webnovel

Love Mare

Love Mare, Love and Nightmare. Love is never a nightmare. Nightmare never relates to love. Pasalnya, malam itu, Suzumi Yukiko membuktikan bahwa kisah cintanya menjadi mimpi terburuk dalam hidupnya, menjadi satu-satunya unsur minus dalam hidupnya yang hampir sempurna. Di malam ketika Ryoma Ayato ㅡkekasihnyaㅡ melamarnya, di malam itu juga, ia harus berjuang sendiri untuk mencapai epilog bahagia bagi kisah cintanya, sekaligus hidupnya.

Seasonal_Girls · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
10 Chs

Chapter 7

Aku merebahkan tubuhku di kasur. Dengan tatapanku yang berfokus pada meja belajar. Aku sudah selesai mempelajari bahan untuk ulanganku besok. Apa lagi yang harus kulakukan?

Pikiranku kembali pada kejadian siang tadi saat di sekolah. Aku yang sudah mau menghampiri Suzumi Yukiko akhirnya berhenti dan akhirnya aku malah curi-curi melihat keadaannya.

Ia terisak, bahkan tidak meracaukan apa-apa saat menangis. Saat ia mengangkat wajahnya, aku bisa melihat betapa hancur dan kacaunya gadis itu. Entah apa yang membuatnya se-demikian rupa. Yang kutahu, gadis ini kelewat ceria. Hal separah apa yang membuatnya menangis meraung seperti itu?

Setelah menangis di sepanjang waktu istirahat, aku melihat gadis itu kemudian mengusap wajahnya di blazer seragam sekolah dan pergi dari rooftop dengan wajah yang tertunduk.

Saat itu, aku terdiam sejenak. Haruskah saat itu bertanya padanya? Atau setidaknya duduk di sampingnya dan mendengarnya bercerita?

Plak!

Aku melayangkan tamparan pelan pada pipiku sendiri. Sejak kapan Ryoma Ayato peduli pada urusan orang? Tidakkah aku membenci gadis ini? Gara-gara ia, aku mendengar seluruh sekolah membicarakan kejadian di kantin. Kejadian di mana Suzumi menyatakan perasaannya padaku.

Gadis gila, bahkan bertemu dengannya saja baru dua kali. Lagi, seperti ada yang salah padanya. Kepalaku seperti sakit sekali bila berdekatan dengannya.

Akhirnya, aku kembali duduk di meja belajarku. Mungkin dengan belajar, pikiran anehku bisa pergi.

***

Nyatanya, aku bahkan memikirkan apa yang terjadi pada Suzumi hingga ketiduran semalam. Dan, bahkan hingga sekarang, saat aku selesai mengerjakan ulangan sekarang.

Ada apa, sih? Aku tidak pernah sepeduli itu pada siapapun. Bahkan aku tidak peduli saat Eiji memohon padaku untuk membantunya dekat dengan Mai Hatsumi.

"Waktu sudah habis, silahkan kumpulkan ulangan kalian."

Eh? Sial! Aku bahkan belum sempat mengecek ulanganku ulang karena sibuk berpikir.

Aku tak punya pilihan lain selain menyerahkan kertas ulanganku begitu saja. Kemudian, Eiji segera menarikku untuk mengecek hasil ulangannya. Aku menatapnya malas dan mengangguk begitu saja saat Eiji menyebutkan jawaban yang sempat ia catat dari ulangan tadi.

"Nomor empat puluh lima, A..."

"A?"

A? Bukankah itu C?

"Benar, A."

Aku merebut kertas Eiji dan mengamati soal itu benar-benar. Jawabannya benar-benar A. Aish, aku sampai tidak fokus pada saat ulangan.

Saat bunyi bel tiba tidak lama setelah ulangan berakhir, aku menolak ajakan Eiji untuk makan di kantin dan membawa kotak bekal berisi roti isi yang kusiapkan sendiri tadi pagi. Sembari berjalan ke rooftop, aku merutuki kebodohanku yang salah melihat soal.

Ketika sampai, aku mengambil duduk di tempat favoritku. Di dekat tangga akses untuk ke lantai di bawah, di mana ada atap untuk berteduh.

"Aish!" Aku mengacak rambutku sembari menyesali kesalahan bodoh yang kulakukan. Ada apa denganku, sih? Kenapa bisa se-ceroboh ini? Waktu yang biasa kugunakan untuk mengecek kembali malahan kugunakan untuk melamun.

Sambil melahap sandwich-ku, aku sesekali melihat ke arah pintu. Gadis itu tidak datang lagi? Memang, aku tidak bisa mengelak. Aku memang datang ke sini dengan harapan kecil bisa bertanya pada Suzumi Yukiko apa yang terjadi padanya.

Hah... aku merasa aneh sekarang.

