webnovel

Little Devil

Sekelompok empat pemuda tiba-tiba berada di dunia lain setelah melewati sebuah pintu besi. Mereka tidak dipindahkan bersama-sama di tempat yang sama, namun mereka terpisah di sebuah daratan yang berjauhan. Zakiel, yang berpindah di sebuah negara ras iblis, harus ikut berbaur bersama mereka hingga akhirnya dia bertemu dengan iblis bernama Nia yang membantunya untuk kembali ke tanah para manusia.

Fiku · Fantaisie
Pas assez d’évaluations
5 Chs

4. Inikah keindahan yang kau maksud?

Zakiel dan Ceiti terus dan terus berjalan mencari jalan keluar, Ceiti menjadi lebih banyak bicara seiring waktu yang mereka habiskan bersama.

"Kasih tahu aku, seperti apa benua iblis ini?"

"Oh!! Tentu saja sebuah tempat yang indah! Orang-orang menikmati hidup mereka bersama keluarga, anak-anak bermain dengan ceria, para petualang menikmati petualangan mereka. Dan yang paling penting, tempat ini sangat damai dalam kekuasaan Ratu Ances! Daemon terkuat di seluruh negeri!!"

"Oh begitukah. Tapi, kenapa kamu begitu menyukai tempat ini, maksudku kamu itu Daemon yang cacat. Daemon lain pasti tidak menyukaimu, dan nyawamu bisa saja terancam?"

"Kamu salah." Ceiti menggelengkan kepalanya, "Aku diperlakukan seperti itu karena tinggal di kota kecil, mungkin jika aku pergi ke kota besar atau ke ibukota, akan beda lagi ceritanya—"

"Ya, maksudmu langsung di bunuh di tempat?"

"Bukan woi!" Teriak Ceiti, lalu mengembungkan pipinya dan mengepalkan tangannya.

"Ratu Ances itu, meskipun memiliki kekuatan yang sangat hebat. Dia bukanlah seorang keturunan kerajaan...." Ceiti berhenti sejenak mengambil nafasnya, "Ratu sebelumnya mengadopsinya, dia mengajarinya beberapa hal tentang bagaimana menjadi seseorang yang hebat. Mulai dari pengetahuan hingga sihir, Ratu Ances mendapatkan semuanya saat masih kecil." Lanjutnya.

"Oh aku tahu, jadi karena Ratu Ances ini tidak memiliki darah kerajaan. Dan saat dia menjadi ratu dan menguasai seluruh daratan, dia tidak pernah bersikap sombong atau melakukan diskriminasi terhadap sesuatu yang cacat, begitu?"

"Kurang lebih seperti itu, tapi—"

Zakiel tiba-tiba berlari meninggalkan Ceiti di belakang.

"Hey!"

Zakiel melihat ke belakang sambil berlari, dia mengangkat tangannya ke atas dan berteriak, "Di depan sana adalah jalan keluarnya, cepat!!"

Mendengar hal itu, Ceiti membuka matanya lebar dan ikut berlari menyusul Zakiel. Ketika Zakiel sedang bersemangatnya berlari, tiba-tiba sesuatu yang cepat menyalipnya yang ternyata adalah Ceiti.

'What the, cepatnya!'

Mereka saling susul-menyusul sampai keluar dari hutan—tidak. Meskipun mereka berlari dengan sangat cepat, tapi sebuah sorotan cahaya putih—tempat lain di luar hutan—di depan mereka tidak bergerak sama sekali, seakan mereka hanya berlari di tempat.

"Sudah... berapa lama... kita berlari seperti ini?!" ucap Zakiel terbata-bata.

Ceiti terlihat kelelahan, dia terlihat seperti akan memuntahkan sesuatu keluar dari mulutnya.

"Ak... Tidak kuat lagi... Uweee...."

Ceiti tumbang saat berlari dan jatuh seketika menabrak akar besar yang merambat. Zakiel menghentikan langkahnya dan segera kembali menyusul Ceiti yang terjatuh.

"Kamu tidak apa-apa?"

"Apa kamu buta? Bagaimana ini... bisa disebut baik-baik... saj—uhkkk!"

Ceiti memuntahkan cairan hitam dari mulutnya, Zakiel sedikit terkejut dan mengkonklusikan itu adalah warna darah dari Daemon—namun faktanya, darah ras Daemon sama seperti manusia, yaitu berwarna merah. Jadi apa yang dimuntahkan oleh Ceiti?

