webnovel

Lengan Berdarah

Adrin Sasongko, dia adalah seorang gadis cantik, cerdas dan pemberani putri dari pasangan Rino dan Adarina Sasongko. Keluarga Sasongko sangat dikenal disegala kalangan karna kekayaannya dan kedermawanannya. Namun dibalik sisi baiknyala, keluarga ini memiliki banyak musuh karna Rino Sasongko sangat kuat menghadapi para lawan bisnisnya. Dia sangat cerdas dan selangkah lebih maju. Di usia ke 8 tahun Adrine mengalami peristiwa yang sangat mengerikan. Keluarganya diserang oleh komplotan penjahat tidak dikenal. Rumah hancur porak poranda. Adrine adalah gadis kecil yang nakal dan pemberani. Saat Adrine bersembunyi dia melihat ayahnya babak belur dihajar oleh para penjahat tanpa ampun. Ibunya bersujud meminta pengampunan kepada komplotan itu tapi tidak digubris. Dari tempat Adrine bersembunyi, sontak Adrine melihat ayahnya akan di tusuk menggunakan pisau. Adrine berlari mencoba memeluk ayahnya dan menampik pisau tersebut. Miris... pisau tersebut sempat mengenai lengan kirinya. Darah menetes menembus serat kain baju putihnya. Roni Sasongko dipukul kembali oleh para penjahat tersebut hingga pingsan begitupula ibunda Adrine, mereka tidak sadarkan diri hingga polisi datang. Adrine diculik, tubuhnya lemas karna terus mengeluarkan darah di lengannya. Dia tak sadarkan diri. Namun ada seseorang diam-diam membawa lari Adrine, menyelamatkan hidupnya. Dia menjaga dan merawatnya hingga tumbuh dewasa. Di usianya yang telah dewasa, Adrine mencoba membalas dendam siapa yang telah melakukan ini semua. Dia terus meneliti setiap detailnya dan mencari bukti-bukti setelah itu Adrine berencana mencari orang tuanya yang menghilang. Dalam perjalanan mencari dalang atas peristiwa yang menimpanya, dia bertemu Ferit Bachim yang siap membantunya. Mereka saling jatuh cinta dan saling membantu satu sama lain. Tapi sangat disayangkan ternyata dalang peristiwa yang menimpa Adrine adalah Ayah kekasihnya itu. Lalu bagaimana nasib cinta di hati mereka ketika tahu siapa yang membuat Adrine dan orangtuanya berpisah? Apakah Adrine akan memaafkan ataukah akan membenci dan pergi dari Ferit?

Safarinah_asih18 · Fantaisie
Pas assez d’évaluations
30 Chs

22. Menunggu Adrine Kembali

Ambar memasukkan ponsel ke dalam sakunya lalu kemudian ia mengangkat kaki dengan niat akan kembali ke hotel dengan tujuan memberi tahu Ezar dan Dudo jika Adrine telah memberi kabar.

Ketika baru akan menghentakkan kaki kanannya untuk yang pertama kalinya tiba-tiba ia mengurungkan niatnya.

"Eits.... wait!" Kan tadi Adrine ngabarin tapi di mana dan dengan siapa aku juga nggak tau. Dudez kira-kira sudah di hotel apa belum?" Ambar berfikir ulang jika akan kembali tanpa tau Dudez ada di sana atau tidak. Akhirnya Ambar menghentikan hentakan kakinya. Dia kembali mengambil ponsel yang telah masuk ke saku celananya.

Ambar mencari kontak Dudez bisa di bilang Dudo dan Ezar. Kontak nomornya juga mudah di cari setelah Dudo di bawahnya Ezar. Kan sangat mudah.

Ambar menekan tombol kontak Dudo, dia adalah orang pertama yang tergambar di pikiran Ambar apapun kondisinya. Mungkin juga karna feel dari kecil.

Tut....tut.... tut....

