webnovel

Lingkaran Kehidupan

Di tempat pembuatan batu bata, Bary hanya singgah menyimpan pikulan beserta jerigen yang masih kosong. Usai yang demikian, Bary beredar menuju pasar di kecamatan sana.

Jarak antara tempat pembuatan batu bata dan pasar kecamatan tempat dimana Bary akan mendapatkan pesanan Rima, tidak terlalu jauh. Hanya sekitar tiga kilometer. Dengan berjalan kaki, Bary pun pergi menuju pasar.

Tiba di pasar, demi menghemat waktu, berbekalkan uang dua puluh tujuh ribu rupiah yang ia punya, 

tadi Bary tidak menyentuh kantung uang milik Rima,

Bary bergegas ke warung untuk berbelanja. Seperti yang biasa Bary lakukan saat memasuki warung seperti sekarang ini, selain ekstra hati-hati agar tidak merusak barang dagangan, Bary juga tidak akan menyentuh barang dalam warung sebelum memastikan berapa harga barangnya. Selain itu, saat Bary menyentuh suatu barang dagangan, itu artinya Bary akan membelinya. 

Bary memulainya dengan pupur bayi merk R*ta. Harganya hanya empat ribu rupiah, lebih murah seribu rupiah dari yang Rima sebutkan. 

Sabun mandi bayi yang lumayan mahal. Satu botol yang ukurannya paling kecil dan paling murah, harganya sembilan ribu rupiah. Setelah itu, Bary keluar dari warung yang stok barang dagangannya boleh dibilang paling lengkap di sekecamatan ini.

Kemudian, Bary beredar ke dalam pasar, ke lapak-lapak penjual sembako. 

"Kacang tanahnya berapa satu liter, Bu?" tanya Bary. Kini ia sudah berdiri di depan sebuah lapak sembako.

"Perkilo, Dek!" jawab Ibu sang pemilik lapak. "Satu kilo, tiga puluh enam," tambahnya. 

"Tiga puluh enam?!" ulang Bary dalam hati. Sesaat, diam-diam Bary berhitung.

"Mau beli berapa, Dek?" Sang empunya lapak, seorang wanita yang usianya di kisaran setengah abad ini, tampak tidak sabar.

"Kalau beli seperempat, boleh, tidak, Bu?" jawab Bary balas bertanya.

"Tidak jual seperempat, Dek!" sahut si Ibu. "Beli setengah kilolah kalau mau!" 

"Maaf, Bu, uang saya tidak cukup," aku Bary apa adanya.

"Memangnya, uangmu berapa juga?" selidik si Ibu.

Sejatinya, Bary enggan mengakui. Akan tetapi, Bary berpikir, mungkin akan jauh lebih baik jika aku berterus-terang. Setelah itu, ia pamerkan saja uang yang ia punyai.

"Adanya segini, Bu!" ujar Bary kemudian menambahkan, "tapi saya masih mau beli bayam jugalah ini."

"Ha ha ha. Itu mana cukup, Dek ... Dek!" kekeh sang pedagang memperlihatkan gigi peraknya. "Kasi tau mamamu, uang segitu mana cukup dibelanjakan ini-itu! Lain kali kalau mau datang belanja, bawa uang yang cukup!" 

Kesannya berkelakar, tetapi bagi Bary Ibu ini seperti sengaja mengejek uang empat belas ribu rupiah yang ada di tangan Bary. Bary mengabaikannya. Lalu, tanpa pamit gegas ia beredar ke sebelah, beberapa lapak dari lapak sang Ibu. 

Bary sedikit kesal, sekaligus sedih. Dalam hati Bary, Ibu itu pasti tidak tahu jika yang menyuruhku berbelanja bukanlah Ibu.

"Mau beli kacang tanah, ya, Dek?" Seorang pedagang lainnya menyapa Bary. Bapak ini tadi diam-diam menguping pembicaraan Bary dengan Ibu di lapak sebelah.

Bary beringsut, lalu berhenti tepat di hadapan lapak sang penyapa. Barang perhatikan, barang dagangannya, baik dari segi jumlah maupun varian, di sini jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan dagangan di lapak sebelumnya.

"Rencananya begitu, Pak!" jawab Bary kemudian.

"Mau beli berapa juga memangnya?" tanyanya lagi.

Logat yang digunakan oleh si Bapak adalah logat khas daerah setempat. Sambil pula ia mengembuskan asap rokok bambu yang ia isap. Wangi asap rokoknya lumayan cekat di hidung Bary. Bary menahan napas.

"Sebenarnya saya juga mau beli sama beras, biar setengah liter kalau bisa, Pak!" ucap Bary.

Bary tahu, harga beras sepuluh ribu rupiah perliternya, itu terlihat dari plang harga yang tertancap di karung beras yang si Bapak jual secara eceran. Andai beliau berkenan, uang yang Bary punyai seharusnya cukup.

"Uang kamu ada berapa juga memangnya?" tanya si pedagang sambil meraih tas kresek kuning tembus pandang berukuran kecil. Gesturnya, seperti hendak melayani Bary. 

