webnovel

Video Call Pertama

Sore harinya pukul setengah tiga sore waktu Amerika, sedangkan waktu di Turki sedang menunjukkan pukul sepuluh malam, Shoaib menelpon Aisyah lagi. "Kok belum pulang? Bukankah sudah selesai semuanya?" Tanya gadis itu. "Iya sebentar lagi aku pulang." Aisyah berdecak lidah mendengarnya. "Menunggu apa? Jangan dibiasakan begadang ya." "Menunggu Aisyah." Suara Shoaib terdengar lagi dari balik sana. Pemuda itu duduk di salah satu kursi di ruangan itu dan masih mengenakan jas putihnya. Aisyah menahan senyumannya dan menggigit bibir bawahnya. Dirasakannya hawa hangat menerpa wajahnya dan membuat wajahnya memerah.

"Kan bisa kita lanjutkan lagi nanti dirumah", kata Aisyah. "Iya, tetapi tidak leluasa. Orang tuaku pasti akan mendengar pembicaraan kita dan ada beberapa hal yang aku tidak ingin mereka dengar..... Seperti, aku merindukanmu." Wajah Aisyah semakin memerah dibuatnya. "Anda pandai merayu, tuan." Terdengar suara tawa dari seberang sana. Mereka terdiam sejenak, mempersilahkan lawan bicaranya mendengar detak jantung masing-masing yang berdebar-debar itu.

"Aisyah, bolehkah aku melihatmu? Bisakah kita video call?" Pinta pemuda itu malu-malu. "Tetapi aku bersama ayah sekarang di lantai bawah. Apakah itu tidak apa-apa?" "Tentu saja tidak apa-apa, Aisyah. Itu malah semakin bagus." "Oke kalau begitu. Tunggu sebentar ya, aku akan mengenakan jilbab terlebih dahulu." Aisyah meraih jilbabnya dan mengenakannya. Ia menyambung pembicaraannya lagi dengan pemuda itu.

"Sudah?" Setelah mendengar jawaban Aisyah, kemudian pemuda itu menekan simbol video pada layar handphone nya. Jantung Shoaib semakin berdebar-debar sejak ia menekan tanda itu. Sebentar lagi ia akan melihat paras gadis itu secara langsung. Wajahnya memerah dan nafasnya menjadi tak beraturan. Jantungnya serasa akan meloncat keluar. Aliran darahnya semakin cepat seperti ada yang mengejar dibelakangnya. Tak lama kemudian, panggilan video itu diangkat oleh gadis diujung sana. Senyumnya perlahan mengembang.

Namun yang muncul di layar handphone nya adalah seorang laki-laki paruh baya dengan tatapan mata birunya yang teduh. Rahangnya terlihat kuat dan bibirnya tipis. Kedua alisnya tidak melengkung, melainkan lurus. Terlihat kerutan yang samar-samar diwajahnya menandakan bahwa ia adalah seorang pekerja keras. Rambut pirangnya disisir rapi kebelakang. Beberapa helai rambutnya jatuh menjuntai ke dahinya yang lebar dan ujung rambut itu menyentuh alisnya.

Jantung Shoaib berhenti sepersekian detik. Ia merasa gugup. Dengan suara yang sedikit bergetar ia mengucapkan salam kepada ayah Aisyah. Tidak ada jawaban dari seberang sana. Laki-laki itu bergeming dengan tatapan mata yang bertanya-tanya. Ia tidak tahu bahwa putrinya mengaktifkan kamera belakang. Jadi yang muncul di layar handphone Shoaib adalah sosok ayahnya yang duduk di seberang kursi.

Ayahnya bingung melihat Aisyah tidak menjawab salam dari pemuda Turki itu. Ia tidak mengetahui bahwa salam itu tertuju padanya. "Ayah, jawab salamnya. Aku mengarahkan kamera belakangku." Mendengar itu, mata birunya membelalak kaget dan segera menjawab salam Shoaib. "Waalaikumslm. What's up? (Apa kabar?)" Sapa ramahnya.

"I am good. How are you, sir?" Shoaib menjawab sapaan itu dengan bahasa inggris yang fasih. Laki-laki paruh baya itu tersenyum ramah dan menjawab, "I am fine. Well, Aisyah, come on talk to him." Laki-laki itu menyuruh putrinya untuk berbicara kepada Shoaib. Terdengar tawa pelan Aisyah.

