"Besok kita pamit lebih awal yuk pa, mama mau ajak papa ke tempat om dan Tante. Rumahnya Gak jauh dari sini kata tante."
Malam itu, kita tidur bertiga dalam satu tempat tidur. Saling menjaga, saling berdoa. Melepaskan beban beban yang ada di fikiran. Berharap hari esok segera menjelang.
***
"Selamat pagi" ucapku saat melihat Adel di lorong hotel.
"Eh..Pagi mbak sari. Apa kabar hari ini?" Jawabnya ceria.
"Hemm kabar baik, kabar baiknya lagi hari ini kita pulang." Jawabku sambil tertawa . Aku benar benar bahagia akan meninggalkan hotel ini. Hahhaha .. padahal tiga hari yang lalu, aku orang yang paling bahagia akan liburan tahun ini.
"Kopi mbak?" Ku tawarkan kopi padanya saat sampai resto tempat kami sarapan.
"Hemmm.. maaf mbak, aku gak ngopi." Ucapnya menolak.
"Lho.. bukannya kemaren kita ngobrol waktu sarapan, kan mbak Adel minum kopi tuh, kok sekarang bilang engga ngopi?" Aku rasa dia bergurau. Padahal kemaren dia minum kopi bersamaku pagi itu.
"Ah mbak, aku kemaren di kamar aja engga enak badan. Aku demam, tanya mas Bram kalau engga percaya." Jelasnya sambil menunjuk suami nya yang masih sibuk mengambil teh di tangan kanan dan nasi goreng di tangan kiri.
"Jangan bercanda mbak, jelas jelas kemaren mbak Adel ngopi loh sama aku. Disini.. Di kursi ini dan mbak Adel juga lihat Noni Belanda lewat tembok situ." Ku tunjukkan tempat di mana Noni Belanda kemaren di tunjuknya. Mendadak ada bayangan wanita tepat di depan tembok yang aku tunjuk. Dia menatapku dan tersenyum lebar.
"Mas, kata mbak sari kemaren aku ngobrol sama dia di sini. Kan aku kemaren seharian engga keluar kamar kan mas ?" Adel mencari dukungan pada suaminya, dalam nada yang dia katakan seakan-akan dia tidak sedang bercanda atau pun berbohong.
" Iya mbak, Adel kemaren di kamar saja sama aku. Dia meriang, niat mau jalan jalan malah sakit. Kita cuma pindah tidur aja dari Surabaya ke Anyer hahahha." Di letakkan nya teh dan beberapa obat di depan Adel dan Adel pun meminumnya.
"Mungkin mbak salah lihat kali, aku gak kemana mana mbak. Aku tidur di kamar." Sekali lagi Adel menegaskan jika dia tidak berbohong.
"Ya Tuhan apalagi ini." jeritku dalam hati. Aku bangkit dari tempat duduk ku dan berlari keluar resto lalu masuk ke dalam lift. Rasa laparku mendadak hilang. Aku lupa, meninggalkan anak dan suami yang masih di resto.
"Pa.. kita packing sekarang !! Mama sudah di kamar." Tegasku, saat ku telpon suami yang masih sarapan di resto. Rasanya aku ingin sekali pergi secepatnya dari tempat ini.
"Iya.. sebentar papa baru naik, kenapa kok buru buru ma ? Katanya mau ke rumah Tante."
"Gak apa apa pa, kita ke rumah Tante pagi ini ya. Kan pesawat masih nanti sore, nanti kita nyusul aja ke bandaranya ga usah ikut rombongan."
"Iya, bentar ya. Tunggu di kamar. Jangan packing sendiri, kopernya berat ma." Sambung suamiku dari sebrang handphone.
Ku letak kan koper yang telah aku angkat, aku biar kan begitu saja di depan pintu kamar mandi.
"Mbak, mbak sari gak apa apa kan mbak?" Ku baca BBM dari Adela. Aku masih merasa ngeri, takut dan entahlah, susah di bayangkan dengan kejadian kemaren pagi bersamanya dan noni Belanda tersebut.
Jika yang ngobrol banyak denganku bukan Adela, Lalu siapa?
"2 hari lalu saat setelah acara Dinner, aku melihat seorang wanita cantik di kamarku mbak. Dia memakai gaun mewah bertopi seperti Noni Belanda yang mbak ceritakan tadi. Dia menghadap ke jendela kamar, memunggungiku." Lanjut Adela saat tak ku balas BBM nya namun dia tau sudah aku baca.
"Dia tidak memperlihatkan wajahnya, dia hanya bersenandung. Aku engga tau itu lagu apa yang dia nyanyikan, dan secepat kilat dia berbisik di telinga ku. "Go away" katanya sambil tertawa nyaring, bukan tawa Bahagia tapi tawa kesedihan. Aku terkejut, ketakutan lalu pandanganku gelap. Kata mas Bram aku pingsan." Aku terdiam, hanya mencermati tulisannya.
Ku baca lagi dari atas. Ku ingat ingat kejadian di resto pagi itu. Aku benar benar menatap matanya , mencari kebenaran tentang dia yang mampu melihat mereka yang tak semua orang bisa melihatnya.
"Iya mbak, aku gak apa apa. Hanya terkejut saja, karena aku jelas melihat mbak Adel pagi itu dan ngobrol denganku." Jawabku membalas chatingnya.
Lalu aku teringat sesuatu, yah.. pagi itu Adela pucat, lebih banyak diam tidak seperti Adela yang ceria. Dan matanya , ada sedikit warna hitam di bawah matanya. Aku lupa ingin menanyakan tentang kantong mata yang menghitam tersebut. Namun aku lupa karena mata ku teralihkan oleh Noni Belanda yang mendadak muncul di antara pelayan.
