webnovel

Sebuah Penolakan

Keesokan paginya, seisi asrama perlahan kosong dan penghuninya mengunci kamar masing-masing. Mereka pergi ke gedung utama untuk melaksanakan orientasi hari kedua. Seperti pesan Sean kemarin, Aisyah diperintahkan untuk datang lebih awal dari peserta lainnya dan menemuinya. Ia melihat sekeliling dan bertanya keberadaan Kate. Dengan santai Sean menjawab bahwa Kate masih berada di ruang komite. Ia memerintahkannya untuk datang nanti saja ketika mahasiswa-mahasiswa baru itu berkumpul semuanya.

Saat itulah ia meyakini apa yang telah dikatakan oleh teman-teman sekamarnya bahwa Sean menyukainya dan sengaja melakukan ini semua. Saat evaluasi pagi itu, Sean mengajak Aisyah berdiskusi tentang bagaimana caranya menyatukan sifat para anggota kelompoknya itu agar orientasi berjalan dengan mulus tanpa masalah dan akan menjadi kenangan yang tak terlupakan bagi mereka semua. Aisyah mengutarakan opininya karena ia mengetahui betul apa saja yang diharapkan oleh lulusan SMA jaman sekarang.

Sean sudah melupakan bagaimana rasanya menjadi lulusan SMA dan ia berdiskusi lebih tentang hal itu karena per tahunnya harapan para remaja akan berubah-ubah. Aisyah mengenal betul bagaimana sifat kawan-kawannya dan bagaimana opini mereka tentang orientasi yang diadakan oleh para panitia. Ia juga mengungkapkan positif dan negatifnya. Sean mendengarkannya dengan seksama dan juga menikmati kebersamaannya dengan Aisyah.

Perlahan satu per satu mahasiswa datang memenuhi ruangan luas itu. Para panitia juga datang termasuk Kate. Ia menghampiri Sean dan bercakap-cakap sebentar lalu kembali ke kelompok. Hari itu mereka digiring ke sungai Charles yang letaknya tak jauh dari kampus itu dan mereka disuruh untuk membersihkan sampah disana. Banyak dari mahasiswa baru itu yang setengah hati melakukannya dan merasa jijik. Mereka juga enggan berlama-lama dibawah sinar matahari. Ekspresi wajah mereka menunjukkan perasaan yang tidak senang.

Kemudian Sean mengumpulkan mereka semua dan berbicara didepan. "Sebagai seorang mahasiswa, tugas kalian bukan hanya tentang akademik saja, tetapi lingkungan sekitar juga menjadi tanggung jawab kalian. Dengan berdirinya Universitas Harvard diharapkan kita juga akan memberikan dampak baik untuk lingkungan sekitar dan membuat orang-orang hidup dengan nyaman. Sebagai mahasiswa, kita juga harus mencontohkan dan menjadi panutan bagi mereka."

Kedua mata coklatnya menyusuri wajah anak-anak baru itu lalu berhenti ke beberapa mahasiswa yang menutup kepalanya dengan topi karena tidak tahan dengan panas. Sean lalu menunjuk kearah mereka lalu berkata, "Kalian, apakah kalian tahu bahwa cahaya matahari pagi itu sangat bagus untuk tubuh. Aku rasa kalian tidak pernah berolahraga dan lari pagi. Sekarang ubahlah kebiasaan kalian itu. Mendewasalah dan jadilah mahasiswa yang dibanggakan oleh kampus. Kalian disini sendirian, orang tua kalian jauh dan mereka telah menitipkan kalian kepada kami.

Maka tugas kami adalah mendidik kalian untuk menjadi mahasiswa yang berkualitas dan siap terjun ke masyarakat. Kalian disini membawa almamater kampus, jadi kalian adalah tanggung jawab kami." Mendengar pidato yang lantang itu, Aisyah kagum padanya. Ia ternyata juga bisa bersikap tegas dan serius seperti itu, batinnya. Sosok di depan itu sangat berbeda dari yang dilihatnya akhir-akhir ini. Meskipun ia sedikit nakal dan genit, namun Sean tahu akan tugasnya sebagai panitia yang harus mengayomi adik tingkatnya.

Sean menyelesaikan pidatonya lalu membubarkan mereka. Merekapun kembali melakukan tugasnya masing-masing. Ketika Aisyah dan kawan-kawannya mengais sampah, Sean menghampirinya dan berdiri disampingnya. Ia sedikit membungkukkan badannya untuk melihat wajah Aisyah. "Bagaimana pidatoku tadi?" Aisyah melirik kearahnya dan menjawab singkat, "Bagus." Pemuda itu tersenyum sambil mengangkat tangan kanannya untuk mengajaknya tos. Aisyah melihat telapak tangan Sean dan menolaknya dengan sopan.