Saat aku fokus melamun dan menghabiskan bekalku, bunyi pintu yang terbuka mengejutkanku. Ya, Suzumi Yukiko.

Ia tidak seburu-buru kemarin, namun aku bisa melihat air mata yang menggenang di ujung matanya. Kali ini, fokusku benar-benar ada pada gadis itu.

Kalau kemarin ia terlihat sangat hancur dan berantakan, kali ini meskipun masih terisak, ia terlihat lebih kalem. Namun, tetap saja aku bisa melihat rasa sakit yang ia rasakan dalam tangisannya.

Lucunya, ada bagian di sudut hatiku yang ikut ngilu mendengar tangisnya.

Lagi-lagi, aku berakhir dengan membiarkannya tanpa bertanya ada apa dengannya.

Ada apa, sih, denganku? Kenapa untuk bertanya pun susah? Lebih lagi, kenapa pula aku sepeduli ini?

***

Aku mengintip sejenak dari bilik toilet, memastikan bahwa tidak ada siapapun di dalam toilet. Setelah memastikan toilet benar-benar kosong, aku keluar dan mencuci wajahku.

"Pfft.."

Ya, kau baru saja melihatku menertawakan diriku sendiri. Sejak kapan, hidupku menjadi se-menyedihkan ini? Hatsumi tidak memperdulikanku. Sepertinya hanya aku yang mulai menggila.

Kesempatan kedua apanya. Aku sama-sama seperti orang gila sekarang.

Aku mengeluarkan foundation yang kubawa diam-diam dari rumah dan menutupi bawah mataku yang membengkak. Sejak satu tahun yang lalu, sepertinya aku mulai pandai untuk menutupi bengkak di mataku dengan foundation.

Bedanya, foundation di tahun 2020 bisa menutupi bengkak di mataku hanya dengan satu atau dua kali penggunaan (lagipula aku bisa menggunakan concealer). Sedangkan foundation yang sekarang kugunakan bahkan bisa membuat tanganku patah sekarang. Entah sudah beberapa kali aku menepuk bagian bawah mataku agar foundation ini segera menyerap.

Oke, maaf, ini tidak penting.

Baiklah, meski tidak sesempurna yang kulakukan di tahun 2020, setidaknya tak akan ada yang curiga bila aku baru saja menangis. Aku memasukkan foundation ke saku rokku kemudian menepuk pipiku sekali lagi sebelum keluar dari toilet.

"Yukiko."

Aku bersumpah jantungku hampir saja jatuh dari tempatnya ketika seseorang memanggilku tepat ketika aku baru saja keluar dari toilet.

"Sakai Rin?"

Gadis dengan tubuh yang tingginya tak jauh dariku ini kini menatapku datar. Kali ini, tidak dengan antek-anteknya. Hanya ia sendiri.

Merasa terintimidasi, tanganku yang masih memegang gagang pintu toilet kini menggenggam benda itu erat-erat. Aku menegakkan tubuhku dan menatap gadis itu tanpa ekspresi.

"Yukiko..."

Aku menatapnya aneh. Kurasa aku dan ia tidak sedekat itu untuk saling memanggil nama depan kami.

"Apa maumu?" tanyaku skeptis.

"Aku... uhm.. aku minta maaf."

Aku terkejut setengah mati saat gadis itu tiba-tiba memelukku dan menangis.

"Yukiko, aku minta maaf atas kelakuanku kemarin. Aku.. aku tidak tahu mengapa aku begitu. Mereka memanas-manasiku dan menyuruhku melakukannya. Jadi, aku melakukannya. Maaf, aku sungguh minta maaf."

Aku diam saja, tidak membalas pelukannya hingga ia melepasnya sendiri dan menatapku masih dengan air mata yang menggenang.

"Maafkan aku, ya, Yukiko?"

Ada sebagian dalam diriku yang tak percaya sama sekali dengannya, lebih seperti memaksa diriku  sendiri agar tidak mempercayainya. Tetapi, kuhela napasku. Tidak ada gunanya marah berlama-lama padanya. Lagipula aku tak sampai patah kaki atau apa.

"Oke, aku memaafkanmu."

"Terima kasih! Yukiko yang terbaik!" Gadis itu tersenyum lebar dengan dua jempolnya yang teracung padaku.

Aku tersenyum tipis, memandang gadis itu kemudian melambaikan tangannya dan meninggalkanku. Skenario apa lagi ini?

***

"Ayato, kau berisik sekali. Apakah kau bisa berhenti?"

Aku mengerjap saat Eiji tampak menatapku sebal. Barulah aku menyadari, pena yang sedari tadi kugenggam tak kugunakan sama sekali untuk menulis, melainkan kuketuk pada meja panjang berornamen kayu tempat aku dan Eiji duduk sekarang.

Aku bahkan bisa melihat petugas perpustakaan yang melihatku tajam dan kini, mengangguk puas saat Eiji menegurku.

