Elora merasa, dia pasti sudah sama gilanya dengan Mia, sampai mau setuju dengan ide Mia. Dan sekarang, jam delapan malam, mereka berdua sedang berdiri di depan pintu kamar kontrakan Rico.
Tok, tok, tok! Mia mengetuk pintu kamar itu.
Elora memainkan jari tangannya, itu kebiasaannya kalau lagi gugup. Kalau cowok itu tak ada di kontrakan, mungkin itu pertanda dari semesta, bahwa ide mereka memang terlalu konyol.
Klek! Pintu dibuka.
Elora sudah siap-siap. Dia harus menebalkan mukanya, dan memasang senyum palsu.
Rico memandang mereka berdua, alisnya terangkat. Dia cuma memakai kaus putih dan celana training pendek warna hitam. Rambutnya yang terurai tampak basah, sepertinya habis mandi.
"Ya?" tanyanya dengan suara berat. Wajahnya kelihatan heran.
"Halo, Rico... Kenalin, aku Mia, teman serumahnya El... Sorry ya, ganggu malam-malam... Boleh ngobrol bentar nggak?"
"Ngobrol apa?"
Cowok itu sepertinya juga tidak suka basa-basi.
"Mmm… Boleh ngobrol di dalam nggak? Nggak enak kalo didengar orang lain..." Mia melirik ke dalam kamar kontrakan, seolah memberi tanda.
Rico menaikkan alisnya lagi. Akhirnya, ia mau juga bergeser dari pintu, membiarkan Elora dan Mia melangkah masuk ke kamarnya.
Kamar kontrakan itu terdiri dari tiga bagian, yang disekat oleh dinding tripleks. Biasanya, bagian depan yang lebih luas untuk ruang duduk dan tidur, bagian tengah untuk dapur, dan di belakang ada kamar mandi. Elora harus mengakui, kamar Rico termasuk rapi untuk ukuran cowok, sekaligus agak kosong.
Sebuah kasur single tanpa dipan terletak di sudut, dipasangi seprai hijau tua polos, dengan satu bantal, tanpa guling. Ada lemari plastik tiga susun warna putih hijau di ujung kasur. Di samping kasur, tergeletak sebuah gitar, sebuah keyboard, dan sebuah tas biola. Cowok ini ternyata hobi musik.
Di tengah ruangan, digelar tikar dari anyaman rotan. Di situlah, Elora dan Mia duduk. Tidak terlihat barang lain lagi di situ, atau mungkin ditaruh di ruangan tengah yang lebih kecil.
Rico duduk di lantai ubin, di dekat pintu yang terbuka, bersandar ke tembok. Cowok ini sopan juga, pikir Elora. Dia tidak duduk di dekat mereka untuk menjaga sopan santun, atau dia memang risih dengan kehadiran cewek?
"Mmm... Langsung aja ya...," Mia mulai membuka obrolan. "El ini besok Sabtu mau ke rumah Omnya yang ulang tahun. Tapi, dia punya masalah sama Tantenya. Tantenya selalu ribut soal pacar. Sedangkan El masih jomblo... Ini sebenarnya ide dari aku sih... Aku bilang ke El, kita minta tolong seorang teman cowok aja, buat pura-pura jadi pacar El. Cuma buat temanin ke rumah Omnya itu kok, biar dia nggak dihina terus sama Tantenya... Nggak tau kenapa, aku kepikiran minta tolong sama kamu... Soalnya, kata El, kamu tuh orangnya baik, sering bantuin Mbok Ika, terus mau nganterin El ke halte juga..."
Elora melirik Mia. Kalimat terakhir jelas tidak benar, dia tak pernah bilang cowok itu baik! Sehabis ini, Elora mengingatkan dirinya sendiri untuk mencubit Mia sepuas-puasnya. Beraninya Mia mempermalukan dia di depan Rico!
"Aku tau, ini kedengarannya aneh. Tapi, kita juga udah nggak tau lagi, mau minta tolong siapa. Ini nggak maksa kok... Kalo kamu bersedia, ya kita terima kasih banget. Kalo nggak, juga nggak apa-apa...," Mia mengakhiri dengan sebuah senyuman manis.
Elora tidak berani melirik ke arah Rico. Alih-alih, ia memandangi alat musik yang terletak di sampingnya. Entah apa yang ada di benak Rico saat ini. Dua orang cewek aneh yang tidak dikenal, tiba-tiba datang malam-malam, dengan permintaan tolong yang absurd?
