apa maksudnya?" Arka kembali mengimbuhkan. Membuat Kayla semakin bungkam sebab ia tak tahu harus menjawab apa dan bagaimana lagi.
"Lo tau apa julukan Davira di mata teman-temannya dulu?"
Arka membungkukkan badannya. Sedikit mendekatkan paras tampan remaja itu ke telinga kiri Kayla Jovanka. "Gadis iblis," bisiknya lirih. Kembali menarik wajah dan tubuhnya untuk berposisi nyaman seperti semula—berdiri tegap sembari menatap Kayla dengan senyum yang dibuat seramah mungkin.
Kayla diam. Membulatkan matanya sejenak setelah menyadari bahwa Arka dan Davira itu memiliki satu kesamaan besar dalam peringai mereka. Sama-sama gila!
Davira menggeser tubuhnya. Menatap Kayla sembari tersenyum 'evil' untuk gadis itu. Terkekeh kecil lalu meninggalkan Kayla masuk ke dalam kelasnya. Arka mengekori. Tanpa mau mengubris lagi keberadaan Kayla Jovanka di sana. Toh juga, bukan salahnya 'kan bersikap begitu? Kayla sendirilah yang mengambil keputusan untuk datang dan 'mengedor' pintu pertahan diri milik Davira Faranisa, tanpa gadis itu pikirkan apa yang ada atau berdiri di balik pintu itu.
--seorang gadis yang terlihat biasa. Baik di fisik dari sekilas pandang saja. Namun siapa sangka jikalau dalam hati gadis itu tersimpan banyak dendam dan rasa sakit hati yang membuatnya bersikap begini.
Sekali lagi, tak untuk semua orang! Hanya segelintir dari mereka yang mendapat sifat jahat dari seorang Davira Faranisa. Itu sebabnya, dikatakan bahwa Davira Faranisa itu setengah Bad girl setengah lagi good girl. Tergantung kondisi dan situasinya.
Pernah mendengar kalimat, orang jahat adalah orang baik yang tersakiti? Ya. Itulah deksripsi awal dari seorang Davira Faranisa. Dendamnnya pada sang ayahandalah yang membuatnya begini. Menjadi gadis tertutup dan anti dengan segala macam bentuk keributan. Davira tak membenci semua orang yang ada di dunia ini. Yang ia benci adalah mereka yang tak tahu diri dan tak tahu tempat! Katakan saja seperti si brengsek Adam dan si aneh Kayla. Juga si tak tahu diri wanita jalang yang menamparnya kemarin.
Untuk Arka? Davira tak pernah membenci remaja itu. Sebab yang Davira punyai sekarang ini hanyalah, orang tercinta—mamanya— dan orang berharga—sahabatnya, Arka Aditya—
...To be Continued...