webnovel

Demimu, Kak

"Makan lagilah, Kak!" ucap Bary. "Saya sudah tadi malam. Itu memang sengaja saya bawa pulang untuk Kakak, kok. Maaf, tadi malam saya tidak sempat kasi tau Kakak."

Bary sadar telah berdusta, tetapi ia tidak mungkin bisa berterus-terang. 

"Tidak, Dek! Saya tidak boleh makan ini. Kasian nanti bayinya," tampik Rima.

Kali ini, Bary tidak seberapa paham dengan apa yang diucapkan Rima, tetapi Bary tidak berani menanyakan kejelasannya.

"Iyalah, Kak!" ucap Bary. "Saya cuci muka dululah kalau begitu."

Sesaat kemudian, Bary berdiri, lalu turun ke kamar mandi yang berada di tanah, bagian belakang gubuk. Bary hanya turun membasuh wajah lalu kembali ke gubuk. 

Di gubuk, potongan Lapa-Lapa yang sudah tak lagi utuh, tampak sudah tersaji di situ.

"Sarapanlah, Dek! Kalau sudah, tolong bantu Kakak lagi, ya!" seru Rima.

"Iya, bantu apa itu, Kak?" tanya Bary sambil mengambil tempat duduk, bersila di depan piring kaleng berisi Lapa-Lapa, dan beberapa potong daging ayam yang juga sudah tak lagi utuh. 

Hanya berupa tulang-tulang ayam. Apakah masih ada sedikit daging atau tinggal tulangnya saja, Bary belum bisa memastikan. Apalagi, tampaknya Rima telah menambahkan kuah yang cukup banyak saat menjerang tulang ayam ini. 

Lalu, dengan mendahuluinya memohon ampun kepada Tuhan jika apa yang hendak ia makan ini ternyata memang sudah tersentuh najis 'mughalazzah', serta memohon agar dibebaskan dari tipes apabila ia telah pun terkontaminasi virus yang menyebabkannya demikian, Bary pun memulai suapan pertama seraya menyebut nama Tuhannya. 

"Lumayan," batin Bary saat mendapati masih ada sedikit daging yang menempel pada tulang-tulang ayam tersebut.

Sedang Bary menikmati sarapannya, Rima yang duduk di bagian tengah gubuk, mulai sibuk mengurusi bayinya. 

Melihat itu, Bary mengucap syukur dalam hati. Bayi Rima masih hidup, tidak seperti dugaan Bary tadi malam.

"Enak, Dek?" tanya Rima di tengah kesibukannya mengurusi bayinya.

"Alhamdulillah, Kak!" sahut Bary. Entah untuk yang mana satu ungkapan rasa syukurnya, Bary sendiri tak tahu.

"Itu tadi malam, siapa yang kasi, Dek?" tanya Rima.

"Orang yang di acara halalbihalallah, Kak! Kenapa, memang?" balas Bary.

"Dapat dari mana tadi, Dek? Halalbihalal, ya?" ulang Rima tanpa menolehi Bary.

"Iya," sahut Bary.

"Itu siapa yang masak, ya? Kayaknya tidak bersih mereka cuci ayamnya." Rima mengucap berdasarkan apa yang ia rasakan saat menyicipi makanan tersebut sesaat barusan tadi.

Mendengar itu, dengan kening mengerut, Bary menjeda kunyahan, berpikir sebentar. 

"Kenapa Kakak bisa ngomong begitu?" Bary mulai was-was.

"Ayamnya itu kayak berpasir. Pasti cucinya asal-asalan saja! Tadi terpaksa kakak cuci kembali. Itu sudah hambar, 'kan?"

"Tidak, Kak, tidak! Masih enak, kok!" sambung Bary cepat.

Rima mengutas satu senyum simpul. Hanya sampai di situ, Rima tidak menambahkan lagi, meskipun ia merasa ada yang aneh dengan makanan yang dibawa pulang oleh Bary tersebut. 

Lalu, Rima kembali sibuk mengurusi bayinya, Bary pun melanjutkan sarapannya.

Selang tidak berapa lama kemudian, Bary sudah mengakhiri sarapan dan beralih menanyai Kakak, apakah dia sendiri, sudah sarapan atau belum?

"Sudah dari tadi," jawab Rima.

"Terus, tadi Kakak bilang minta bantu, bantu apa, Kak?" tanya Bary lagi.

"Itu, na, Dek!" ujar Rima tanpa menoleh, tanpa memperinci. 

Bary diam saja sembari memperhatikan Rima yang masih sibuk mengganti lampin buatan tangan Rima sendiri. 

"Rima secerdas ini, kok, dibilang sakit jiwa, ya?" batin Bary.

Bary tidak tahu, entah sejak kapan Rima mengubah kaos oblongnya menjadi bebat bayi. Rasa kagum sekaligus sedih semakin tidak bisa Bary gambarkan untuk Rima yang konon mengalami gangguan jiwa.

Sampai di sini, Bary semakin bingung, kenapa bisa Rima yang secerdas ini divonis mengalami gangguan jiwa oleh Mama, ibunya sendiri? 

"Itu, na, Dek, Tembuni yang tadi malam. Kamu simpan di mana?" Rima membuyarkan lamunan Bary.

"O, itu?" sahut Bary. "Ada, tuh, Kak! Saya taruh di bawah lesung," terangnya.

"Bisa tolong tanamkan?" 

"Bisa, kak, bisa!" jawab Bary cepat. "Mau ditanam di mana?" tambah Bary sembari berancang-ancang untuk beredar mengambil Tembuni yang dimaksud.