"Sepertinya kita harus segera pergi mbak, penunggu hotel ini tidak suka dengan kehadiran kita." Balas Adel lagi.
"Iya, ini aku mau cek out duluan mbak, mau ke rumah Tante. Kebetulan ada saudara dari ayah yang tinggal di dekat sini." Jawabku mengakhiri percakapan dan membukakan pintu saat ku dengar pintu tersebut di ketuk.
"Sudah packing ma ?" Tanya suami sambil menggendong si kecil.
"Lha kata papa tadi ga boleh packing sendiri, gimana toh kok malah tanya?" Aku mendadak takut, takut jika suara di seberang handphone ku tadi bukan suamiku.
"Hehehe iya, papa cuma tanya, kan mama bandel orangnya. Kalau di larang malah dilakukan. Ayuk sini kita kemasi barang barang kita." Ucapnya sambil merebahkan si kecil ke tempat tidur.
"Alhamdulillah.." desahku dalam hati dengan mengelus dada. Hahaha.. sumpah, aku begitu ngeri jika membayangkan yang ada di balik suara handphone tadi bukanlah suamiku.
Beberapa menit kemudian, kami sudah ada di lobby hotel dan berpamit pada teman teman lewat grup BBM , kami berkata nanti sore menyusul ke bandara. Kami pun memanggil taksi untuk berangkat ke rumah Tante.
"Assalamualaikum.." ku ucapkan salam sambil mengetuk pintu rumah Tante ketika kita sampai.
"Waalaikumsalam.. subhanallah, sari toh. Kok ga bilang mau kesini, biar surprise ya." Jawab Tante senang dan memelukku.
"Waaah ini pasti mas awi dan ini Amira, Ayuk ayuk masuk. Sini kopernya Tante bantu bawakan." Kita berjalan memasuki rumah Tante Dijah. Aku melihat anak kecil yang sedang sibuk menggambar, tak menggubris kedatangan kami.
"Ini anak Tante, ngga usah kaget. Dia autis sejak lahir, anaknya baik kok. Hanya saja dia sering berteriak dan marah jika keinginan nya tidak di turuti." Tante Dijah memperkenalkan ku pada anaknya, Bagas.
Aku ingat, keluarga ku pernah cerita bahwa Tante dijah memiliki satu anak, Tante Dijah sudah menikah puluhan tahun lamanya, Allah belum juga memberikan momongan karena setelah di periksakan, Tante dijah memiliki penyakit toxso. Alhamdulillah saat karir Tante dijah berada di puncaknya, Tante di nyatakan hamil oleh dokter.
Singkat cerita aku menceritakan, dalam rangka apa aku main ke rumah Tante dijah, dan aku pun menceritakan dimana aku menginap.
"Yang bener nduk, kamu nginep di hotel itu?" Tanya Tante memberiku piring yang berisikan jajanan pasar.
"Iya te, kalau tau hotelnya berhantu gitu, sari mana mau berangkat." Jawabku mendengus kesal.
"Kamu itu ya hehehe, bukannya sudah sering bertemu mereka. Masih saja takut kalau melihatnya. Bukannya rumahmu yang sekarang juga berhantu." Ucapan Tante mengingatkan rumah kontrakan yang aku tempati saat ini. Mendadak bulu kudukku berdiri. "Hiiii.." aku bergidik.
"Ceritanya itu, sari seneng banget di ajak liburan , niat hati ingin refreshing te, sekalian melarikan diri sejenak dari usilnya penunggu rumah kontrakanku. Eh malah disini kena apes." Hahahaha.. aku ketawa geli. Teringat wujud pocong yang tiba tiba lewat tanpa permisi di depanku saat aku sibuk menyapu ruang tamu dirumah.
"Coba Ruqyah nduk, siapa tau kamu ketempelan. Kata si Mbah dulu, kalau orang ketempelan bisa lihat mereka gitu." Jelas Tante menata kue kue ke dalam kardus.
Eh iya tanteku memiliki usaha terima pesanan kue dan jajanan pasar. Kebetulan saat itu orderannya sedang rame.
"Sudah te, tetep ga bisa ilang. Engga tau Sari bisa lihat mereka sejak kapan, yang pasti yang sari ingat itu saat Sari kecil, waktu masih tinggal di rumah si Mbah. Sari melihat ada wanita berambut ular duduk di singgahsana emas dan beberapa wanita ular yg duduk di bawah nya. Waktu itu sari liatnya tengah malam saat kamar ibu ada yang ngetuk 3x." Jelasku mengingat ingat kejadian masa lampau saat aku masih SD kelas 2.
"Banyakin istighfar, berdoa,meminta perlindungan Allah ya nduk."
"Nggeh te." Jawabku tersenyum.
Hari semakin siang, kami berpamit untuk berangkat ke bandara. Ada rasa sedih saat kami berpisah, karena itu kali pertama aku berkunjung ke rumahnya.
Sesampai di bandara, teman teman sudah ada di ruang tunggu. Ku lihat Adel duduk di ujung dan melemparkan senyum padaku.
Dan pukul 19.00 kami lepas landas.
Aku tatap rumah kontrakan itu dalam diam. Seakan-akan lepas dari mulut harimau masuk ke mulut buaya. Rumah yang tak besar dengan tipe 40/90 itu selalu menjadi momok angker bagiku. Dan aku harus melewatinya selama dua tahun kedepan. Sebelum nantinya aku memutuskan untuk pindah .