Ketika menyatakan cinta, ada tiga kemungkinan yang akan kamu dapatkan. Diterima, ditolak atau digantung. Dari ketiganya itu paling tak enak adalah digantung. Karena sama saja kita berharap tanpa tahu kapan mendapat jawaban.
Biasanya kondisi digantung itu karena seseorang sudah terlalu nyaman dengan hubungan yang ada yaitu hubungan persahabatan, dan jika suatu saat hubungan itu berakhir, belum tentu bisa bersahabat lagi. Jadi jangan heran kalau banyak yang terjebak dalam friendzone. Sahabat rasa pacar.
Irfan mondar mandir di kamar, membuat Edo yang melihatnya menjadi pusing.
"Woy, lo kenapa sih Fan? Muter-muter kayak gangsing? Pusing gue lihatnya."
"Tama mana Do?" bukannya menjawab, Irfan malah balik bertanya.
"Nyari aku? ada apa Fan?" tanya Tama sambil masuk ke dalam kamar.
"Gue mau ngomong serius nih sama elo berdua, terutama sama elo Tam," kata Irfan.
Tama duduk di kursi yang ada didekat tempat tidur. "Silahkan, mau ngomong apa?"
Irfan menatap keduanya dengan ragu-ragu. Tapi demi ketenangan hati, dia memang harus bicara.
"Bro, gue mau jujur nih! Gue pikir, gue sedang jatuh cinta," kata Irfan.
"Lagi?" kata Edo dan Tama serempak, diikuti tawa keduanya.
"Kan lo udah sering jatuh cinta Fan, kenapa harus ngomong sama gue dan Tama segala?" tanya Edo.
"Ini beda Bro... perasaan gue yang sekarang tuh beda sama yang kemarin-kemarin."
"Oya? Tiap kali suka sama cewek lo pasti ngomong gitu Fan," kata Edo lagi. "Kali ini siapa target lo?" lanjutnya.
"Mimi!" bukan Irfan yang menjawab, melainkan Tama.
Irfan melihat Tama dengan pandangan bertanya, "kok lo tahu?"
Seolah bisa menerka arti tatapan itu, Tama hanya menjawab santai, "kamu kan transparan Fan, gampang ditebak."
"No! Gw kali ini ngga setuju kalau lo deketin Mimi." kata Edo sewot.
"Kenapa ngga? Lo ngga percaya sama gue Do?" tanya Irfan.
"Gimana ya Fan, kan kita berteman, ngga enak aja rasanya kalau ada yang pacaran. Gue aja tahan-tahan kemarin suka sama dia," jawab Edo. "Gue juga ngga mau Mimi masuk daftar mantan elo. Ngga rela gue," katanya lagi.
"Belum jadian aja lo udah pesimis sama gue Do! Gue yakin kok sama Mimi gue bakal awet," kata Irfan dengan percaya diri.
"Kan Mimi lagi penasaran sama lelaki kabut di mimpinya, apa lo ngga takut ditolalk?" tanya Edo lagi, masih berupaya mencegah niat Irfan.
"Ah saingan kok sama orang ngga nyata. Itu hanya bunga tidur dia. Ngga mungkin Mimi beneran bodoh suka sama orang yang belum jelas nyata atau ngga."
"Ini beda Bro, kalau mimpi Mimi itu pasti akan jadi nyata, entah kapan."
Irfan terlihat tak peduli. "Bahas soal saingan justru gue lebih berat ke Tama."
Tama yang disebut namanya oleh Irfan pun buka suara.
"Lho, kok aku?"
"Iya, lo suka juga sama Mimi? Soalnya beberapa hari ini kalian terlihat makin akrab. Bahkan tadi kalian menghilang berdua aja," kata Irfan.
"Aku tadi ngga sengaja ketemu, kan Mimi udah jelasin tadi. Lagipula masalah perasaan itu urusan aku. Aku ngga mau bahas itu sama siapapun,."
"Jadi lo ngga keberatan gue bilang sama Mimi, kalau gue suka sama dia?".
" Terserah, itu urusan kamu Fan. Tapi benar kata Edo tadi, kalau kamu diterima sih ya syukur lah. Tapi kalau ditolak, apa bisa kita tetap berteman seperti sekarang?"
