"Kalo kayak gini terus, gawat El...! Karyawan bawahan kayak kita pasti yang duluan di-cut. Istilahnya, perampingan. Buat ngurangin biaya...," Mia sedang ngobrol dengan Elora sore itu, sehabis pulang kerja.
Mereka nongkrong lagi di kafe dekat kantor, yang jadi tempat favorit mereka. Buat numpang WiFi tentunya. Elora sedang mengedit naskahnya untuk acara infotainment.
Sejak mendengar kemarahan Pak Iyan tadi siang, semua karyawan Max TV sepertinya tak bisa tenang. Sebelumnya, mereka memang sudah tahu kondisi Max TV sedang guncang. Tapi kali ini, ancaman dipecat makin di depan mata.
"Aku udah pernah cerita ke Danu. Dia nyaranin aku ngelamar jadi make-up artist aja. Aku sih emang udah kenal beberapa artis, mereka kemungkinan besar mau, kalo aku jadi juru riasnya... Cuma, jadwalnya itu lho... Mesti ngikutin maunya mereka, mau make-up kapan aja. Nggak bisa kerja eight to five kayak sekarang lagi...," curhat Mia.
"Tapi bayarannya juga lebih banyak kan, Mi..."
"Iya, sih... Tapi, aku juga mesti keluar modal sendiri buat make-up-nya."
Mereka terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Mia menyedot es cappuccino-nya.
"Kamu juga mesti siap-siap, El... Mulai cari tempat lain. Ngelamar stasiun TV lain. Yah, buat jaga-jaga aja. Kalo skenario terburuknya kita di-cut...," Mia mengingatkan dengan suara pelan.
Elora tetap memandangi layar laptop, tapi tak bisa fokus sedikit pun. Ia menyeruput teh hijau hangat dari mug di depannya.
"Aku juga bingung, Mi... Mau ke mana lagi? Aku udah pernah lamar ke sana-sini, nggak ada respon. Apalagi, syaratnya sekarang kebanyakan pake umur, di bawah 30, atau di bawah 25. Buat fresh graduate. Terus, yang udah senior kayak aku, mau dikemanain?" Elora menyuarakan kecemasannya.
"Ijazah SMK sekarang mah nggak laku... Sertifikat juga cuma kursus nulis naskah. Mau kuliah lagi, nggak ada biaya. Pusing..."
Mia memandangi Elora. "Jangan nyerah dong, El... Kamu tuh orangnya pinter, ulet... Pasti bisa dapat kerja lain."
"Yah, kalo nggak bisa kerja di stasiun TV, paling mentok-mentoknya aku serabutan lagi kayak dulu... Jadi waitress, tukang cuci piring, atau kasir, pokoknya, yang penting kerja deh...," Elora tersenyum kecut waktu mengatakannya.
"Kakakmu nggak bisa bantu? Suaminya kan punya kafe. Yah, kamu jadi apa kek di sana... Harusnya dia lebih percaya dong, sama adik sendiri," saran Mia.
Elora menggeleng lesu. "Nggak ah, Mi... Aku nggak enak, nyusahin Kak Laura. Malu aku, kalo harapin rasa kasihan mereka. Aku mau usaha sendiri..."
"Ah, gayamu, El... Kalo udah bener-bener mentok, masa masih mikir malu sama gengsi? Gengsimu tuh terlalu gede..."
Elora cuma mengangkat bahu. Mereka meneruskan kesibukan masing-masing. Elora dengan laptopnya, Mia dengan ponselnya.
*****
Malamnya, Elora termenung di meja samping tempat tidurnya. Laptopnya masih menyala di depannya. Ia mengutak-atik beberapa dokumen yang sudah lama disimpannya di laptop.
Elora menarik nafas dalam-dalam. Dokumen-dokumen itu adalah naskah film, yang coba-coba ditulisnya beberapa tahun lalu, sejak dia mengikuti kursus menulis naskah. Dia memang hobi menulis naskah di waktu senggang. Ada film pendek, dan kebanyakan film drama. Selama ini, dia tak pernah punya keberanian untuk mengirim naskah-naskah itu, tapi sekarang, kondisinya sudah terjepit.
"Nothing to lose aja lah...," ia berkata dalam hati. "Kalo bener aku sampai di-cut dari Max TV, aku udah nggak tau mau gimana lagi. Aku mesti coba segala cara, buat dapat kerjaan baru. Dan yang aku paling bisa, ya cuma nulis naskah... Udah nggak ada istilah malu atau takut lagi. Kalo naskah-naskah ini ditolak, so what? Toh aku udah biasa ditolak. Pokoknya, aku harus coba."