"Kamu pingin aku pura-pura jadi pacar El?" Rico bertanya pelan, seperti memastikan pendengarannya.
"Iya…" Mia mengangguk dengan penuh semangat.
Hening.
"Bayarannya apa?"
"Apa?" Mia spontan merespon.
"Apa?" Elora juga sama kagetnya dengan Mia, ia menoleh memandang Rico.
Rico mengangkat bahu. "Yah, fair dong... Kalian mau minta tolong, ada bayarannya nggak?"
Elora dan Mia saling berpandangan.
Cowok ini boleh juga, pikir Elora. Di saat Elora sedang dalam kondisi harus hemat uang, karena takut mendadak kehilangan pekerjaan, cowok ini malah minta bayaran. Berapa yang bisa dia tawarkan?
"Kamu maunya dibayar berapa?" akhirnya Mia yang bersuara.
Elora melirik Mia lagi, mencoba memberi isyarat. Apa tidak lebih baik mereka batalkan saja rencana ini? Dia tak sanggup membayar untuk hal segila ini.
"Bukan berapa, tapi apa?" Rico mengoreksi. "Aku bilang, bayarannya apa?"
Mia memandang Elora lagi.
"Kamu maunya apa?" Mia balik bertanya.
Rico terdiam, seperti sedang berpikir. Ia menatap Elora dengan mata tajam.
"Kamu bisa masak?" Pertanyaan itu ditujukan ke Elora.
"Hah…?" Elora terperangah.
"Bisa, bisa...!" Mia cepat-cepat menjawab. "El itu jago masak. Dia paling enak kalo bikin nasi goreng, tumis-tumisan... Pokoknya, enak banget deh masakan El...!"
Elora menyikut lengan Mia. Memangnya dia harus jadi koki pribadi cowok itu?
"Kalo gitu, buatin aku sarapan selama dua minggu. Tiap pagi, sebelum jam tujuh, taruh aja di depan pintu kamarku, kalo aku belum bangun. Sarapannya boleh pake nasi, boleh roti, atau snack. Yah, pokoknya yang layak dimakan... Tapi, jangan masak pete atau jengkol, aku nggak suka. Jangan keasinan, kalo pedes nggak apa-apa...," Rico menyebutkan syaratnya dengan santai, seolah Elora sudah pasti setuju.
Elora menatap Rico dengan rasa tak percaya. Kenapa sekarang cowok itu malah jadi bawel?
Mia menyentil lengan Elora. "Gimana, El? Bisa kan?" tanyanya dengan suara rendah.
Elora menoleh, menatap Mia. Pikirannya sejenak kosong, tak tahu harus menjawab apa.
"Ayolah... Cuma masak sarapan doang kok...," bisik Mia lagi. "Daripada diteror Tante Fey terus..."
Enak benar Mia ngomong begitu! Elora menarik nafas dalam-dalam. Sudah kepalang tanggung juga. Ia menatap Rico.
"Ya udah, tapi jangan malu-maluin aku di depan keluarga Omku ya...," Elora akhirnya nekat mengeluarkan syaratnya juga.
Sesaat, mata Elora dan Rico saling bertemu.
"Tenang aja, aku udah pengalaman kok...," jawab Rico dengan suara mantap.
Begitulah kejadiannya. Malam itu, Elora kembali ke rumah dengan membawa rantang stainless steel tiga susun, yang diberikan Rico untuk menyimpan sarapannya, sesuai perjanjian mereka. Rasanya Elora ingin memukulkan rantang itu ke kepala Rico, tapi apa boleh buat? Mereka sudah sepakat.
Yang lebih menyebalkan adalah reaksi Mia, yang sepertinya sangat bangga, karena idenya berhasil.
"Apa kubilang? Gampang kan, El?" ia terkikik. "Eh, betewe, Rico itu emang keren lho, nggak salah mata si Gina... Sayang, dia nggak tertarik sama cewek...," sambungnya lagi.
Elora diam saja. "Cuma buat sehari kok," keluhnya dalam hati. "Tahan aja semua rasa malu ini."
Yang membuat Elora penasaran adalah ucapan Rico, apa maksudnya dia sudah berpengalaman? Dia sudah biasa jadi cowok bayaran?