"Tidak biasanya kau malah melamun begini. Apalagi di perpustakaan, kau 'kan biasanya menghabiskan waktu dengan merangkum. Tumben sekali bukumu masih kosong padahal sudah satu jam sejak kita di sini."

Aku menatap Eiji sejenak kemudian beralih ke jam dinding yang tergantung di perpustakaan. Sebentar lagi jam pulang sekolah.

Kebetulan, guru literatur kami memperbolehkan kami untuk membaca buku-buku literatur di perpustakaan untuk jam terakhir pelajaran kami ini. Siswa yang tidak memiliki jadwal bersih-bersih bisa langsung pulang setelah ini.

Aku terkejut saat Eiji menepuk pundakku dan memasang raut sedih. "Bro."

Aku menepis tangannya ketika ia memanggilku dengan panggilan sok Inggris itu. Apa-apaan.

"Beberapa hari ini kau aneh sekali, bro, aku serius. Sejak hari Selasa, setelah ulangan literatur, kau berlari seperti kesetanan ke rooftop. Bahkan, hingga jam makan siang tadi."

Benar juga. Ini sudah hampir sejak aku uring-uringan mengenai masalah Suzumi. Sudah sejak hari Senin, ketika aku memergokinya begitu kacau. Dan, sejak itu, aku selalu melihatnya menangis, bahkan pada saat jam makan siang tadi, ia menangis dan selalu menangis.

Lima kali melihatnya menangis, lima kali juga aku tidak memiliki keberanian untuk sekedar menyapa dan bertanya.

"Bro, aku ini temanmu. Kau bisa percaya padaku, bro. Ceritalah, ceritakanlah padaku!" sahut Eiji sembari menepuk dadanya.

"Berisik."

"Eish, padahal aku berniat baik." omel Eiji.

Aku sudah larut dalam pikiranku sendiri saat Eiji tiba-tiba berbicara lagi.

"Apa kabar Mai, ya?"

Aku menghela napas. Lagi-lagi, Eiji membicarakan gadis ini.

"Aku ingin lebih dekat dengannya dan memberikannya cokelat ini." ujarnya sedih sembari memegang satu batang cokelat yang entah keluar dari mana.

Cokelat..

"Hey! Ini jatah Mai Hatsumi! Kau beli saja sendiri!" Eiji menjauhkan cokelat itu dari pandanganku.

Aku berdecak. Cih.

"Tapi, gadis itu seperti tidak sedang di dalam mood yang baik. Saat aku ingin memanggilnya, aura-aura di sekitarnya seperti berkata padaku 'menjauhlah, kau menyebalkan'. Bahkan, saat jam makan siang, ia selalu sendirian. Entah kemana Suzumi Yukiko yang biasa menempel dengannya."

Tentu saja, Suzumi Yukiko menghabiskan waktunya di rooftop menangis.

Tunggu.

Mai Hatsumi selalu sendiri. Suzumi Yukiko menangis di rooftop.

Tenggg!!!

Aku menutup buku literatur tepat bersamaan dengan bunyi bel sekolah yang berbunyi, menandakan jam pelajaran berakhir.

"Hari ini jadwalmu bersih-bersih?" tanyaku pada Eiji.

"Ya. Ugh, enak sekali kau! Hari ini bukan jadwalmu untuk bersih-bersih."

Maka, aku merebut cokelat yang diikat dengan pita merah muda tersebut dari tangan Eiji.

"Hey! Sudah kukatakan itu untuk Mai Hatsumi!"

"Aku akan memberikannya pada Mai Hatsumi." ujarku. Kemudian, aku memasukkan asal buku catatan dan alat tulisku ke dalam tas. Setelah menyampirkan tas ranselku ke pundak, aku melangkah tergesa menuju mading sekolah.

"Mai Hatsumi, Mai Hatsumi." ejaku, mencari namanya di antara daftar-daftar yang terpajang di mading sekolah itu.

"Mai Hatsumi, hari Jumat, kelas 2-2."

Beruntung sekali. Mai Hatsumi ternyata mendapatkan jadwal untuk bersih-bersih di hari Jumat.

Aku segera menuju kelas 2-2, kelas yang tak lain tak bukan adalah kelas dari Mai Hatsumi dan Suzumi Yukiko. Tanpa mempedulikan beberapa murid yang sepertinya adalah murid kelas 2-2, aku langsung menerobos masuk dan menghampiri Mai Hatsumi yang tampak sedang mengelap kaca jendela kelas.

"Mai Hatsumi?" Aku berhenti di depannya.

Gadis itu tampak menelisikku terlebih dahulu kemudian ia mengulas senyum tipis yang terkesan sopan.

"Ya, ada apa, Kakak Senior Ryoma?"

Aku menyodorkan cokelat titipan Eiji kepadanya. "Ada yang perlu kubicarakan denganmu."