"Nih, pakai untuk membersihkan darah di mulutmu." Ucap Zakiel, memberikan sebuah kain putih polos—saputangan.

"Ini bukan darah...." Balas Ceiti sambil mengambil saputangan dan mengusap cairan hitam di sekitar mulutnya.

"Kalau bukan darah, lalu apa?"

"Racun...." Sambil mengucapkannya, Ceiti mengembalikan saputangan itu pada Zakiel.

Zakiel mengambil saputangan dari Ceiti yang kini terdapat noda hitam, dia melempar saputangan itu lalu merogoh tas kecilnya.

"Kenapa kamu membuangnya?"

"Karena aku tidak membutuhkannya."

Zakiel membawa sebuah botol kecil berbentuk prisma, setengah dari botol itu terisi dengan cairan biru. Dia memberikannya kepada Ceiti yang sedang membuat raut wajah yang bodoh.

"Kenapa kamu mempunyai barang-barang seperti ini di dalam tas kecilmu itu?! Dan kenapa semua ini seperti kamu sudah menyiapkannya?!"

"Jangan banyak bertanya, cepat minum ini!"

Zakiel membuka tutup botol itu, lalu dia menggenggam rahang Ceiti.

"Uuukuuwuu?!!"

Dia menarik rahangnya ke bawah dan membukakan mulutnya sedikit, lalu dengan tangan satunya yang membawa sebuah botol cairan biru—dia menuangkannya ke dalam mulut yang terbuka itu dengan sempurna.

Melepaskan rahangnya dan menutup botolnya kembali, Ceiti yang habis menelan cairan itu secara paksa sedikit tersedak sesudahnya.

"Uhuk-uhuk, apa yang barusan kamu berikan padaku?!"

"Antidot." Ucapnya sambil menyimpan botol kecil tadi kembali ke tasnya.

"O-oh...."

Bukannya merasa lega atau sebagainya, wajah Ceiti tampak kecewa setelah mendengarnya. Di lubuk hatinya, dia mengharapkan sesuatu yang lain daripada sebuah obat penawar racun.

"Apa-apaan dengan reaksi itu, apa kamu mengharapkanku memberi sebuah obat perangsang? Maaf saja, aku tidak tertarik dengan hal it—"

Zakiel mengingatnya—ketika dia hampir saja akan menyerang perempuan yang tidak terjaga yang tak lain adalah Ceiti. Dia langsung berdiri, tidak menyelesaikan kalimatnya yang hanya tinggal satu huruf lagi saja.

"Sudahlah, ayo kita lanjut lagi, jalan keluarnya ada di depan sana...." Dia mendecakkan lidahnya, raut wajahnya pun berubah, "Jalan keluar yang tidak akan pernah tercapai...." lanjutnya.

"Kakak...." Suara itu terdengar menggema di udara.

Lagi-lagi suasana menjadi sunyi bagi telinga Zakiel, mengalami hal ini untuk kedua kalinya, matanya bergerak mencari si sosok hitam bermata ungu—Specter yang menyebabkan semua ini.

Matanya berhenti saat melihat ke atas, sosok hitam itu—Specter sedang melayang turun sambil melambaikan tangannya. Specter tersebut tampak bahagia jika kamu melihat bentuk dari matanya.

"Kamu lagi." ucap Zakiel menatapnya tajam.

Mata ungu Specter itu melengkung—menjorok ke atas—dan bertingkah seperti anak kecil yang melihat orang tuanya yang baru saja kembali dari peperangan. Kemudian, Specter itu mencondongkan badannya ke depan dan menggelengkan kepalanya. Sebuah rambut—ahoge—muncul dari kepalanya dan bergerak seperti ekor, sepertinya Specter itu menginginkan sebuah elusan di kepalanya.

"Elus, elus, elus. Kepala, Zakiel!"

"Ehh...?"

Kemudian sepasang telinga dan ekor rubah muncul dari kepala dan bokong Specter itu, ekornya bergoyang dengan cepat, seperti seekor anjing yang menginginkan kasih sayang.

Yah, Zakiel yang melihat hal tersebut, sudah pasti tidak dapat menolaknya lagi. Karena itu adalah titik lemahnya—dia adalah seorang maniak telinga hewan—hal ini juga dapat menjelaskan mengapa dia mencuri beberapa barang cosplay. Awalnya, Zakiel berniat untuk memberikan Ceiti sebuah ikat kepala telinga kucing, namun itu bukanlah waktu yang tepat, dia akan menunggu setelah dia berhasil keluar dari hutan itu terlebih dahulu.