Elora membulatkan tekadnya. Dia akan mencetak naskah-naskah itu besok, dan mengirimkan semuanya ke Production House (PH) yang terdekat dari kantor. Jika ditolak, dia akan kirim lagi ke PH lain. Setelah mengambil keputusan itu, Elora merasa hatinya sedikit lebih ringan. Malam ini, dia bisa tidur jauh lebih nyenyak daripada sebelumnya.
*****
Elora sudah keluar rumah jam enam pagi ini, sudah pasti tujuannya cari rental untuk cetak naskahnya. Untunglah daerah sekitar rumahnya memang dekat kampus, jadi banyak rental komputer yang buka pagi. Elora masuk ke salah satu rental yang cuma beberapa blok dari rumah.
Dia sudah selesai mencetak semua naskahnya. Setelah ini, tinggal dijilid satu-satu, dan siap dikirim. Pas jam makan siang, dia bisa keluar kantor sebentar untuk mengirim naskah itu.
Elora terburu-buru keluar dari rental. Sudah hampir jam setengah delapan. Belum lagi, dia masih harus jalan kaki ke halte. Sepertinya dia bakal telat masuk kantor hari ini.
Suara motor menderu di belakangnya. Elora menoleh.
"Kamu...?" ucapan Elora terhenti.
Rico dan Vespa-nya berhenti di samping Elora. Cowok itu memakai jaket kulit hitam dan celana denim biru kali ini.
"Kamu nggak kerja?" tanya Rico, dahinya berkerut menatap Elora.
"Ini baru mau berangkat..."
Kenapa dia selalu bertemu cowok aneh ini?
"Kesiangan?"
"Nggak, tadi aku mampir dulu ke rental."
Kenapa juga cowok ini mendadak jadi peduli sama dia? Elora berusaha menyembunyikan naskah yang sudah dijilid, yang dibawanya dalam tas jinjing dari kain.
"Ayo naik..."
"Hah?" Elora terperangah, seperti orang bingung.
"Aku antar ke halte. Atau kamu mau telat?" Pertanyaan Rico tepat di sasaran.
Benar juga. Kalau dia naik motor, bisa lebih cepat sampai di halte, dan mungkin, dia tidak jadi telat masuk kantor.
Tanpa pikir panjang lagi, Elora naik ke boncengan motor Rico. Cowok itu hanya diam saja, lalu memacu motornya. Elora masih terus memandangi Rico dari belakang.
"Makasih ya...," ucap Elora ragu-ragu.
Rico tetap diam. Entah tidak mendengar atau bagaimana. Biarlah, yang penting, Elora bisa sampai di kantor tepat waktu.
*****
Elora absen di mesin finger print tepat jam delapan. Ia menarik nafas dalam-dalam.
"Pas banget!" batinnya.
Dan semua itu berkat bantuan Rico. Ternyata, cowok itu tidak sesombong dugaannya.
"El, tumben kamu baru datang jam segini... Kamu ke mana sih sebenarnya?" Mia yang menyapa, waktu Elora sampai di bilik kerjanya di The Nest.
Tadi pagi, sebelum berangkat dari rumah, Elora sudah bilang ke Mia, kalau dia ada urusan, jadi dia harus berangkat duluan. Mia juga sudah terbiasa, mungkin dia mengira, Elora harus stand by lagi untuk syuting pagi, seperti kemarin. Tapi sekarang, Mia pasti sudah sadar, kalau Elora belum ada di kantor dari tadi pagi.
"Aku tadi nge-print surat lamaran, Mi..."
Entah kenapa, Elora lebih memilih untuk berbohong pada Mia, dia belum siap cerita tentang naskahnya.
"Oh…," Mia memelankan suaranya, sambil melirik ke kiri dan kanan. "Kamu mau kirim ke mana?"
"Ada beberapa, coba-coba aja. Nanti siang, aku mau keluar bentar ya...," Elora juga menjawab dengan suara lirih.
"Oke, good luck ya..."
Elora menghela nafas, waktu Mia berlalu dari mejanya.
"Maaf ya, Mi... Aku cuma malu kalo cerita soal naskahku," Elora membatin.
*****
Jam makan siang, Elora buru-buru keluar dari kantor. Dia sudah browsing di internet kemarin malam, ada kantor Production House yang tidak terlalu jauh. Namanya Deep Production. PH ini sangat terkenal di dunia perfilman, Elora tahu, sudah banyak film sukses yang diproduksinya.
Elora memandangi bangunan kantor Deep Production yang tinggi dan megah. Tadi dia naik ojek online dari kantor. Kakinya agak ragu untuk melangkah.
"Kalo udah sampai sini, ngapain ragu lagi?" Elora memarahi diri sendiri. "Udah nggak ada kata mundur. Coba aja, daripada nyesal karena nggak pernah coba..."
Akhirnya, Elora melangkah masuk ke gedung bertingkat lima itu, membawa naskah-naskahnya.