"Enak sekali pekerjaanmu," komentarku begitu Key menandatangani berkas terakhir di tangannya sore itu. "Datang beberapa kali kemari, menandatangani berkas, lalu pulang, dan hotel ini adalah milikmu. Kau bahkan tidak perlu bekerja selain mengangkat bokongmu ke sini."
Key memutar kursinya, bersandar di sana dan menatapku yang berdiri di samping jendela kaca besar di belakang meja kerjanya.
"Kau hanya iri, karena kau bahkan tidak akan bisa melakukan pekerjaan semudah mengangkat bokongmu ke tempat lain seperti yang kulakukan ini," balasnya santai, tak sedikit pun terpancing dengan ledekanku.
Aku mendesis kesal. "Aku akan berhasil meyakinkan ayahku, bagaimanapun caranya."
"Tidak akan berhasil. Kau bahkan tidak tahu kehidupan luar selain rumahmu," sanggahnya.
"Kenapa aku tidak tahu? Tentu saja aku tahu. Di duniaku, semua orang akan tunduk padaku. Apa yang kutakutkan?" balasku sengit.
"Itu, karena kau tidak tahu yang sebenarnya. Jika seseorang berbuat baik kepadamu, kau harus curiga, pasti ada yang dia rencanakan di belakangnya," pria itu berkata.
"Maaf, tapi duniaku berbeda dengan duniamu. Di duniaku, tidak akan ada yang berencana mencelakaiku," tolakku. "Omong-omong tentang kecurigaan, bukankah itu berarti aku seharusnya mencurigaimu? Kenapa kau begitu baik padaku? Memberiku rumah untuk tinggal, pakaian dan makanan?"
Key tidak segera menjawab, tapi dia menatapku lekat. Sekilas di matanya, aku sempat melihat sebersit … rasa bersalah? Namun kemudian, pria itu melenyapkannya dengan senyum lebar.
"Begitulah. Kurasa kau harus mulai memikirkan itu. Siapa tahu, aku menyelamatkanmu karena aku berencana menjadikanmu Pasanganku. Toh kau begitu mudah ditipu, dan kau tidak bisa menipu. Pasangan yang sempurna," katanya riang.
Aku mendesis mendengarnya. Pasangan di sini adalah istri atau suami. Hanya bedanya, di sini, kau hanya bisa sekali memiliki Pasangan. Sekali kau mengikatnya, kau akan harus bersamanya. Selamanya. Bahkan meski dia menipumu, atau membunuhmu, dia adalah Pasanganmu.
"Aku bahkan tidak perlu melakukan Perjanjian jika kau yang menjadi Pasanganku," lanjutnya.
"Terima kasih tawarannya, tapi kurasa aku harus menolak itu. Aku punya dunia sendiri yang harus kujalani. Dan, aku sepertinya tidak cocok hidup di dunia ini. Duniamu terlalu mengerikan untukku. Aku tentu lebih suka jika semua orang menyukaiku dan bersikap baik padaku, alih-alih menipu dan mencoba merampokku," sinisku.
Key mengangguk-angguk. Dia lalu melompat berdiri dan berpindah ke sisiku dalam satu kedipan mata.
"Perlukah berpindah seperti itu hanya dalam jarak sedekat ini?" sindirku.
Key mendengus geli. "Aku hanya tidak tahan berjauhan dengan Pasanganku," balasnya, membuatku memutar mata. "Tenang saja. Begitu kau jatuh cinta padaku, kau pasti akan melupakan duniamu."
Aku mendengus meledek. "Coba saja," tantangku. "Tapi, perlu kuingatkan, kau sama sekali bukan tipeku."
Key meringis. "Tapi, aku tetap akan bisa membuatmu jatuh cinta. Aku bisa menjamin itu," katanya tanpa keraguan.
"Aku juga bisa menjamin, aku tidak akan jatuh cinta padamu. Jadi, pikiran tentang aku akan lebih memilihmu daripada duniaku, kau bisa membuangnya jauh-jauh," aku menenangkannya.