Tak lama kemudian, Aisyah memutar kameranya dan mengalihkannya pada kamera depan. Terlihat Aisyah yang tersipu malu. Ia menutup senyumnya dengan telapak tangan kanannya. Sedari tadi sejak Shoaib melakukan panggilan video itu, tatapan matanya tak pernah lepas dari layar handphone. Wajah khas timur tengah pemuda itu sangat menawan. Kedua alisnya yang tebal, bola matanya yang hitam pekat sehitam langit malam yang tak berbintang, giginya yang putih dan tertata rapi itu terlihat ketika ia berbicara.

Semakin lama Aisyah memandanginya, desiran darahnya semakin kencang. Terlebih lagi ketika ia memandang bulu-bulu halus yang merata di dagu sampai rahangnya, membuat wajahnya memanas dan semakin memerah. Ia merasa seakan-akan bulu-bulu itu menyentuh kulitnya dan membuatnya geli.

Sedangkan di seberang sana, ketika Aisyah mengarahkan kameranya ke kamera depan, ia melihat paras jelita Aisyah secara langsung dan dirasakannya sesuatu yang hebat menjalar ke setiap bagian tubuhnya. Perasaan itu tak pernah ia rasakan sebelumnya. Perasaan itu membuatnya sangat menginginkan gadis itu. Mata birunya seakan-akan melambangkan semua keindahan di muka bumi ini. Aisyah kemudian melepaskan tangannya yang menutupi bibir merah itu dan terlihatlah sebuah senyuman yang mampu merenggut jiwa dari raga Shoaib untuk sejenak. Ia seketika seperti berada di alam lain dan bertemu dengan salah satu bidadari yang diutus oleh Allah.

Shoaib terdiam seribu bahasa menikmati setiap jengkal keelokan paras Aisyah yang memerah. Ia tidak berkedip sedikitpun karena kekagumannya. Dalam hati ia terus memuji-muji tuhannya atas makhluk indah ciptaannya itu. Dengan menyebut nama tuhannya, ia sedikit bisa mengendalikan perasaannya yang membludak tak karuan bagaikan kuda yang lepas dari tali kekangannya. Kesunyian itu pecah ketika Aisyah mengucapkan salam padanya. "Assalamualaikum."

Shoaib tersadar lalu ia menjawab salam itu dan detik itulah ia mulai mengedipkan kedua matanya secara konstan. Ia baru menyadari bahwa sedari tadi ia lupa bagaimana caranya untuk berkedip. Kemudian, mereka tersesat kedalam tatapan masing-masing. Saling memandang dan merasuk ke kedua mata itu. Menyadari keheningan dan kecanggungan itu, Aisyah berdehem lalu berkata, "Apa yang ingin anda katakan?" Mendengar suara manisnya, Shoaib tersenyum lalu berkata, "Tidak ada. Bicaralah, Aisyah. Aku ingin mendengar suaramu. Rasa lelah dan kantukku serasa hilang seketika."

Pernyataannya membuat gadis itu bergeming untuk sejenak. Kata-kata Shoaib berdengung secara konstan di otaknya. Ada sesuatu hal yang sama telah terjadi. Kalimat itu seperti halnya kaset yang diputar secara berulang. Ia mengingat jelas tentang apa yang telah dikisahkan oleh ayahnya dahulu sewaktu ia masih kecil. "Bicaralah, Aisyah." Itu yang sering kali nabi katakan ketika ia merasa jenuh dan lelah. Setiap ia pulang kerumah istri tercintanya itu, mendengarkan Aisyah radhiyallahu'anha bercerita kesana dan kemari adalah hiburan tersendiri baginya.

Melihat ekspresinya dan suaranya ketika bercerita, membuat rasa lelah itu terobati. Sementara Aisyah bercerita panjang lebar, nabi mendengarkannya dengan seksama dan sesekali meresponnya. Aisyah sangat bersemangat sekali jika disuruh untuk bercerita. Ia menceritakan banyak hal dengan berbagai topik seperti halnya anak kecil yang bercerita hari-harinya di sekolah kepada ibunya. "Bicaralah, Aisyah", kata nabi.

"Aisyah?" Shoaib menyadarkan gadis itu dari lamunannya. Ruhnya sudah kembali dari kehidupan padang pasir itu dan kembali ke tahun sekarang. "Aku tidak ada topik pembicaraan", kata Aisyah dengan seulas senyuman. Ia kemudian berkata lagi, "Ini sudah larut malam disana. Cepatlah pulang dan istirahat. Besok kita lanjutkan lagi." Pernyataanya sedikit membuat Shoaib kecewa. Sebenarnya ia sangat ingin melihat wajah Aisyah lebih lama lagi. Tetapi tidak apa-apa, yang dikatakan Aisyah adalah benar. Ia kemudian mengiyakannya dan memutus sambungan telfon itu.