webnovel

Love Me or Hate Me?

Dibalik sifatnya yang ramah tersimpan duka yang mendalam. Kau tahu, dibalik sifat yang ceria sebenarnya tersimpan luka yang sangat dalam. Begitu juga dengan Alga. Begitu pandai dalam menyembunyikan lukanya. Dibalik sifatnya yang urakan tetapi ceria. --------- Algavino Arsya Danadyaksa. Seorang cowok yang bisa dibilang urakan. Tidak pernah serius dalam belajar. Wajah tampan, putih, serta hidung yang terpahat dengan sangat sempurna. Semua itu seakan tidak ada artinya ketika dikalahkan dengan sifatnya yang suka tebar pesona. Bahkan hampir satu sekolah membenci tingkah lakunya. Namun dibalik semua itu, dia memiliki sifat yang ceria dan tidak mudah sakit hati. Salsa Elvira Samudra. Cewek kaku dan dingin. Hatinya sangat tidak tersentuh semenjak kepergian seseorang yang ia cintai. Pergi untuk selamanya hingga meninggalkan kenangan pahit untuk Salsa. Kepergian yang menimbulkan tanda tanya. Sejak saat itu hatinya seolah terkunci rapat dan tidak ada satupun yang berhasil membuka hatinya. Akankah Alga berhasil menaklukkan hati Salsa? Atau justru gagal dan ikut terhanyut dalam masa lalu Salsa? Cerita ini gua buat hanya fiktif belaka dan bahasa yang nggak baku. Serta sudut pandang orang pertama. So I hope you enjoy it

Deva_setya · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
7 Chs

Part 6 (Tanggungjawab)

[Ost terlanjur mencinta- Tiara Andini]

Kau tahu

Seorang laki-laki itu yang dipegang adalah janjinya---Algavino

🍂🍂🍂🍂

"Kamu pokoknya harus tanggungjawab, Zra!"

Kenapa dari sekian banyak obrolan yang aku dengar hari ini hanya kalimat itu yang terus saja menganggu pikiranku. Seolah pelajaran yang diterangkan Bu Rika hanyalah angin kentut berlalu.

"Woah, ganteng banget ya ampun. Mirip banget kaya oppa-oppa korea"

Aku tersadar dari lamunanku. Sinyal-sinyal kepedeanku tiba-tiba muncul begitu saja kepermukaan hingga menyebabkanku auto noleh kearah sumber suara yang sedang memuji ketampanan seorang Alga.😎

"Hehhe, halo" sapaku begitu ramah menebar senyum ala buaya.

"Astagaa senyumnya..meleleh hati dedek bang" mereka menatapku begitu kagumnya seolah tidak pernah lihat cogan masuk angkot saja.

"Mas masih SMA?" tanya salah satu cewek yang duduk tepat didepanku.

Ya iyalah, emang lo nggak lihat apa kalau gue masih pakai seragam SMA, buta mata lo!

Yang jelas itu barusan hanya suara qolbuku. Nggak mungkin dong aku ngomong kasar ke cewek seperti tadi. Karena prinsipku 'cewek itu harus dihargai sebagaimana mestinya, bukan untuk disakiti'.

Eeakk kata-kata gue udah sok aja jadi cowok.

Kalau Arfan ada disini udah kutebak dia pasti bakalan bilang gini:

"Gaya lu aja sok-sok an pake prinsip segala. Trus pacar ada 5 itu apaan coba"

"Saya masih jomb--. Eh, maksud saya, saya masih SMA, mbak, hehhe"

Duh mulut. Kenapa sih kalau sama yang cakepan dikit nggak bisa direm dulu gitu mulutnya. Kan malu.

"Hahha, sans aja kali, gue juga masih SMA"

Weilah, ketawa aja udah bikin hati ini lumer.

"Oh ya? Dari SMA mana? Kok nggak pakai seragam?"

"Dari SMA Tunas Bangsa, gue tadi abis ngelatih silat"

Ooh jadi jago silat juga ya nih cewek? Hmm, menarik. Gue suka yang begini.

"Oh iya, btw, kenalin, gue Anya dari SMA Tunas Bangsa, kelas 12" ucapnya sambil mengulurkan tangan kearahku.

"Gue Alga, Dari SMA 1"

"Ini teman-teman gue, Sela, Riska, Dela"

Dari tadi pandanganku tidak bisa lepas dari senyumannya yang terlihat manis. Ada lesung pipi kecil disamping bibirnya. Ya walaupun lebih manis Salsa sih. Tapi ini cewek juga nggak jauh lebih cantik.

