webnovel

Wangi Bunga Melati

Pun Bary, tatkala air mata Rima telah pun ikut tumpah, maka kian remuk-redam pulalah batinnya.

"Maafkan saya, Kak! Saya sudah berusaha cari kerja, tapi saya tidak tahu mau kerja apa?"

"Tidak apa-apa, Dek! Tidak apa-apa," bujuk Rima. "Kata orang, Tuhan itu maha romantis, kok! Percayalah, Tuhan pasti akan menunjukkan jalan-Nya untuk kita. Bersabarlah!" tambah Rima coba menenangkan Bary.

Rima sudah berkata berdasarkan isi hatinya. Bary yakin begitu. Akan tetapi, perih dalam batin Bary, masih terlalu kuat mencengkram.

Apalagi, masih adakah yang lebih melelahkan dari berpura-pura baik-baik saja? Bary semakin lelah.

Tidak berapa lama kemudian, putra Rima yang Rima beri nama Karma, terjaga dari tidurnya. Karma, memperdengarkan suara tangisnya, buru-buru pula Rima beringsut menghampirinya.

Lalu, Rima dan Karma saling asih di situ. Sedangkan Bary, ia masih di tempatnya, tempat di mana ia berpelukan dengan kehampaan jiwa.

Setelah itu, tak ada lagi perbincangan hingga mereka semua tenang dalam lelapnya masing-masing.

***

"Mataku? Mataku kenapa?" 

Subuh ini Bary terjaga dengan kondisi mata yang sulit terbuka. Bary menduga, ia sedang terserang trakoma. Saat meraba untuk memastikannya, benar, Bary memang terserang trakoma. Selain sulit membuka, pada sudut-sudut matanya, terdapat banyak kotoran mata. 

Tidak ingin memanjakan penyakit, Bary membawanya turun ke kamar mandi, lalu membasuhnya di situ.

Setelah itu, Bary kembali ke gubuk, menjumputi pakaian kotor, lalu kembali ke kamar mandi untuk dicuci sebagaimana biasanya.

Bary sudah menyelesaikan cuciannya, dan bahkan sudah menjemurnya. Ketika Rima terjaga, satu panci berisi air mendidih sudah pula Bary persiapkan untuk Rima dan Karma.

"Tumben, Dek?" sapa Kak Rima sambil beringsut menghampiri Bary yang tengah menjerang kayu bakar di atas tungku.

"Iya, Kak!" sahut Bary. "Hari ini saya rencana mau pergi mengail di Laabalano," tambah Bary tanpa menolehi Rima.

"Laabalano?" gumam Rima dalam hati sambil diam-diam menatap punggung Bary. Rima khawatir, Laabalano adalah sebuah sungai yang dirumorkan ada penunggunya.

"Kamu yakin mau ke Laabalano, Dek?" tanya Rima kemudian.

"Iya, Kak," sahut Bary sambil menolehi Rima. Bary sudah selesai menjerang kayu bakar. "Siapa tahu kita dapat rejeki dari sana," tambah Bary.

"Matamu kenapa, Dek?" Rima baru menyadari kondisi mata Bary. "Sakit mata, ya?"

"Kayaknya, Kak," sahut Bary.

"Coba, sini!" seru Rima. Tanpa kata, Bary menghampiri Rima.

"Trahom kayaknya ini, Dek," ujar Rima usai mengamati mata Bary. "Ntar, ya, biar Kakak obati," tambah Rima sembari beringsut ke bagian dapur.

Di situ, Rima meraih sendok pada suatu tempat peralatan dapur, yang mana mereka hanya menautkannya pada dinding yang diberi kasau-kasau kecil, membentuknya sedemikian rupa sebagai pengganti rak piring. 

Setelah itu, Rima mengeluarkan air susu dari badannya. Mendapati itu, buru-buru pula Bary membuang muka.

"Coba sini, Dek!" seru Rima. Kembali pula Bary menghampiri Rima. "Buka matanya, biar Kakak obati," tambah Rima.