"Mudah-mudahan," harap Bary dalam hati, lalu mengucap, "Empat belas ribu, Pak!" 

Bersamaan dengan itu, untuk yang kedua kalinya Bary memamerkan uang yang ia miliki, setelah sebelumnya Bary memperlihatkannya pada Ibu di lapak sebelah.

"Um ... empat belas ribu, ya?" ucap sang Bapak tanpa memperhatikan uang yang ada di tangan Bary. 

Bapak ini sudah bersiap mengabulkan permintaan Bary. Kini tangannya mulai sibuk menggantang beras termurah dari beras yang ia dagangkan. 

"Setengah liter, ya, Nak!" tanyanya lagi. 

Bary begitu terharu. Apalagi, beliau menyebut "Nak". Bersamaan dengan itu, si Bapak menambahkan satu genggam kacang tanah tanpa kulit, lalu mencampurkannya ke dalam beras yang sudah lebih dulu ia masukkan ke dalam tas kresek. 

"Bayar saja lima ribu, Nak!" ujarnya kemudian sembari menyodorkan kantung plastik tersebut. 

"Benar bayar lima ribu saja, Pak?" Bary tidak ingin mempercayai ini.

Si Bapak tersenyum ramah. "Iya, Nak!" ucapnya sembari mengangguk.

Sempat terkesima, pada akhirnya Bary mengutip satu lembar uang lima ribuan dari genggamannya, lalu menyodorkannya pada orang tua dermawan ini.

Di sini, betapa terharunya Bary. "Duh! Terima kasih banyak, Pak! Terima kasih. Semoga Allah memberi Bapak rezeki yang berlimpah."

"Aamiin ... sama-sama, Nak!" sambung sang Bapak masih dengan senyumnya yang ramah. "Tinggal di mana, Nak?" tanyanya kemudian.

"Di Tong Kuno, Pak!" jawab Bary.

"Tong Kuno?" gumam si Bapak. Di sini, tiba-tiba keningnya mengerut sempurna.

Apakah karena Tong Kuno adalah nama lokasi perladangan tempat bercocok tanam jagung dan ubi kayu, bukan nama desa atau perkampungan? Bary mulai bertanya-tanya dalam hati.

Sesaat kemudian, Bary sudah hendak pamit ketika Bapak ini kembali bertanya. Katanya, "Kalian ya, yang diusir dari desa Kom Bungo itu?" 

Bary diam sejenak, lalu menjawab, "I-iya, Pak!" 

"Sini, sini!" ketus si Bapak sembari memanjangkan tangannya. 

Kini, Bary yang mengernyit, diam tak bereaksi.

"Sini!" ucap si Bapak lagi dengan nada setengah membentak.

Bapak ini meminta beras yang sudah Bary bayar. Ragu, tetapi pada akhirnya Bary mengembalikan kantung plastik berisi beras dan kacang tanah barusan.

"Ambil uang kamu ini! Pergi belanja di tempat lain!" Kembali si Bapak memperdengarkan nada ketusnya sembari melempar Bary dengan uang kertas lima ribuan barusan. 

"Cepat pergi!" hardik si Bapak. "Jangan berdiri di situ! Bikin sial dagangan saya nanti kamu itu!"

Dada Bary perih. Namun, Bary bisa apa?

Pun Bary, perlahan membungkukkan badan, meraih uang yang jatuh ke tanah barusan, lalu bangkit, kemudian beredar dengan wajah tertekuk dalam-dalam.

Bary baru sadar, jika 'aib' enam bulan silam, sudah merebak ke mana-mana, dan menjadi momok bagi banyak orang.

Dunia semakin tidak punya empati, Bary sangat ingin menangis. Akan tetapi, apakah dengan menangis dunia akan berubah menjadi simpati? Bary menahan sebak.

Bary beredar jauh dari deretan lapak sebelumnya, lalu berhenti di hadapan lapak-lapak kecil yang berada di bagian belakang pasar. Syukurnya, di bagian sini ada yang menjual kacang tanah tanpa kulit, dikemas dalam kresekan kecil seharga lima ribu rupiah.

Bary sudah mendapatkan pesanan Rima, meskipun hanya dalam jumlah seada-adanya.

Sisa uang yang Bary punya, ia belikan seikat bayam seharga empat ribu rupiah. Bary masih punya uang sebanyak lima ribu rupiah. Akan tetapi, sampai di sini Bary tidak berani lagi menawar apa pun juga. 

Setelah itu, Bary berjalan pulang, dengan pikiran, hari ini Rima hanya bisa makan nasi jagung.

Bary singgah di tempat pembuatan batu bata. Meraih jerigen kosong yang ia simpan barusan tadi, lalu beredar menuju sumur gali yang berada di hutan jati milik Pemerintah, menimba air di situ, lalu pulang ke gubuk mereka di tengah ladang sana.

Hari ini Bary benar-benar letih.

Sekian ratus meter sebelum gubuk, Bary telah pun disambut sayup-sayup suara tangis bayi Rima.

"Laparkah bayi itu?"