"Tidakkah sedikit pun kau berpikir untuk tinggal di sini? Bersamaku?" Suara pria itu tiba-tiba terdengar serius.
Ketika aku menatapnya, aku mendapati diriku tak sanggup menjawab karena sorot kesungguhan di sana. Key … dia ….
"Lihat, kau bahkan tidak bisa langsung menjawab jika kau ingin pergi," katanya, seketika sorot usil kembali ke mata cokelatnya.
Aku menatapnya geram. Seharusnya aku tidak pernah percaya pada pria ini. Tidak sekali pun. Tidak sedikit pun. Mungkin, benar-benar mungkin, pria ini punya alasan kenapa dia menyelamatkan dan membawaku ke rumahnya. Mungkin. Namun, aku mendapati diriku enggan memikirkan kemungkinan itu.
***
"Crystal, menunduk!" Teriakan panik itu datang dari Key yang berjalan beberapa meter di belakangku, setelah kami bertengkar, –berdebat, tentang hal kecil beberapa saat lalu.
Alih-alih menuruti kata-katanya, aku justru menoleh ke arahnya. Kulihat dia sudah menghilang, lalu aku mendapati diriku terbanting ke tanah, dengan tubuh Key menimpa tubuhku.
"Apa yang kau lakukan?!" teriakku protes. "Kau …" Kalimatku terhenti ketika Key membungkam mulutku dengan tangannya.
"Sshh." Dia memintaku diam.
Aku mengerutkan kening, tapi tak protes ketika melihat keseriusan, dan kepanikan, di matanya.
Namun setelah beberapa saat, aku tak bisa menahan diri mengeluh, "Kau berat …"
"Maaf," gumamnya seraya menyingkir dari atasku, lalu beranjak duduk.
Saat itulah, akhirnya aku bisa melihat sebuah … anak panah? Ya, anak panah pendek, tertusuk di lengannya. Dan lengannya berdarah. Sial.
Aku beranjak bangun dan memeriksa lengannya. "Apa yang terjadi?" tuntutku.
Key menggeleng seraya menarik tangannya dariku, sedikit meringis. Tanpa kata, dia mencabut anak panah di lengannya. Seketika, darah mengalir semakin deras dari sana, membuatku mual, sekaligus panik.
"Bagaimana bisa seperti ini? Apa yang terjadi tadi?" tanyaku panik, nyaris menangis, sungguh. Dengan panik, aku menggunakan tanganku untuk menutup lukanya.
"Aku baik-baik saja." Key berusaha menyingkirkan tanganku.
Aku bertahan menutupi luka di lengannya, hingga dia berkata, "Tanganmu tidak steril, bagaimana jika lukaku terinfeksi?"
Refleks aku menarik tanganku, membuatnya mendengus geli. Namun, aku tahu dia tidak sedang bercanda. Meski kemudian, dia malah menggunakan tangannya untuk menutupi lukanya, membuatku sontak menyembur,
"Kau pikir tanganmu bersih?"
Key meringis, menggeleng. "Setidaknya, ini akan menutup lukanya," katanya santai.
"Kita harus segera ke rumah sakit," kataku sambil berdiri, tapi kemudian, dia menahan tanganku dan menarikku kembali duduk. Kali ini, aku tidak melompat seperti sebelumnya karena terkejut ditarik ke arah lantai kaca di mana aku bisa melihat kemungkinan aku akan jatuh ke bawah tanpa kacanya. Yah, hampir dua bulan berada di sini, aku sudah membiasakan diri dengan itu juga.
"Aku baik-baik saja." Setelah mengatakan itu, Key menunjukkan luka lengannya yang … sudah tertutup sempurna. Bagaimana bisa …?
"Selama aku tidak pingsan, aku bisa mengobati diriku sendiri," katanya. "Tapi, aku tidak bisa mengobati orang lain. Ada Pejuang yang memiliki bakat Penyembuh, dan dia bisa menyembuhkan luka orang lain. Tapi, aku tidak memiliki kemampuan itu. Meski begitu, setidaknya aku bisa mengurus lukaku sendiri."
