Mereka tiba di Villa milik keluarga Tama beberapa saat setelah adzan ashar berkumandang. Begitu turun dari mobil mereka disambut oleh seorang laki-laki setengah baya.
"Selamat datang A Tama," sapa lelaki itu.
"Terima kasih Mang Jajang, apa kabar?" jawab Tama ramah sambil mengulurkan tangannya.
'Alhamdulillah baik A," kata lelaki bernama Mang Jajang itu sambil menjabat tangan Tama.
"Mang, ini teman-teman saya, 5 hari ini kami mau bermalam disini. Kamar sudah siap kan?" tanya Tama lagi.
"Sudah A, semua sudah siap. Silahkan masuk aja. Barang-barangnya nanti biar Kusno sama Asep yang urus."
Tama mengangguk, lalu mengajak mereka semua masuk.
Sampai didalam, mereka disambut oleh seorang perempuan yang umurnya tak jauh beda dengan Mang Jajang.
"A Tama, kumaha damang?" sapa perempuan itu.
"Alhamdulillah Bi Entin, baik. Bibi apa kabar? Tadi Ayah dan Ibu titip salam buat Bi Entin dan Mang Jajang," kata Tama ramah, "oiya Bi, ini teman-teman saya. Teman-teman, ini Bi Entin istri Mang Jajang. Merekalah yang membantu kami mengurus Villa," jelas Tama sambil memperkenalkan mereka. Mereka semua berjabat tangan pada Bi Entin.
"A Tama sama teman-temannya mau makan dulu atau istirahat dulu?" tanya Bi Entin.
"Gimana kalian? kalau aku mau istirahat dulu. Kalau kalian mau langsung makan silahkan. sudah disiapkan, " kata Tama pada mereka.
Tapi mereka juga memilih untuk istirahat dulu, karena tadi mereka sempat mampir untuk makan siang di perjalanan.
"Udah disiapkan 5 kamar A," tiba-tiba Mang Jajang sudah ada didekat mereka.
"Wah, banyak banget Tam? Emang mau tidur sendiri-sendiri?" tanya Edo.
"Terserah kalian aja." jawab Tama.
"Aku sana Mimi bareng aja deh kamarnya," kata Sisi.
"kita juga bareng aja lah Tam, tapi kalau lo mau sendirian, gue sama Irfan aja ngga apa-apa," kata Edo.
"Aku bareng kalian juga deh," kata Tama sambil tersenyum.
"Mang, Bi, kami pakai dua kamar aja ya, yang dekat dengan taman dan kolam renang." kata Tama pada Mang Jajang dan Bi Entin.
"Wah, ada kolam renangnya juga disini Tam?" kata Sisi antusias.
"Ada tuh, dibelakang," kata Tama.
Lalu mereka menuju ke halaman belakang Villa, tampak sebuah kolam renang dengan air biru jernih. Tak jauh dari kolam renang ada taman dengan gazebo yang cukup luas.
Sisi menghampiri kolam renang, dan menyentuh airnya. "Dingin!!" kata Sisi setengah berteriak.
Mimi tertawa melihat kelakuan sahabatnya itu. Lalu dia duduk disebuah kursi yang memang tersedia dipinggir kolam renang. Sementara Tama mengajak Edo dan Irfan ke taman. Tak lama mereka sudah kembali lagi, lalu Edo berkata,
"Mi, nanti kita bisa barbeque-an di taman. Besok atau lusa kita belanja bahan-bahannya."
Mimi mengangguk saja. Jujur, Mimi ingin sekali cepat masuk kamar untuk meluruskan tubuhnya. Tapi teman-temannya tampak masih asyik melihat-lihat sekeliling Villa.
Beruntung Tama cukup peka. dia akhirnya menawarkan mengantar Mimi ke kamarnya.
"Kamu istirahat aja dulu Mi. Mau tidur atau mandi silahkan. Ada air panasnya juga kalau kamu ngga suka air dingin. Nanti habis maghrib kita makan malam," kata Tama begitu mereka berdua tiba didepan kamar.
"Makasih ya Tam. Lo ngerti aja kalau gue capek," kata Mimi.
"Sama-sama, selamat istirahat," jawab Tama kemudian melangkah pergi.
Mimi memandang punggung Tama sejenak sebelum akhirnya dia masuk ke kamar dan beristirahat.
