webnovel

RESEPSI PERNIKAHAN

Semalam lewat telfon seluler milik Arifin, Bu Aisyah menghubungiku. memintaku untuk mencoba baju pengantin di sebuah butik ternama.

Saat aku melihat Arifin keluar dari ruang kerjanya, aku langsung mematikam komputerku bermaksud untuk mengejar Arifin. aku tidak ingin Arifin dan Bu Aisyah menunggu terlalu lama.

tanpa pamit pada karyawan lain, aku langsung menyambar tasku. berlari meninggalkan ruangan kerjaku.

langsung memesan taksi online. dan tanpa rasa cemas dan curiga aku memasuki taksi online yang mengantarku pada butik ternama tersebut.

Di depan butik, Arifin sudah menungguku.

"Silahkan masuk," kata Arifin saat melihatku. Aku dan Arifin memasuki butik. betapa aku dan Arifin terkejut saat melihat Camelia ada disana. dengan tatapan tajam dan menyala Camelia melangkah mendekatiku dan Arifin. saat dia mengayungkan tangannya siap menamparku. tiba-tiba pergelangan tangan Camelia dicekal. aku menatap seseorang yang menangkap pergelangan tangan Camelia. dia tersenyum sinis ke arah Camelia.

"Dian," gumamku.

"Lepaskan, ini bukan urusanmu," teriak Camelia. Alma kemudian muncul dengan ponsel yang sedang merekam aksi tersebut.

"Jika tidak ingin video ini tersebar, maka jauhi Yumna," teriak Alma.

"Siapa kalian?" teriaj Camelia.

"Kami tiga putru," kata Alma membuatku dan Dian tertawa. Dian melemparkan tangan Camelia hingga Camelia jatuh tersungkur. meraih lenganku lalu berjalan melewati Camelia yang makin tersungut dengan tingkah kami.

"Maaf," kataku saat tiba di ruang ganti pakaian dimana Dian dan Alma membantuku mengenakan gaun pengantin.

"Apa karena aku selalu menganggumu sampai kau harus sembunyikan semua ini dari kami?" kata Dian. aku tertunduk. merasa bersalah.

"Apapun alasannya itu sudah tidak penting. sekarang maukah kau menceritakan tentang Pak Ceo kita?" tanya Alma dengan antusias memecahkan kecanggungan diantara kami.

"Dia lelaki yang melamarku dijalan," kataku sambil mengigit bibir bawahku.

"What?" teriak Alma dan Dian secara bersamaan. mata mereka melotot. mulutnya terbuka lebar. aku tertawa melihatnya.

"Kita kecolongan," kata Dian membuatku makin terbahak.

"Sudah dong ketawanya, tuh udah ditungguin sama calon suami," kata Alma. aku mengangguk setuju.

dengan mencoba anggun aku melangkah keluar ruang ganti, tersenyum pada Arifin yang kuha sudah mengenakan pakaian pengantinnya.

"Cocok, kita ambil ini saja," kata Arifin pada Bu Aisyah. Aku menatap kecewa ke arah Bu Aisyah, sebab Arifin tidak sempat melihat pakaianki namin dia memutuskan untuk menggunakan pakaian yang kami kenakan.

"Nggak boleh memandang lama perempuan yang buka mahram," ujar Bu Aisyaj sambil mengenggam jemariku. seakan dia tahu isi hatiku. Aku tersenyum mengangguk pada Bu Aisyah.

"Pantaskah aku mendampinginya?" bisikku pada Alma dan Dian.

"aku pernah dengar ustad bilanh gini. laki-laki baik untuk perempuan baik, begitupun dengan perempuam baik untuk laki-laki baik. jadi pasti kamu punya kelebihan sehingga Allah memilihmu untuk mendampingi lelaki soleh seperti Arifin," jelas Alma bijaksana.

"Atau mengulang kisah seperti nabi nuh dengan istrinya yang pembangkang atau firaun dengan istrinya yang soleha. bisa dibilang kamu itu ujian untuk lelaki soleh seperti Pak Arifin," kata Dian sambil tertawa terbahak-bahak. Bu Aisyah hanya bisa tersenyum melihat tingkah Doan.

Setelau mencoba baju pengantin, kami lalu memilih menu makanan dan kebutuhan lainnya. sungguh melegakan ada Dian dan Alma sehingga aku tidak begitu gugup di depan calon suami dan calon mertua.&$&$&

"Tidak apa menikah terlambat, jika prosesnya sesempurna ini," kata Alma.

"Apakah seperti itu?" tanyaku ragu.

"Makanya cepat unboxing setelah halal. biar cepat hamil dan meminimalisir resiko kehamilan di kepala empat sepertimu," cerocos Dian yang lagi-lagi membuatkan down.

"Bisakah kau sedikt menjaga perasaanku?" tanyaku putus asa.