Aku masih menatap ke arah lengannya dengan tak percaya. Meski masih tertutup noda darah, tapi lukanya sudah lenyap. Seperti sihir.
"Sekarang, baru kita bisa pergi," katanya. Kali ini, dia berdiri lebih dulu.
Saat itulah, aku baru terpikir untuk mengawasi sekitarku. Aku mendapati kami berada di sudut gang mirip tempat pertemuan pertama kami, meski ini gang yang berbeda, tapi sama-sama buntu.
"Kenapa kau membawa kita ke sini? Siapa yang melakukan itu tadi? Yang menyerangmu itu," tuntutku ketika mendongak ke arahnya.
"Bertanyalah satu-satu," balasnya seraya meraih satu tanganku dan dengan mudah menarikku berdiri.
"Kenapa kau …" Kalimatku berganti teriakan ketika tiba-tiba dia memelukku. Ketika aku mengedipkan mata, aku sudah berada di tempat lain lagi. Kali ini, di halaman rumahnya. "Membawa kita ke sini?" Aku melanjutkan pertanyaanku.
"Di sini aman," jawabnya seraya duduk di atas rumput. Berbeda dengan di duniaku, rumput di sini, meski juga berwarna hijau, tapi rumputnya transparan. Rasanya sama seperti rumput di duniaku, tapi lebih lembut, lebih nyaman. Mungkin karena rumput ini tumbuh di atas kaca.
Aku ikut duduk di sebelahnya. "Di gang tadi juga?" aku memastikan.
Key mengangguk. "Tidak seharusnya para Pejuang menggunakan kekuatannya di tempat umum, di depan banyak orang. Terutama kekuatan yang terlalu besar. Itu hanya akan mencelakakan diri mereka sendiri."
Aku mengerutkan kening. "Kenapa begitu? Orang-orang tampaknya tidak berani menyerang para Pejuang, melihat bagaimana mereka bereaksi ketika tahu kau adalah Pejuang. Kau juga pernah menggunakannya di tempat umum, ketika mengendalikan pikiran orang yang mencuri ponselku itu."
"Bukan orang-orang yang menyerang kami. Dan kekuatan yang berhubungan dengan pikiran, meskipun itu adalah kekuatan yang hebat, tapi tidak bisa dirasakan dari luar. Tapi, beberapa kekuatan yang berhubungan dengan pikiran bisa sangat berbahaya jika digunakan sembarangan di luar sana," terangnya.
"Tunggu! Jika bukan orang-orang itu yang menyerangmu, lalu siapa? Dan senjata apa yang dia gunakan? Anak panah? Kupikir kita sudah berada di zaman modern," protesku.
Key tersenyum geli ketika menatapku. "Jika aku memintamu untuk tidak bertanya, apakah itu akan menghentikanmu?" tanyanya.
Tentu saja aku menggeleng menjawabnya.
Key mendesah pelan. "Orang-orang yang sudah kau temui, yang tak seharusnya kau percayai di sekitarmu, yang akan menipumu dan merampokmu setiap ada kesempatan, yang mengabaikanmu ketika mereka berpikir kau tidak berguna, mereka tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang akan kukatakan padamu ini."
Aku mengepalkan tanganku. "Apakah … kita akan membicarakan tentang … pembunuh?" tanyaku hati-hati.
Key menatapku. "Kurang lebih seperti itu. Tapi, target mereka adalah para Pejuang. Sepertiku."
Aku terkesiap. "Mereka … ingin membunuhmu? Tapi … kenapa? Bagaimana mereka tadi menyerangmu? Sebelum ini, kita baik-baik saja, kan?"
Key kembali menatap ke depan. "Lagi-lagi pertanyaan beruntun itu. Kurasa aku akan mati lebih dulu karena pertanyaanmu alih-alih serangan para Pemburu," dengusnya.
"Pemburu?" pikiranku seketika terpusat pada satu kata itu. "Mereka … pembunuh yang memburumu?"
"Lebih tepatnya, pemburu yang ingin membunuhku," ralat Key, begitu santai.
***