Irfan terdiam, sepertinya ssedang mempertimbangkan semuanya. Sebenarnya dia ragu untuk mengatakan perasaannya pada Mimi. Karena dia merasa kemungkinan ditolak lebih besar dari pada diterima. Hanya ego nya begitu besar, dengan alasan masih ada kemungkinan diterima juga. Ya dia hanya ingin menuntaskan penasarannya akan jawaban Mimi kalau dia mengatakan cintanya. Daripada ngga nyoba, nanti dia menyesal. Kesannya kok penakut ya?
"Fan, saran aku sih kamu yakinkan dulu semuanya. Aku sih ngga yakin semua akan normal kalau ternyata kamu ditolak," kata Tama to the point.
"Okey, gue akan pikirin dulu," putus Irfan.
---
Sore itu mereka berkumpul di kolam renang. Irfan dan Edo sudah asyik berenang. Mimi dan Sisi hanya ngobrol saja dipinggir kolam renang.
"Kalian ngga renang?" tanya Tama yang baru saja datang.
"Ngga ah, airnya dingin banget," jawab Sisi, "Tam, aku boleh minta tolong Mang Jajang atau Kusno ngga untuk nganter aku mini market? Aku ada yang mau dibeli nih! Naik motor aja, ngga apa-apa."
"Silahkan aja, Mang Jajang di rumahnya sih. Kesana aja."
"Okey, makasih ya Tam. Mi, gue tinggal dulu ya!?".
Sepeninggal Sisi, Tama dan Mimi duduk berdua, sambil memperhatikan Edo dan Irfan.
" Mi, kamu suka senja kan?"
"Hah? O iya, aku suka senja."
"Mau lihat? Kita ke rumah pohon sekarang, nanti kita bisa lihat senja dari sana."
Mimi tersenyum sambil mengangguk. Kemudian mereka berjalan menuju rumah pohon.
---
Mimi dan Tama sudah duduk kembali di rumah pohon. Kali ini Tama sudah membawa minuman ringan dan sedikit camilan. Mimi sempat menertawakan Tama, tapi ternyata inisiatif Tama itu memang ada benarnya. Diatas sini angin yang berhembus terasa begitu dingin. Membuat siapapun menjadi cepat lapar.
"Mi, soal Lelaki Kabut, aku jadi penasaran," tanya Tama tiba-tiba.
"Sama dong, aku juga penasaran," jawab Mimi sambil tertawa. "Gilanya ada kemungkinan aku jatuh cinta Tam sama Lelaki Kabut itu."
"Ngga gila sih kalau menurut aku. Mungkin aja memang Lelaki itu menarik bagi kamu. Dan kalau memang benar mimpi kamu selalu jadi nyata, aku yakin sih dia suatu saat akan muncu," kata Tama sambil menatap Mimi.
"Serius, kamu ngga anggap aku gila Tam?"
Tama menggeleng, "sejauh ini kamu ada petunjuk apa tentang lelaki itu?"
"Ngga ada yang penting sih. Karena semua serba ngga jelas dimimpiku. Selalu tertutup kabut. Eeeh, tapi tiap dia muncul, aku seperti mencium wangi, tapi aku lupa wangi apa. Padahal wangimya seperti tak asing."
"Wangi?" tanya Tama.
"Iya wanginya selalu sama Tam. Kalaupun sekarang aku ngga tahu wangi apa, saat aku mencium wangi itu di dunia nyata, aku pasti akan langsung ingat."
Sore itu senja tampak cantik. Dibawah langit yang kemerahan, dihiasi burung-burung yang terbang berkelompok menuju sarangnya, untuk pertama kalinya Mimi bercerita tentang Lelaki Kabut pada seseorang dengan tuntas. Dan rasanya begitu menyenangkan bisa berbagi cerita tanpa takut ditertawakan.
Sebelumnya Mimi hanya bercerita pada Edo, itupun tidak semuanya. Karena Mimi takut reaksi Edo seperti Sisi, walaupun terbukti tidak, pada akhirnya Mimi memang tidak pernah mengungkit lagi cerita Lelaki Kabut itu pada Edo.
Mimi menatap Tama yang ada disampingnya, entah mengapa perasaan nyaman menyusup dihati kala bersamanya.
"