"Hey, lo ngelamun lagi" gerakan tangannya membuyarkan lamunanku lagi.

Baru saja hatiku sejenak melupakan dia yang tidak pernah menoleh sedikitpun padaku. Baru saja ada orang lain yang mungkin bisa menggantikan posisinya dihatiku. Dan baru saja hati ini tenang tanpa harus memikirkannya, tiba-tiba dia datang tepat didepanku.

"Salsa? Lo ngapain coba naik angkot segala" tanyaku keheranan.

Bukannya setiap saat dia selalu boncengan dengan Ezra? Lantas kemana Ezra? Nggak biasanya mereka kayak gini. Apa karena mereka sedang bertengkar?

"Cckk, Ezra sibuk ngurusin OSISnya" dia mendengus sebal dan menjawab seadanya tanpa harus menatapku.

"Kenapa nggak lo tungguin aja? Biasanya kan gitu, ooh gue tau. Rumah tangga lo pasti sedang dilanda keretakan ya, ngaku lo"

"Cckk, BISA NGGAK SIH LO BIARIN GUE BERNAPAS SEBENTAR AJA?!"

Perkataannya yang terlampaui ngegas membuat seisi angkot menoleh padaku. Hingga ayam yang turut naik angkot pun menoleh keheranan padaku. Tatapan mereka seolah menodong berbagai pertanyaan yang siap mengintimidasiku. Seolah aku sedang melakukan hal yang iya-iya dengan kedok 'penumpang angkot'.

"Ehhe, maaf mengganggu kenyamanan saudara-saudara sekalian. Maklum, pacar saya galaknya suka nggak tau tempat, hehe"

"APA LO BIL--"

Aku sudah tidak tahan menanggung malu. Kubekap saja mulutnya sambil menariknya keluar.

Sebenarnya Salsa habis minum bensin apa gimana sih. Bawaannya ngegas mulu. Kan dikira aku melakukan pelecahan.

"Maaf pak, kami turun sini saja ya, ini uangnya, hehe, sekali lagi maaf ya pak"

Pak supir masih saja meragukanku.

"Tenang saja, pak. Saya nggak akan ngapa-ngapain pacar saya kok. Semuanya aman" 👌

Aku menoleh sedikit kearah Anya, cewek yang tadi sempat berkenalan denganku. Raut wajahnya pun tidak jauh beda dengan para penumpang lainnya.

Aku hanya tersenyum tulus kearahnya. Senyum perpisahan. Mungkin saja kan ini terakhir kalinya aku melihatnya.

Setelah angkot melaju, baru aku melepaskan bekapan tanganku dimulutnya.

"Blewh, tangan lo bau terasi tau nggak!"

"Lo ngapain coba naik angkot segala?" aku mengabaikan perkataannya barusan perihal tanganku yang bau terasi. Emang itu salah satu makanan kesukaanku kok. Dia nggak tau aja stok terasi dirumah ada berapa.😏

"Heh, cowok bloon. Emang lo aja yang boleh naik angkot? Emang angkot itu udah lo klaim jadi tumpangan lo apa? Emang angkot itu punya bapak lo, ha?!!"

"Dih, gue dibilang cowok bloon katanya"

"Emang iya kan? Lo itu cowok stres yang pernah gue temuin, cuih"

"Iya tau, gue gantengnya udah nggak ngotak kok, ehhe"

"EMANG LO NGGAK ADA OTAK, BLOON!"

"Wuih, kalem mbak, kalem, jangan bilang lo mau naik angkot gara-gara lo sering lihat gue naik angkot kan? Terus lo mau ngikutin gue gitu? Hah, udah gue duga. Ngaku lo?" tudingku yang tidak-tidak padanya.

"Kayaknya selain otak lo yang nggak waras, tingkat kepedean lo juga melebihi ambang batas deh"

"Iya dong, emang susah sih ngilangin kadar ganteng yang udah mengakar gini. Maklum, bawaan dari lahir soalnya, hehe"

"Ooh pantesan"

"Pantesan apa, Sal?"

"Pantesan bakat ngebuaya lo udah handal sejak dini"

"Eits, jangan salah. Gue kayak gini cuma sama lo doang kok"

"Hilih tii"

Dan setelahnya kita sama-sama tertawa. Entah sudah berapa lama kita menghabiskan waktu sambil tertawa bersama. Diam-diam aku menoleh kearahnya yang sedang asik tertawa karena candaanku. Aku mengarahkan kamera ponselku untuk mengabadikan momen indah bersamanya. Kuambil foto indahnya. Kalau perlu akan kucetak besar lalu kutempel dikamarku. Cantik. Benar-benar cantik.