Rima sudah bersiap, sedangkan Bary, mulailah pula ia menengadahkan wajah, membuka mata lebar-lebar. Di sini, air susu yang Rima taruh di sendok, ia teteskan ke bola mata Bary.

"Mudah-mudahan cepat sembuh, ya," ucap Rima dengan begitu tulusnya.

"Aamiin ...," sambung Bary. "Terima kasih, Kak."

"Iya, sama-sama," sahut Rima lalu menambahkan pertanyaan yang sejak tadi ingin ia perjelas. "Tadi kamu bilang mau ke mana, Laabalano?"

"Iya, rencananya begitu, Kak," jawab Bary.

"Ndak usah, Dek!" cegah Rima yang sangat mengkhawatirkan Bary.

"Kenapa, Kak?" tanya Bary

"Angker di sana itu, Dek! Cari tempat lain saja," cetus Rima.

"Kakak bilang, Tuhan itu maha romantis, 'kan?" balas Bary menirukan kalimat yang kerap Rima ucapkan. "Kita sudah terlalu sering berhadapan dengan kematian, Kak! Kayaknya tidak ada lagi yang perlu kita takutkan di dunia ini," tambah Bary.

Rima mendesaukan napasnya yang tiba-tiba terasa sesak. "Kamu mungkin benar, Dek! Separuh diri kita ini sebenarnya sudah mati. Tapi ndak ada tempat lainkah selain Laabalano?" 

Rima masih coba mencegah, tetapi Bary bersikukuh. "Tidak usah takutkan saya, Kak," ucap Bary yang coba meyakinkan Rima.

Sampai di sini, wajah Rima berangsur-angsur muram. "Sungai itu ada penunggunya, Dek. Kakak khawatir kamu kenapa-kenapa."

Akhirnya Rima tidak bisa mendiamkan resahnya, tetapi Bary yang merasa butuh penghidupan, ia tetap bersikeras.

"Saya bukan mau pergi ganggu mereka, Kak," ucap Bary dengan intonasi terukur.

Tadi, Rima bilang angker, sekarang dia bilang ada penunggunya. Ini artinya Rima benar-benar merasa gentar dengan rumor tentang Sungai Laabalano yang diangkerkan oleh warga setempat tersebut. Pikiran Bary mulai mengarah ke situ.

Sedangkan Rima, diam-diam mengeluh dalam hati. Rima mulai kehabisan kata, tidak tahu lagi bagaimana caranya agar dapat menghentikan keinginan Bary.

Buntu, belum menemukan jalan, Rima pun beralih pada air mandinya, lalu perlahan mengguyur tubuh.

Rima tidak lagi mengucap, Bary pun diam saja sembari menunggu perintah sekiranya Rima butuh sesuatu.

Namun, Rima yang sedang terbawa arus pikirannya, ia terus saja mengguyur tubuhnya. Hingga mandinya usai, Rima sampai lupa meminta bantuan Bary sebagaimana kemarin dan lalu.

"Kok, Kakak tidak minta bantuan saya?" tanya Bary juga akhirnya.

"Besok lusa saja lagi, Dek," sahut Rima. "Kakak sudah selesai, 'kan?"

Bary terdiam. Diterawanginya wajah Rima. Bercahaya. Wajah Rima begitu damai di pagi ini. Anehnya, dada Bary justru berdebar resah.

Pun, Rima telah usai mandi, Bary tidak sabar untuk segera turun ke kampung.

"Kak," ucap Bary ragu. "Kakak masih punya uang?"

"Ada," jawab Rima. "Kakak masih ada enam ribu lima ratus," tambah Rima sambil mengelap kering badannya.

"Enam ribu lima ratus? Aduh, bagaimana ini?" batin Bary.

"Untuk apa?" tanya Rima kemudian.

"Anu, Kak." Bary kian ragu. "Boleh pinjam tiga ribu lima ratus? Saya mau beli tasi sama mata pancingnya, Kak," terang Bary.

"Ya, bolehlah, Dek," ujar Rima juga. "Untuk apa juga saya uang."