Zakiel yang tenggelam dalam kenikmatannya mengelus kepala Specter bertelinga rubah itu, kemudian menyadari bahwa waktu telah berhenti berputar ketika dia melihat Ceiti yang membeku seperti patung.

Dia berhenti mengelus kepala Specter itu, lalu bertanya padanya, "Apa kamu yang melakukan ini?"

"Fur, fur, fur. Aku tidak ingin ada yang mengganggu. Fur...." Ungkap Specter itu sambil menggeram seperti kucing.

Zakiel tersenyum tipis dan meneruskan apa yang sedang dia lakukan sebelumnya—mengelus kepala dan ekor.

"Sepertinya kamu Specter yang ramah. Jadi, ada perlu apa denganku?"

"Fur... Aku ingin pergi dari hutan ini, fur... Bawa aku bersama Zakiel, fur...."

"Haaa, itu pun kalau kita bisa keluar dari hutan ini...."

Specter menggoyangkan seluruh tubuhnya dan menghilang seperti debu. Lalu muncul kembali sedang berdiri membelakangi Zakiel.

"Jika kamu bisa keluar dari hutan ini, apa kamu akan membawaku?" Tanya Specter.

"Ya, seperti yang kubilang. Itu pun kalau kita bisa keluar...."

Zakiel mengangkat bahunya sambil menggelengkan kepalanya, dia bangkit berdiri setelah menghela nafas. Setelah berdiri, dia dibuat terkejut oleh pemandangan di depannya yang seketika berubah. Meski sudah menggosok matanya beberapa kali, pemandangan itu tidak hilang.

"Apa ini...."

Setelah kata itu, waktu kembali berputar dan Ceiti ikut terkejut, matanya terbuka sangat lebar dengan rahangnya yang terbuka—menganga.

Itu adalah sebuah pemandangan yang sulit dipercaya oleh mereka berdua. Karena, tempat mereka berada sekarang adalah di luar hutan, dan kondisinya sangat parah sekali.

Tanah kering yang berlapis darah, kobaran api yang besar dari kota di balik tembok besar beserta orang-orang berlari keluar dari kota yang ditembaki oleh hujan panah.

Langit gelap dengan bulan berwarna merah bersinar di angkasa seperti sedang merayakan kejadian tersebut.

"Apakah ini keindahan yang kamu maksud? Ceiti...." Ucap Zakiel dengan raut wajah sedih.

"Apa yang... terjadi?!"

Ceiti berlari menuju kekacauan itu, namun Zakiel membiarkannya begitu saja.

Angin berhembus dan membawakan aroma dari kekacauan tersebut pada Zakiel. Lalu, bayangan hitam muncul dan membentuk wujud manusia.

"Zakiel tidak mengejarnya?"

Specter yang terwujud dari bayangan hitam itu menatap Zakiel dengan mata yang terlihat sedih—karena Specter ingin pergi dari hutan itu untuk melihat keindahan daratan benua iblis yang dibicarakan oleh Ceiti, tapi yang dia lihat sekarang sungguh sangatlah berbeda dengan perkataan perempuan Daemon yang tengah berlari menuju kekacauan di kota.

"Hei, Specter. Apa aku boleh memanggilmu Eruna?"

Specter tampak terkejut—terlihat dari matanya.

"Tentu saja! Eruna, itu nama yang bagus, akhirnya aku mendapatkan nama. Terima kasih, Zakiel!"

Beberapa detik kemudian, tubuh hitam Eruna si Specter itu terlihat seperti air yang bergejolak. Angin berkumpul di sekitarnya dan membuat sebuah pusaran angin berwarna hitam yang menjulang ke langit.

"Apa ini, Eruna?!"

Zakiel yang mencoba melawan kuatnya tekanan angin tersebut, akhirnya dibawa terbang beberapa meter ke belakang.

"Uakk!"

Lalu perlahan angin hitam itu mengecil dan memudar, memperlihatkan sosok anak kecil berambut hitam panjang tanpa busana.

Anak kecil tersebut berbalik ke belakang dan seluruh bagian tubuhnya dapat terlihat jelas oleh Zakiel, kecuali bagian bawahnya yang masih tertutup oleh angin hitam di sekelilingnya.

"Zakiel!"

Mata Zakiel melebar ketika mendengar suaranya itu, yang tak lain adalah....

"Eruna?"