Tanpa kusadari aku tersenyum tulus melihatnya tersenyum dan memperlihatkan lesung pipi serta matanya yang berbinar setiap kali dia tersenyum.

Lama kumemandang wajahnya, seketika dia menoleh kearahku. Selama beberapa menit kami saling terdiam tanpa ada kata yang terucap.

"Ehem, ini semua salah lo, Al"

"Ha? Salah gue? Emang gue salah apaan sama lo, Sal?"

"Ya jelas lo salah, ini udah hampir jam 6, dan gue belum pulang gara-gara lo narik paksa gue buat turun dari angkot tadi"

"Eh, iya ya. Hehe, sorry, Sal. Abisnya lo juga sih ngomong suka ngegas gitu. Kan dikira gue ngelakuin yang nggak-nggak sama lo"

"Kenapa sih lo itu selalu mikirin padangan orang lain terhadap lo. Lo ya lo, mereka ya mereka. Lo nggak perlu mikirin apapun persepsi mereka tentang lo"

"Eh, kenapa, Sal?"

Seketika aku terlihat cengo mendengar Salsa berucap seperti barusan. Seolah dia sudah lama mengenalku. Padahal kan kalau dilihat-lihat kita baru saling akrab saat memasuki kelas 12.

"Nggak jadi. Lupain aja sama yang barusan gue omongin"

Ini nih, ini, salah satu hal yang paling nggak disukai sama kaum cowok. 'Lipiin iji simi ying birisin gii imingin' kayak gampang banget gitu abis buat ngajak terbang tinggi abis itu dihempas begitu aja. Sakid cuy.

"Ngomong-ngomong, gue jadi teringat sama obrolan lo tadi siang"

"Obrolan yang mana?" Salsa mengerutkan dahinya, bingung dengan pertanyaanku barusan.

"Yang katanya lo minta 'pertanggungjawaban' dari Ezra tadi pas di kantin"

Aku agak pelan-pelan menanyainya. Takut kalau dia tiba-tiba ngegas lagi padaku.

"Ooh yang itu"

Hanya oh doang?

Wah gila sih ini.

"Itu karena gue akhir-akhir ini kena maag, makanya Ezra jadi sering overprotective gitu ke gue"

Oh jadi karena ini. Astaga baru gini aja pikiranku udah kemana-mana. Ternyata kena maag rupanya.

Ddrrtt ddrrtt ddrrtt

Tiba-tiba saja ponselku bergetar tanda telepon masuk.

"Woilah, lo kemana aja, goblok. Bokap lo daritadi nyariin sampai-sampai singgah ke rumah gue segala tau" ucap Dito setengah ngegas.

"Lagi bercocok tanam" jawabku yang amat santuy. Seakan dicari oleh pihak berwenang seperti papa yang bakal mengancam berkurangnya uang jajanku, kuanggap biasa saja.

"BUSET! LO LAGI BERCOCOK TANAM SAMA SIAPA, BANGSUY?!!"

"BIASA AJA KALI NGGAK USAH NGEGAS GITU"

"Woilah lo juga sama aja, kampret"

Aku hanya ketawa cekikikan mendengar tingkah absurd dari salah satu temanku. Walaupun hidup kami nggak jauh-jauh sama yang namanya ngegas satu sama lain, tapi justru dengan hal itu membuat hubungan persahabatan kami rukun, aman, damai, makmur, jaya, abadi, sentosa.

"Sekarang gue tanya lagi sama lo, kali ini lo harus jawab yang jujur. Ingat, nggak boleh ada kebohongan diantara kita" ucapnya mewanti-wanti agar aku tidak cengengesan seperti tadi.

"Kita? Sejak kapan gue sama lo jadi 'kita'? Idih, najis gue"

"Udah deh Al, ini bokap lo lagi melototin gue nih. Tolong kerjasamanya lah" dari suara-suaranya sih Dito kayak ketakutan gitu. Cckk, emang sih. Bapake inyong itu bawaannya horor gitu orangnya.

"Jadi, lo beneran lagi ngapain, Al? Cepet pulang. Ini papa lo daritadi nyariin. Ditelpon dari tadi juga nggak lo angkat"

Iya? Masa sih? Kok gue nggak nyadar ya? Apa karena efek uwwu-uwwuan sama Salsa? Sampai-sampai fokus gue cuma satu titik, yaitu Salsa seorang.