Koneksi bagus, terdengar suara pemuda di speaker ponselnya hanya saja volumenya sedikit kecil. "Hallo, Ambar.." sapa Dudo dengan suara yang Ambar dengar karna lirih.

"Ahhhh... ini kenapa si kok suaranya nggak jelas begini?" ujar Ambar heran. " Bentar Do, volumenya kecil" Ambar membenarkan, padahal si kalo Adrine atau Ezar yang telpon pasti sudah sangat pasti volumenya kecil. Lain jika Dudo yang telpon sudah sangat pasti volumenya di kencengin mirip bedug mesjid agung. Kenceng binggo.

"Do, kamu di mana?" tanya Ambar dengan suara exited. Dirinya mengerti jika berada di tengah-tengah keramaian Malioboro sehingga dia mencari tempat yang sedikit lebih baik dan tidak terganggu dengan kebisingan orang berbelanja.

Ketika Ambar telah memisahkan dari kebisingan lalu Ambar terdiam mendengar suara Dudo. Entah apa yang sedang dia katakan sehingga Ambar tidak terus menerus bawel seperti biasanya.

"Ok Do, kita ketemuan di depan kamarku saja ya" pinta Ambar dengan jelas. "Bye.."

Ambar menutup panggilannya kemudian dia mengetik pesan untuk sahabat satunya lagi.

`Ezar, kamu di mana? Kita ngumpul di depan kamarku. Ada berita dari Adrine. Aku tunggu di sana ok!´

Setelah selesai mengetik, Ambar kemudian mengirimnya ke Ezar. "Gimana aku bertahan di sini? mana cuaca panas banget."

Ambar menyeka keringat yang menetes ke wajahnya. Cuaca saat itu memang panas, namun sudah sedikit meredup. Ambar kemudian memutuskan kembali ke hotel untuk menemui sahabat-sahabatnya.

*****

Sendu merayap ke dalam hati, Dudo terus mencari Adrine dari segala sisi. Pikirannya kalut tak karuan. Kabar Adrine belum cukup menenangkan pikirannya melalui mulut Ambar. Bagaimana tidak, Dudo belum melihat Adrine dengan kedua matanya. Belum melihat senyumnya bahkan sikap cueknya.

Hentakan demi hentakan, kaki Dudo dia masih terus menyisir sepanjang jalan dengan harapan dia melihat gadis itu.

Kaki Dudo terasa payah, panas dan wajahnya sedikit memerah akibat sengatan matahari. Dia menyusuri sepanjang jalan menuju ke hotel tanpa berkendara.

Ketika Dudo telah menginjak halaman hotel sepoi-sepoi angin sejuk bertiup menyentuh kulit setelah panas. Kemudian tubuhnya berbalik menghadap keluar alih-alih dia melihat Adrine namun sayang semua itu nihil.

Dudo memasuki hotel dan beranjak menuju kamar Ambar, pandangannya lurus kedepan tanpa menoleh kemanapun. Ketika telah sampai tepat di depan kamar Ambar dia mengambil duduk dengan sedikit membungkukan tubuhnya ke depan.

Ponsel Dudo berbunyi, dengan sigap dia meraih dan melihat siapa yang telah memanggilnya. "Ezar," ucap Dudo menyebut namanya.

""Hallo Zar.. " Dudo menyapa tanpa salam. "aku sudah di depan kamar Ambar. Kamu?" Dudo mendengarkan dengan seksama apa yang dikatakan Ezar.

"Aku tunggu..." ucap Dudo lalu menutup panggilannya.

Dudo menunggu Ambar dan Ezar di depan kamar Ambar. Dia tak mengerti kenapa pihak hotel tidak memperbolehkan Dudo memesan kamar di sebelah Ambar setidaknya untuk menjaga hal yang tidak di inginkan.

20 menit telah berlalu, terlihat dengan kedua mata Dudo. Ambar memunculkan dirinya dengan wajah kusam setelah berpanasan di tengah Malioboro. Terlihat di tangannya dua botol air mineral.