"Tanam di kolong," jawab Rima. "Tapi tunggulah sampai makananmu turun di perut."

"Tidak apa-apa, Kak, sekarang saja, biar saya bisa cari kerjaan yang lain juga," ucap Bary juga.

Tanpa menunggu, Bary langsung beredar meraih gentong berisi Tembuni, lalu ia bawa turun ke tanah. Di kolong gubuk gubuk, yang berlantaikan bilah bambu, dan berdindingkan jelaja ini, dengan menggunakan Tembilang, mulailah Bary menggali lubang kecil. Tidak berapa lama kemudian, Bary sudah menggali lubang sedalam siku orang dewasa.

Merasa butuh petunjuk bagaimana cara mengebumikan tembuninya, Bary pun bertanya, "Kak! Sedalam mana galinya?"

"Itu sudah cukup, Dek!" jawab Rima yang mengintip dari celah-celah lantai gubuk. Rima dari tadi diam-diam memperhatikan Bary dari situ.

"Terus, Kak?" 

"Masukkan gentongnyalah, Dek!" 

"Begitu saja?" Bary memastikan sembari mulai meraih gentong maja berisi Tembuni.

"Iya!" jawab Rima. "Bismillah saja, atau salawat, atau apalah gitu! Pokoknya tanam saja. Usahakan jangan sampai digali hewan."

"Bijak! Tidak ada tanda-tanda dia seperti orang yang sedang mengidap kelainan jiwa," puji Bary dalam hati.

Tidak berapa lama kemudian, gentong berisi Tembuni sudah terbenam dalam tanah. Sudah pula Bary memadatkan tanah galiannya. Setelah itu, barulah Bary bertanya apakah masih ada yang perlu dikerjakan perihal Tembuni tersebut. Rima yang mengintip dari celah-celah lantai, mengucap, itu sudah cukup.

Bersamaan dengan itu, terdengar suara tangis bayi Rima. Buru-buru pula Barykembali ke atas gubuk.

"Masih ada lagi yang mau dikerjakan, Kak?" tanya Bary apabila ia sudah duduk bersila di hadapan Rima.

Rima tidak menyahut. Ia begitu cemas dengan suara tangis bayinya yang kian melengking. Rima berusaha keras untuk mendiamkannya.

Saat Rima menjulurkan ujung 'susunya' ke mulut mungil sang bayi, buru-buru pula Bary membuang muka.

Rima terus berusaha hingga beberapa menit lamanya. Namun, alih-alih reda, tangis bayinya justru kian melengking.

Kini, bukan hanya Rima yang menjadi panik dibuatnya, Bary pun demikian.

"Ya, Allah, Nak ... diamlah," lirih Rima.

Mata Rima mulai berkaca-kaca. Beberapa saat kemudian, bukan hanya berkaca-kaca, tetapi Rima pun mulai ikut menangis. 

"Kenapa dia, Kak?" Bary tidak bisa lagi untuk tidak bertanya.

"Air susu kakak belum lancar, Dek!" jawab Rima di antara tangisnya.

Bary kebingungan untuk pengakuan Rima. "Apa karena Kakak yang belum cukup umur?" tanya Bary.

"Bukan, Dek!" jawab Rima. "Umur kakak sudah delapan belas, mestinya bukan itu masalahnya!"

"Syukurlah," batin Bary. Rima masih bisa menyahut, meskipun ia sambil menitikkan air mata.

"Sebentar, tolong ke pasar. Belikan kakak kacang tanah biar setu genggam. Kamu mau turun bikin bata, 'kan?" tanya Rima.

"Iya, kalau sudah tidak ada lagi yang dikerjakan di rumah ini!" jawab Bary.

"Banyak sebenarnya, Dek! Tapi turunlah! Bawa uang kakak itu. Beli sama anu, Dek, ya!"

"Apa itu?" sela Bary.

"Sama bayam cabut kalau ada," imbuh Rima.

"Apa lagi?"

"Pupur bayi, cari yang lima ribuan. Ada itu yang merek R*ta. Sama sabun mandinya. Beli yang botolan. Cari yang paling kecil."

"Lainnya?"

"Itu saja dulu. Jangan malam pulangnya, ya! Maaf kakak tidak sempat siapkan bekal."

"Iya, tidak apa-apa, Kak!"

Setelah itu, dengan membawa serta empat buah jerigen kosong lima literan yang ia pikul dengan menggunakan pikulan belahan bambu, Bary pun turun ke desa. Desa yang Bary tuju ini adalah desa tetangga, tempat di mana ia membuat batu bata.

Desa yang dimaksud ini bukanlah desa tempat dimana mereka dilahirkan, dibesarkan, kemudian diusir.

Membuat batu bata dengan upah seratus rupiah per batanya adalah pekerjaan Bary semenjak beberapa bulan setelah mereka diusir. 

Bary tahu empunya usaha tersebut sudah memberinya harga yang tidak sesuai, tidak sama rata dengan pekerja-pekerja lainnya yang rata-rata orang dewasa. 

Akan tetapi, bagi Bary cukuplah! Sebab dari penghasilan membuat batu bata tersebutlah ia dan Rima masih bisa bertahan hidup hingga sekarang ini.

Selain itu, empunya usaha batu bata ini dialah Pak Haji Gofur, orang yang sudah banyak membantu mereka.

Sampai hari ini, Bary masih berutang pada Pak Haji Ghofur. Uang satu juta rupiah yang Bary utang untuk biaya ijab kabul tempo hari, Bary mengangsurnya seratus ribu rupiah perbulan, dipotong hasil batu bata yang ia kerjakan. 

Hal inilah yang membuat Mereka kekurangan persediaan uang.