"Malam ini, tidur aja di sini. Anakmu capek kalau mau langsung balik ke Sidoarjo, di sini saja dulu sampe 7 hari nya mbahmu." Ucap sepupuku, anak dari budhe ku.
Bagai kembali ke lorong waktu, aku memandang lekat pada rumah di hadapanku yang penuh dengan kenangan. Semua kebahagiaan yang pernah ada terputus di tempat ini.
Rumah Mbah kecil, adik dari mbahku yang meninggal barusan , rumah yang begitu luas di apit dengan hamparan pohon pohon salak. Yach.. si mbahku pengusaha, beliau begitu ter kenal di kampung ini. Juragan tanah dengan perkebunan salak dan sengon. Cintanya begitu besar pada kami, meski beliau begitu keras pada kami, tapi itu untuk kami, agar kami tidak manja dan mandiri.
"Ayo masuk, kok malah bengong." Sepupuku membuyarkan lamunanku. Aku begitu merindukan rumah ini dan isinya. Ah.. entah mengapa aku selalu memimpikannya.
Di rumah inilah pertama kali aku bisa melihat mereka yang tak kasat mata. Jika di tanya lagi, karena apa? Aku juga ragu. Di rumah ini, aku melihat ratu ular dengan dayang dayangnya duduk di atas singgahsana berbentuk kepala ular pada waktu tengah malam, saat itu gendruwo "ingon-ingonne" Mbah mat menggoda ibu. Mengetuk jendela kamar sampai tiga kali. Saking geramnya, ibu meminta si Mbah mengecek dan menegur gendruwo tersebut. Ketika si Mbah berjalan ke arah pohon coklat samping rumah, aku mengikutinya. Sebenarnya aku takut, hanya saja penasaran. Alhasil, bukan gendruwo yang aku lihat tapi ratu berambut ular. Persis seperti Susanna di tipi tipi. Aku kira ratu ular itu hanyalah khayalan semata, tapi pada nyatanya dia ada.
Saat itu aku masih SD, melihat ratu ular bukannya aku takut , malah takjub. Tubuhnya berkilau dengan warna emas, wajahnya cantik. Dan singgahsananya begitu indah.
"Kamu kok ngelamun toh, ngelamunin apa?" Lagi lagi lamunanku buyar. Sepupuku mengangkat koper yang aku bawa dan memasukkannya ke kamar ibu dulu. Aku tak menjawab hanya mengikutinya dari belakang. Kamar yang kecil dengan satu kasur besar dan meja di sudutnya. Aaahhh.. aku teringat lagi, di kamar ini canda tawa tercipta hingga membuat iri saudara lainnya. Yah.. rumah si Mbah ini seperti punden, bukan hanya ada aku, ibu, ayah, adik, Mbah saja yang tinggal disini,tapi saudara lainnya juga ikut numpang tinggal di rumah ini.
"Tak tinggal dulu ya sar, aku masih mau jemput adekmu sekolah. Takut telat, kasian nunggu." Aku hanya tersenyum dan mengangguk.
Aku keluar dari kamar dan berjalan mengitari rumah besar ini. Dapurnya sudah berubah, dulu di tempat ini aku membantu ibu menyulut plastik berisikan kerupuk untuk di jual ke warung-warung. Meski kami tinggal dengan si Mbah yang terkenal kaya raya, tak serta Merta membuat kami lupa diri jika kami di sini hanyalah menumpang.
Dapur ini sangat luas , bahkan jika di buat 1 rumah, sangat cukup. Kami dulu paling suka bermain di sini, bermain dan membantu si Mbah dan ibu masak. Pernah suatu ketika, saat itu kami menyiapkan tahlilan untuk 1000 harinya Mbah buyut. Tanpa aku tanya, minyak jelantah yang aku kira air cucian tangan aku pakai untuk mencuci tanganku, alhasil Mbah dan ibu tertawa melihat kekonyolanku. Mereka begitu mesra, meski ibu bukanlah anak kandung, tapi Mbah Putri begitu menyayangi ibu. Itu yang membuat pakdhe dan budhe serta saudara lainnya iri, hingga membuat kami terusir dari rumah ini.
"Nduuuk.." samar samar, aku mendengar suara orang memanggilku. Aku tajam kan kembali pendengaran ku, aku langkahkan kaki ke arah pintu belakang, saat pintu ku buka, aku tak mendapati siapapun di sana. Hanya rerimbunan pohon pohon salak yang bergoyang tertiup angin.
"Nduk.."
"Astaghfirullah haladzim.." aku terkejut ketika Mbah Mbah sepuh menepuk pundakku dari belakang.
"Ya Allah Mbah, Kulo kaget." Jawabku mengelus dada yang jantungnya hampir lepas dari tempatnya.
Si Mbah tua itu tidak menjawab, wajahnya pucat dan menuntunku untuk berjalan keruang tamu.
"Kamu seng ati ati Karo mbakmu, dia bukan orang baik. Di depanmu dia tersenyum, menyambutmu ramah. Tapi hati hati, bisa jadi dia punya maksud tertentu."
Aku tak paham akan ucapan si Mbah tua tersebut, selama ini aku dan kakak sepupuku hubungan kami sangat baik. Bahkan tak jarang dia menelpon dan menanyakan kabarku.
"Assalamualaikum.." ku dengar suara salam dari arah pintu depan.
"Waalaikumsalam.." setelah menoleh ke pintu ruang tamu, ku toleh kembali si Mbah tua yang duduk di sebelahku tadi. Betapa terkejutnya aku, si Mbah tadi tak ada di sampingku. Aku jelas masih merasakan genggaman kuat tangannya.
"Mbah .. Mbah.." aku berjalan mencari sosok tua tersebut, memasuki dapur, kamar mandi, sampai ke dalam gudang. Tapi aku tak menemukan sosok tersebut.
"Nggolek i sopo sar?"
"Mau Ono Mbah Mbah sepuh duduk sini mba, ngobrol sama aku. Tapi kok Sekarang udah ga ada."
"Ah ngimpi koe, mana ada Mbah Mbah di rumah ini. Kamu butuh istirahat, istirahat saja dulu. Suami dan anak mu suruh tidur di sini saja, klo tidur di rumah emak nanti malah ga bisa tidur, berisik ada Adit di sana." Rumah kakak sepupu dan emaknya berdekatan, hanya melewati 5 rumah dari rumah sepupu.
Saat tiba tadi, mas Awi membawa Amira untuk sowan kerumah budhe, kakak ke dua dari ibuku. Sedangkan yang tinggal bersama Almarhum Mbah , adalah kakak pertama ibuku. Dan yang tempat bermain Amira dengan Nabil adalah rumah budhe yang nomor tiga. Meski mereka bersaudara, tapi mereka bermusuhan. Bukan tanpa alasan, semua terjadi karena warisan. Bahkan sampai sekarang, masalah warisan itu tak ada ujungnya.