webnovel

Chapter 3 - Ketegangan dan Penemuan

Setelah kemenangan melawan Hikari, Haruto merasakan semangatnya semakin berkobar. Namun, rasa puas itu cepat memudar saat dia pulang ke rumah. Kaito masih mengawasi setiap langkahnya dengan mata tajam dan sikap skeptis.

"Mendapatkan kemenangan satu atau dua kali tidak berarti kau sudah siap," kata Kaito, suaranya tegas dan tanpa emosi. "Kau harus memahami apa yang kau hadapi."

Haruto merasa kemarahan dan ketidakpuasan menyala di dalam dirinya. "Aku tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayangmu, Ayah! Aku ingin membuktikan bahwa aku bisa menjadi lebih kuat dari dirimu!"

Kaito hanya menatapnya dengan hampa, seolah-olah tidak terpengaruh oleh emosi putranya. "Jika itu yang kau inginkan, buktikan dengan tindakanmu, bukan dengan kata-kata."

Setelah perdebatan itu, Haruto kembali ke gym. Dia tidak hanya ingin berlatih lebih keras, tetapi juga ingin belajar lebih banyak tentang teknik bertarung. Kenji mengajaknya untuk berlatih bersama petarung lain, memperkenalkan Haruto kepada berbagai gaya bertarung.

"Saatnya kau belajar tentang seni bela diri yang berbeda," kata Kenji sambil memperkenalkan Haruto kepada Aiko, seorang petarung yang mahir dalam judo. "Dia bisa membantumu memahami cara menggunakan berat badan lawanmu."

Awalnya, Haruto ragu. Dia merasa teknik judo tidak akan membantunya dengan kekuatan fisik yang dia miliki. Namun, setelah beberapa sesi latihan, dia mulai melihat bagaimana Aiko memanfaatkan tekniknya. Dengan sekali lemparan, Haruto terjatuh ke matras, terengah-engah. "Jangan hanya mengandalkan kekuatan. Cobalah untuk berpikir lebih strategis," Aiko mengingatkannya dengan senyuman.

Setiap hari, Haruto melatih teknik baru. Dia belajar cara mengendalikan gerakannya, bagaimana beradaptasi dengan kecepatan dan kekuatan lawan. Meski tubuhnya merasakan kelelahan, semangatnya tidak pernah padam. Namun, di dalam hati, rasa khawatir akan efek samping dari steroid terus menghantuinya. Dia merasakan perubahan dalam dirinya, dan terkadang merasa tidak berdaya.

Suatu malam, setelah sesi latihan yang melelahkan, Haruto pulang dan mendapati Kaito menunggu di ruang tamu. "Aku ingin berbicara," Kaito memulai, suaranya lebih lembut dari biasanya.

"Tentang apa?" Haruto menjawab, meragukan niat baik ayahnya.

"Aku tahu kau berlatih keras, tetapi kau harus berhati-hati. Kekuatan sejati tidak hanya berasal dari fisik, tetapi juga dari pikiran dan jiwa," Kaito mengatakan, matanya menatap tajam ke arah Haruto.

"Apa yang kau tahu tentang kekuatan? Kau tidak pernah mengizinkanku untuk menjadi diriku sendiri!" balas Haruto, emosi mendidih dalam dirinya.

Kaito menarik napas dalam-dalam, seolah-olah berusaha menahan amarah. "Aku tahu lebih dari yang kau bayangkan. Ketika aku berjuang, aku tidak hanya berjuang untuk diriku sendiri, tetapi juga untuk melindungi orang-orang yang aku cintai. Kekuatan yang kau cari bisa membawa kehancuran jika tidak dipahami dengan baik."

Kata-kata ayahnya menggugah kesadaran dalam diri Haruto. Mungkin dia belum sepenuhnya memahami apa yang sebenarnya dia cari. Namun, semangatnya untuk mengalahkan Kaito masih membara. "Aku tidak akan mundur, Ayah. Suatu saat, aku akan mengalahkanmu."

Kaito tersenyum sinis. "Hati-hati dengan apa yang kau inginkan, Haruto. Terkadang, mengalahkan orang yang kita cintai bisa membawa konsekuensi yang tidak terduga."

Malam itu, Haruto tidak bisa tidur. Dia merenung tentang kata-kata ayahnya, tentang arti kekuatan sejati. Dalam gelapnya malam, dia menyentuh punggungnya, merasakan bentuk yang sama dengan wajah iblis. Dia tahu dia harus mengendalikan kekuatan itu, bukan membiarkannya mengendalikan dirinya.

Keesokan harinya, dia kembali ke gym dengan tekad baru. Dia harus menggali lebih dalam, tidak hanya belajar teknik bertarung, tetapi juga memahami dirinya sendiri. Saat dia berlatih, dia merasakan aliran energi baru, seolah-olah kekuatan dalam dirinya mulai bersatu.

Kembali ke arena bawah tanah, Haruto bersiap untuk pertarungan berikutnya. Kali ini, dia tidak hanya berjuang untuk menang, tetapi juga untuk menemukan siapa dirinya yang sebenarnya. Dengan semangat yang berkobar, dia bertekad untuk menjadi petarung yang tidak hanya kuat, tetapi juga bijak dalam bertindak.

Dan dalam hatinya, dia berjanji untuk menghadapi ayahnya dengan cara yang belum pernah dia lakukan sebelumnya—dengan pengertian dan kekuatan yang tulus.