"Bilangin tuh sama bokap gue, kalau kangen nggak usah gengsi mau bilang. Sama anaknya sendiri aja gengsi. Tenang, bentar lagi gue pulang. Gue juga bukan anak kecil lagi yang kemana-mana harus dikekang, gue juga butuh kebebasan kali. Bye!"

Perkataanku dengan mudahnya lolos begitu saja dari mulutku, tanpa harus memperdulikan bahaya yang mengancamku sebentar lagi.

"Lo dicariin bokap ya?"

"Eh iya, hehe, biasa. Orang rumah kangen sama gue" jawabku begitu entengnya.

"Udah hampir setengah 7 nih, ayo, gue antar lo pulang" ajakku sambil menarik tangannya.

"Kenapa cuma diam? Katanya tadi gue disuruh tanggungjawab nganterin lo"

"Eumm, tangan lo Al"

"Eh? Tangan?" aku melihat tanganku yang mengenggam tangannya. Tuh kan apa aku bilang. Kalau sama dia itu tubuh dan hatiku langsung refleks aja gitu. Udah berapa kali coba aku refleks menggenggam tangannya.

đŸŽŒDan terjadi lagi....

"Eh, sorry, gue kelepasan lagi kan jadinya" aku hanya bisa nyengir-nyengir bahagia gitu. Lumayan kan? Dapat untung bisa mengangin tangan cewek. Ihuy.

"Terus, lo mau nganterin gue pakai apa coba? Rumah gue kan jauh dari sini"

Oh iya ya, bloon banget sih lo Al. Udah sok banget nganterin cewek tapi modal nggak punya.

"Udah Al, mending gue telpon bokap gue aja buat jemput gue, nggak papa kok, tadi gue cuma bercanda"

Bokap? Pak Nur maksudnya? Oh tentu tidak. Bisa panjang nanti urusannya kalau beliau tau gue sama Salsa jam segini belum juga pulang.

"Nggak papa Sal, kan tadi salah gue juga udah ngajak lo keluar angkot, emang pacar lo nggak bisa jemput?"

Asli. Agak nyes juga sih pas bilang begitu.

"Dari tadi susah dihubungin. Udah deh, mending lo pulang duluan aja. Gue bisa kok--"

"Ehh, nggak, nggak. Tunggu bentar lagi. Oke?"

"Hah?"

Aku sedang memesan ojek online untuknya. Padahal ini uang saku ngepas banget astaga. Aku jadi cowok kayaknya bokek banget. Tapi tak apa. Hitung-hitung ini sebagai tanggungjawab dariku. Lagipula saat berbincang dengan Salsa tadi dia bilang setiap pulang dari sekolah, ayahnya langsung ke perusahaan. Jadi lebih baik aku yang mengantarkannya dengan perantara ojek. Kasian juga kan Pak Nur bolak-balik perusahaan.

"Dengan mas Alga?"

"Eh iya pak, ini pacar saya anterin ya pak, harus selamat sampai tujuan pokoknya, nih ongkosnya, kalau lebih ambil aja"

"Al, gue kan bisa bayarin ini pas sampai rumah nanti, gak perlu lo bayarin juga"

"Cckk, udah sana naik. Itung-itung itu sebagai permintaan maaf gue tadi, dah Salsa" aku tersenyum begitu lebarnya kearah Salsa yang sudah beberapa meter didepanku.

Nah sekarang tinggal aku sendiri disini. Uang habis, nggak ada tumpangan, perut juga lapar banget lagi.

Kayaknya lo pas banget jadi gelandangan, Al.

Dilihat-lihat gue goblok juga ya orangnya. Sudah tak terhitung gobloknya gue mulai dari tadi pagi sampai sekarang.

Emang ya seseorang bisa goblo* hanya karena cinta.

Dan itu murni aku alami sendiri.

Aku mencoba menghubungi para cecunguk.

Tut..tut

Sasaran pertama:

"Apaan Al?"

"Jemput gue Fan, sekarang"

"Eh buset lo, nggak ada basa-basinya. Sorry Al, gue lagi nemenin cewek gue ke salon"

Oke next

Sasaran kedua:

"Iya babe"

"Cih, najis banget lo, Ris jemput gue di perempatan jalan---''

Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, cobalah beberapa saat kemudian

Kampret ini orang, oke nggak papa. Lanjut.

Sasaran ketiga:

" Al, lo mampir kemana aja kok dari tadi belom juga nyampe, ini bokap lo udah uring-uringan sam--"

Lama-lama Dito udah mirip mama aja.