Ambar mendekati Dudo yang telah menunggunya sejak lama. Kemudian dia mengulurkan sebotol air mineral untuk Dudo. Ambar meyakini jika Dudo tidak akan makan maupun minum apapun ketika melihat salah satu sahabatnya tidak hadir di depan matanya terlebih jika itu Adrine. Dia seperti kehilangan nyawanya. Kelimpungan dan kadang diam membatu tak bersuara.

"Minumlah sedikit, aku yakin kamu pasti berpuasa seharian." kata Ambar memang sudah faham dengan tabiat sahabat yang satu ini.

Dudo menerima air mineral tersebut, kemudian dia membukanya dan meminumnya. Ambar mengambil duduk di sebelah Dudo tak lama kemudian Ezar datang dengan raut muka sedikit menghitam entah tak tau mengapa. Tubuhnya blepotan mirip orang kerja di bengkel.

Ezar mendekati Ambar dan Dudo, mereka terkejut melihat penampilan Ezar yang kotor tidak seperti biasanya. "Ambar, kabar Adrine gimana?" tanya Ezar penasaran.

"Ok! aku katakan bahwa Adrine mengirimku pesan `kita disuruh menunggunya di sini´"ucap Ambar jelas.

"Sebentar," sahut Dudo memotong ucapan Ambar. "Bukankah ponselnya tidak aktiv sedari pagi?" Dudo kebingungan dari mana dia bisa mengirim pesan.

Ezar ikut-ikut melongo dengan apa yang dikatakan Ambar.

"Pakai nomor orang, entah itu tukang jaga toilet, jaga warung atau numpang orang yang jelas pesan itu terkirim." Ambar mengurai berharap mereda kepanikan diantara mereka.

"Hanya itu saja?" tanya Ezar kembali.

"No!" tukas Ambar "aku sempat menelponnya dan Adrine di sana tapi sayang panggilan terputus. Aku coba panggil lagi but... mboten di jawab."

Dudo serasa dicekik dengan berita yang masih menggantung tak jelas. Kemudian dia teringat dengan nomor yang ia temukan di tas Adrine.

"Coba mana nomornya? aku mau lihat" ujar Dudo meminta.

Ambar mengaduk saku celananya dan mengambil ponsel kesayangannya. Dia membuka riwayat panggilan masuk dan keluar. Di sana terpampang jelas jika nomor tak di kenal menghubungi Ambar. Ambar menyerahkan ponsel ke Dudo lalu dia melihat dan memeriksa nomor tersebut di ponsel Dudo sendiri.

"Sial!!" amarah Dudo keluar, kekesalan memenuhi wajah dan hatinya. Ezar dan Ambar terkejut melihat ekspresi spontan yang keluar dari wajah Dudo.

"Dudo? kamu kenapa?" tanya Ezar penasaran.

"Dia pergi dengan lelaki yang baru di kenalnya, aku khawatir terjadi sesuatu dengannya." ujar Dudo.

"Lalu apa yang bisa kita lakukan. Di mana mereka juga kita tidak tau!" Ezar menyahuti.

"Kita tidak bisa diam begini Ezar!" Dudo kesal bak api yang mulai menjalar ke kayu kering sedikit demi sedikit. Rasa cemburu muncul sangat tak masuk akal. "Kita harus cari Adrine!" ucap Dudo dengan kedua kepalan tangan di depan mulutnya.

"Kemana mereka pergi kita juga tidak tau! kita hanya bisa menunggu setidaknya hingga maghrib tiba. Setelah itu barulah kita lapor polisi. Itupun belum tentu diterimanya kita tidak tau jam berapa dia keluar dari hotel." Ambar menimpali dengan rasa kesal melihat Dudo. "Bukankah itu yang kau ucap kemarin?"

Dudo terdiam tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak ada jejak ke mana Adrine pergi. Hanya seutas pesan dan kalimat yang tak selesai membuat sahabatnya sangat khawatir. Api cemburu keluar dari Dudo. Diamnya Dudo tapi panas hatinya.