"Terima kasih, Kak," balas Bary pelan. "Tidak apa-apa, ya, saya pinjam tiga setengah?"

"Ndak apa-apa. Bawa saja semuanya. Tolong belikan sama susu, ya!" 

"Susu? Iyalah!" balas Bary. "Doakan saya banyak rejeki hari ini ya, Kak!"

"Iya, Dek! Pasti!" balas Rima. Rima begitu terharu atas sikap Bary di pagi ini. Karenanya, perlahan ia merangkul Bary. "Kakak ini sudah capek, Dek. Hanya kamu satu-satunya harapan Kakak. Jadi pasti Kakak doakan! Mudah-mudahan cukup di dunia ini kita menderita, di akhirat, kita semua ngumpul di surga." 

"Aamiin ...." sambung Bary. Kembali Rima memeluk Bary dengan begitu eratnya.

Berada dalam pelukan penuh kasih dari Rima, betapa damainya jiwa Bary. Inilah yang Bary sukai dari Rima; ketulusannya.

Lalu, tidak berapa lama kemudian, Bary pun pamit ke kampung.

Di sini, sekali lagi Rima merebut tubuh Bary, lalu memeluknya dengan begitu eratnya. Sangat erat.

"Kakak sangat menyayangi kamu, Dek. Kakak harap, kamu bisa menerima Karma sebagaimana kamu menerima Kakak," desis Rima.

"Tentu, Kak, tentu. Kakak tidak perlu meragukan saya," balas Bary.

"Terima kasih, Dek."

"Iya, sama-sama, Kak." Setelah itu, Bary pun beredar keluar rumah.

Di perjalanan, dada Bary tiada henti-hentinya berdebar-debar. Ada apa? Apakah ini firasat?

Sempat disergap gundah, tetapi pada akhirnya Bary mengabaikan semuanya, dan terus saja melangkah.

Tiba di kampung, Bary hanya singgah membeli tasi, mata pancing, dan dua bungkus susu sachet, lalu bergegas ke hutan jati, sebelum akhirnya ia melanjutkan perjalanan menuju sungai Laabalano. 

Setibanya di sungai, bermodalkan golok, Bary langsung mencari sebatang pokok kayu seukuran ibu jari, menjadikannya joran. Setelah itu, ia beredar mencari tanah lembab untuk mendapatkan cacing tanah yang akan ia jadikan umpan. 

Tidak berapa lama kemudian, semua peralatan dan kelengkapan mengail telah pun tersedia, maka beredar pulalah Bary mencari posisi yang bagus untuk mulai mengail.

Saat melempar umpan yang tertaut di mata pancing ke dalam sungai, entah kenapa tiba-tiba saja bulu kuduk Bary merinding hebat.

Apa memang benar sungai ini ada penunggunya?

Sampai di sini, Bary mulai merasa sedikit keder. Akan tetapi, tekadnya untuk mengatasi rasa lapar telah membuatnya tidak mempedulikan keadaan sungai yang konon sudah beberapa kali meminta tumbal. 

Sekitar lima menit kemudian, Bary sudah mendapatkan seekor ikan. Betapa gembiranya dia. Ikan mujair sebesar telapak tangan orang dewasa adalah hasil tangkapan Bary yang pertama. Bary mulai bersemangat. Namun, sayang, hingga gelap datang menyapa bumi, Bary tidak lagi mendapatkan tambahan tangkapan walau barang seekor pun juga. 

Hingga siang telah pun berganti malam, Bary tidak mungkin lagi bertahan. Khawatir Rima sudah menunggu, ia pun pulang dengan membawa seekor ikan mujair.

Tiba di gubuk, Bary disambut dengan aroma wangi bunga Melati. Aneh. Dari mana sumber aroma ini?

Bary melirik Rima. Tampak Rima yang sudah terlelap di samping Karma. Tidak ingin mengganggu tidur mereka, Bary memberlalui mereka.

Sementara itu, wangi Melati yang menguar dalam gubuk ini, semakin kuat menelusup ke dalam indera penciuman Bary.

Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba ada wangi bunga Melati di gubuk ini?