It's okey

Sasaran keempat:

"Cckk apaan?"

"Kev jemput gue dong--"

"Sorry dirumah gue ada acara tahlilan ini"

Aku semakin frustasi. Semakin hilang pula harapanku untuk pulang dengan selamat. Elah, lebay amat gue.

Sasaran kelima dan terakhir:

Aku harap-harap cemas menunggu seseorang menjawab dari seberang sana. Ini adalah harapan terakhirku.

"Halo Al, ada apa?"

"Eh, Jisuk. Lo bisa jemput gue di perempatan deket sekolah nggak?"

Jisuk itu ya si cino medok yang sering aku ceritakan itu. Mamanya asli korea dan papanya jawa tulen. Itu kenapa teman-teman lebih memilih memanggilnya cino medok.

"Lah, lo ngapain coba jam segini belum pulang? Ngelonte lo?"

"Buset itu mulut nggak ada filternya apa? Udah cepet lo kesini"

"Ehhehe, sorry banget Al. Gue lagi nemenin nyokap gue belanja, tapi gue janj--"

"Ah, udahlah. Emang semua nggak bisa diandalin pas gue lagi butuh"

Mau tidak mau aku harus jalan kaki. Padahal jarak antara rumah sama sekolah kurang lebih 6 kilometer.

Sejauh perasaan dia ke gue.

Mau gimana lagi coba. Minta tolong Varo? Jangan harap. Kemungkinan hatinya nuraninya terbuka itu cuma 0,000001%.

---------------

Huft, capek juga rasanya. Gila sih aku baru sampai rumah sekitar jam 8. Rasanya kakiku sudah tidak sanggup lagi untuk melangkah.😭

Aku menunduk lesu. Perutku dari tadi sudah meronta-ronta kelaparan. Cckk, anak seorang pengusaha tapi nasibnya malang kayak gini.

Baru saja didepan pintu langkahku sudah dihadang saja. Aku merasa ada aura-aura menyeramkan yang tercium dari sini.

"Darimana saja kamu?!"

"Ya dari sekolah dong, Pa. Papa nggak lihat Alga masih pakai seragam nih"

"SEKOLAH MANA YANG JAM SEGINI BARU PULANG, HA?!"

"Pa, tenang pa" mama hanya berperan sebagai pawang papa disini.

"Ada dong, di negara-negara maju ada kok yang menerapkan sistem belajar 13 jam belajar. Jadi wajar aja jam 8 gini baru pulang"

"BANYAK ALASAN KAMU! VARO SAJA SUDAH DARI TADI PULANG!!"

"Katanya ya, Pa. Banyak alasan itu tandanya Alga termasuk golongan orang cerdas lho, Pa"

"Oh iya? KAMU PIKIR KAMU CERDAS?!"

"Oh, ya tentu dong, Pa" ucapku begitu bangganya sambil tersenyum percaya diri.

PLAK!!

"KAMU PIKIR KAMU HEBAT BISA NGEJAWAB GITU?! HA?!!" deru napas papa menggebu-gebu dengan mata yang melotot tajam padaku. Selalu saja begini.

"Bukannya itu gunanya sekolah ya, Pa? Biar bisa ngejawab semua pertanyaan"

Katakan saja aku anak kurang ajar. Tapi aku ingin tahu seberapa 'sabar' nya papa menghadapiku. Nyatanya memang benar. Aku memang anak 'istimewa'. Sungguh suatu kehormatan aku bisa diperlakukan segininya oleh orangtuaku sendiri. Padahal jika dilihat-lihat, senakal-nakalnya saudara-saudaraku yang lain, tapi tak pernah mendapatkan perlakuan sepertiku.

PLAK!!

"KURANG AJAR KAMU! MULUTMU ITU SEOLAH TIDAK PERNAH DISEKOLAHKAN!"

Aku hanya tersenyum tulus kearah papa.

Mungkin ini cara papa menunjukkan rasa kasih sayangnya padaku.

Anggap saja begitu.

"Makasih, Pa. Alga masuk dulu"

Sekali lagi aku tersenyum pada papa. Tapi kali ini senyum masam yang kutunjukkan padanya.

Sakit. Terlebih ketika kedua sudut bibirku mengeluarkan darah. Tapi ini tidak seberapa jika dibandingkan rasa sakit dihatiku yang teramat dalam.

Nyatanya, keluargalah yang menjadi titik terlemah dalam hidupku..

Bersambung..

salam dari Deva😀