---
Mimi terbangun karena kaget mendengar suara gemericik air di kamar mandi.
"Si, itu elo?" tanya Mimi setengah berteriak.
"Iya, ini gue," jawab Sisi.
Lima menit kemudian Sisi keluar dari kamar mandi.
"Mandi gih Mi," kata Sisi.
"Iya ini mau. perasaan gue tadi cuma kepengen lurusin badan aja, kok jadi ketiduran ya?" kata Mimi sambil berjalan ke kamar mandi.
Sepuluh menit kemudian mereka sudah rapi, jam menunjukan pukul 17.30. Mimi dan Sisi menghabiskan waktu sambil mengobrol santai.
"Ngga nyangka gue sama Tama. Ternyata dia sekaya ini ya keluarganya. Padahal tu anak kalau di kampus biasa aja ya?" kata Sisi.
"Gue sih kagumnya karena biar anak orang kaya, dia tuh mandiri. Dia udah bisa menghasilkan uang dari hasil kerja sendiri. Itu yang gue salut," kata Mimi dengan mata menerawang.
"Dia kerja dimana sih Mi?"
"Dia punya Cafe Si,"
"Hah, serius lo?"
"Iya, lo tadi lihat ngga foto - foto di tembok paviliun dia. Itu adalah foto ruangan-ruangan di Cafe dia. Tadi pas disana Tama cerita sama gue, " jelas Mimi.
"Waduh.. paket lengkap deh tuh orang, ganteng, baik, ramah, orang kaya, mandiri, tipe idaman banget ya Mi?" kata Sisi sambil terkikik. "Lo suka ya sama Tama?" kata Sisi sambil menyenggol lengan Mimi.
"Apaan sih? Gue tuh kagum Si, suka sebagai teman." kata Mimi.
Sisi hanya mengangguk-angguk sambil tersenyum simpul.
---
Sehabis maghrib, mereka berkumpul di ruang keluarga. Bi Entin menawarkan mereka makan di ruang makan, tapi mereka lebih senang makan di ruang keluarga sambil menonton TV. Mereka juga merencanakan kegiatan esok hari.
"Kalian besok mau ke kota, atau mau keliling sekitar sini aja?" tanya Tama.
"Kalau gue kan kesini mau ngadem, jadi ngga niat ke kota sih," jawab Mimi.
"Hmmm kalau gitu, kalian mau jalan ke kebun teh ngga? Disekitar sini banyak kebun teh. Ada yang udah dibuka jadi tempat wisata alam. Jadi kalian bisa keliling terus minum teh ditengah kebun," kata Tama.
"Wuaaaah, gue mau lah. Jauh ngga?" tanya Mimi.
"Ngga, kita jalan kaki juga bisa."
"Gimana dengan kalian?" tanya Mimi pada yang lain. Ternyata mereka semua setuju. Diputuskan besok setelah sarapan mereka akan berangkat wisata ke kebun teh.
--
Mimi berjalan di sebuah jembatan gantung. Sekitarnya tampak berkabut. Khawatir jatuh, Mimi berjalan sambil memegang sisi jembatan. Di depannya nyaris tak tampak apapun. Udara pun terasa dingin, membuat Mimi berkali-kali merapatlan jaketnya. Ditengah rasa khawatir, tampak seberkas sinar berjalan mendekatinya. Samar dia melihat seseorang sedang membawa lentera menuju kearahnya. Kali ini Mimi langsung mengenali sosok itu. Dia adalah lelaki kabutnya. Sosok itu tiba didepannya, masih saja Mimi tak bisa melihat jelas wajahnya i karena silau oleh cahaya lentera. Lelaki itu meraih tangannya, lalu menggandengnya mengajak berjalan. Mereka berjalan dalam diam. Sesekali Mimi melirik ke arah lelaki tersebut. Namun, lelaki itu terus berjalan tanpa menoleh, dengan tangan Mimi masih ada dalam genggamannya. Harum khas miliknya juga tercium jelas. Membuat Mimi menjadi hilang konsentrasi.
Mereka sudah sampai di ujung jembatan. Lelaki kabut melepaskan genggamannya. Tanpa kata, dia berbalik arah, kemudian beranjak pergi setelah sebelumnya dia mengusap rambut Mimi. Mimi menatap punggung lelaki kabut itu sampai akhirnya menghilang dari pandangan. Hanya harumnya saja yang tertinggal.