"Lebih baik kenyataan yang pahit dibandongkan dengan kebohongan yang manis. eebagai sahabat aku harus membuka matamu, bukannya memberikanmu harapan palsu," kata Dian lalu melenggang pergi ke meja kerjanua. Alma tersenyum manis, seakan ingin menyalurkan semangat padaku.&$&$&

"Saya teroma nikah dan kawinnya Yumna Aszahra binti Kamaruddin dengan seperangkat alat sholat dibayar tunai," kata Arifin tegas.

"Sah," teriak semua orang yang hadir. aku, Dian dan Alma meneteskam air mata. kami berpelukan dalam isak tangis.

"Ku pikir kau bakalan kadaluarsa," kata Dian. aku tertawa mendengarnya. sekarang aku baru sadar harus ada Dian dan Alma dalam hidupku sehingga hidupku yang hitam putih bisa penuh warna.

setelah ijab qabul berlangsung lancar. kami duduk di pelaminan untuk menjamu tamu. keluarga Pak Burhan dan Bu Aisyah benar-benar menerapkan pernikahan muslim, dimana ruangan muslimah dan muslim terpisah. aku bisa menyaksikan tatapan tidak percaya semua perempuan yang hadir dalam acara pernikahanku. ada yang melotot, menganga dan ada pula yang teriak histeris, membekap mulutnya sendiri. aku menarik nafas berat. apakah terlaluenyedihkan diriku sehingga tidak pantas berdampingan dengan Arifin. &$&$&

setelah resepsi, aku dan Arifin harusnya tinggal di hotel seperti rencana awal, tetapi aku sudah lelah melihat tatapan orang-orang yang meremehkanku dan seakan berkata bahwa Dukun sakti berhasil menyatukan kami.

tidak ada tanya dari Arifin, Pak Burhan dan Bu Aisyah saat aku meminta untuk istirahat di rumahku saja.

Arifin tetap diam bahkan saat aku membuka pintu rumahku.

"Silahkan," kataku.

"Terima kasih," kata Arifin. "Assalamu alaikum," salam Arifin saat memasuki rumahku. ada rasa hangat menjalar masuk ke hatiku.

"Waalaikum salam," jawabku lalu menangis tergugu. Arifin meraih tubuhku, mendekapnya dengan sangat erat. ini adalah kontrak fisik kedua kami setelah insiden itu.

"Apa apa?" tanya Arifin saat tangisku mulai reda.

"Entaylah," kataku. Arifin melepaskan pelukannya, menuntunku melangkah ke sofa. Arifin akan pergi, namun dengan sigap ku raih pergelangan tangannya.

"Mau kemana?" tanyaku pada Arifin.

"Ambil air minum untukmu," kata Arifin.

"Tidak perlu," kataku. aku kemudian menepuk sofa yang tidak jauh dariku. "Duduk disini," kataku pada Arifin. tanpa mengeluh Arifin duduk di sofa yang aku tepuk.

"Kenapa kamu mau ikut denganku?" tanyaku pada Arifin yang malah menatapku dengan tatapan aneh namun membuat hatiku bergetar, aku salah tingkah dibuatnya.

"Maksudku... kamu bersedia tingfal di rumah yang kecil, sempit dan kotor ino," kataku dengan sedikit gugup.

"Disini kau punya banyak kenangan. Dan aku tidak ingin merusak semua itu. Aku ingin istriki bahagia bersamaku," kata Arifin.

"Istri," ulangku kemudian tertawa, "Akhirnya aku menyandang status istri. meski terasa aneh."

"Setiap orang punya kisahnya masing-masing. begituoun kisah kita. berbeda dari yang lain," ujar Arifin bijaksana.

"Kau tidak menyesal?" tanyaku.

"Insya Allah aku selalu ridho dengan ketetapan Allah," kata Arifin.

"Kita bersama tanpa cinta. bisakah kita menunggu cinta itu tumbuh?" tanyaku hati-hati.

"Tentu," jawab Arifin. "Aku akan siap menunggu sampai benih cinta tumbuh di hatimu," lanjut Arifin.

"Kau sudah jatuh cinta padaku?" tanyaku hati-hati.

"Aku mencintaimu karena Allah," kata Arifin

drum

seperti sebuau genderang yang langsung menabol dadaku. begitu bergetar hingga membuatku hampir oleng.

"Selama proses itu, maukah kita tidur terpisah?" tanyaku hati-hati lagi.

"Tentu," jawab Arifin.&$_$&

Aku menatap punggung Arifin yang mulai lenyap di balik pintu kamar milik Arifin. masih bertanya-tanya dalam benakku, mengapa dia menjadi lelaki yang takdir kirimkan padaku. Lelaki sempurna itu kini berstatus suamiki. Aku tidak tahu harus bersyukur atau bersedih sebab kami menikah tanpa cinta.&_-&