Pemuda itu mengerutkan kedua alisnya lalu bertanya kenapa. Aisyah menghentikan pekerjaannya sejenak dan menjelaskan, "Agamaku menyuruhku untuk tidak melakukannya." Sean setengah hati menerima kenyataan itu. Kemudian ia berkata dengan nada berbisik padanya, "Lalu bagaimana caranya jika seandainya aku ingin menyentuhmu?" Ia berusaha sekuat tenaga untuk berbicara dengan nada suara yang normal. Aisyah tidak menyangka-nyangka pertanyaan seperti itu akan dilayangkan kepadanya. Ia sedikit terhenyak mendengarnya. Wajahnya memerah karena menahan malu dan perasaan lainnya.

Kemudian ia berkata, "Kau harus masuk Islam dulu dan….. menikahiku." Itu seperti sebuah tamparan keras kepada Sean. Itu adalah sesuatu yang sangat berat. Masuk Islam adalah hal yang tidak mungkin untuknya. Ia sama sekali tidak ada niatan kearah situ. Ia diam tak berkomentar apa-apa. Pemuda itu kemudian menunduk dan melanjutkan membersihkan sampah-sampah. Aisyah memperhatikan gerak-geriknya yang berbeda. Ekspresinya juga menjadi datar dan sedih. Gadis itu tak berkata apa-apa dan melakukan aktifitasnya lagi.

Siangnya, jam istirahat tiba dan seperti biasanya Aisyah ijin menunaikan sholat. Seusai sholat ia kembali ke kelompoknya yang duduk berkerumun di Dining Hall itu. Sean datang membawa segelas minuman dan sejenak memandang ke Aisyah yang baru saja bergabung. Mata mereka bertemu dan tercipta suasana yang canggung. Kemudian Sean memilih tempat duduk disebelah Denzel. Ia bercakap-cakap dengannya seperti biasanya dan menepuk-nepuk bahu Denzel ketika tertawa oleh lelucon Denzel. Mereka terlihat sangat akrab seperti tidak ada batasan antara senior dengan juniornya.

Aisyah tak menghiraukannya dan mulai menyantap makan siangnya. Sebenarnya aktifitas orientasi di hari itu sudah selesai. Namun para panitia mengumpulkan kelompoknya untuk berdiskusi dan bercakap-cakap santai. Mereka bertanya bagaimana hari pertama mereka di asrama. Kelompok Aisyah duduk berbentuk lingkaran di atas rumput hijau itu. Selama berdiskusi, tak sekalipun Aisyah dan Sean berpandangan. Mereka mengabaikan satu dan yang lainnya. Sean menganggap bahwa Aisyah seolah-olah tidak ada dan hanya sebatas angin lalu saja. Sedangkan Aisyah merasa bahwa dirinya telah bebas dari jerat rayu Sean. Akhirnya ia mendapatkan kembali kemerdekaannya walaupun ia secara tidak langsung telah melukai perasaan Sean.

Sepulangnya, Aisyah menghadap Sean untuk mengumpulkan lembaran-lembaran dari teman-temannya. Pemuda itu meresponnya dengan biasa-biasa saja dan berbicara seperlunya. Sikapnya kepada Aisyah sangat datar dan gadis itu dengan jelas dapat merasakannya. Namun pemuda itu terlihat baik-baik saja, berbeda sekali dengan respon Chris ketika ia menolaknya. Sean terlihat lebih dewasa dan menerima kenyataan itu dengan lapang dada. Setidaknya Aisyah tidak terlalu merasa bersalah kepadanya.

Keesokan paginya, hari ketiga orientasi telah tiba. Hari itu adalah hari terakhir orientasi diadakan. Sejak kemarin sore, para panitia sudah menyiapkan inagurasi untuk para adik-adik tingkatnya. Mereka menghias lantai bawah gedung itu dengan pernak-pernik dan balon. Terlihat pula tulisan yang sangat besar di spanduk yang bertuliskan selamat datang dan selamat menempuh pendidikan di Universitas Harvard.

Mahasiswa-mahasiswa baru itu banyak yang mengambil foto disitu dan mengaploadnya ke media sosial mereka. Aisyah juga tak ketinggalan. Ia mengeluarkan handphonenya lalu mengambil foto dengan teman-temannya sebelum berpisah dengan mereka. Kemungkinan besar ia tidak akan satu kelas dengan mereka nantinya. Maka mereka menyimpan nomor masing-masing untuk tetap melanjutkan komunikasi. Tom juga mengambil kesempatan itu. Ia meminta nomor Aisyah. Kemudian Tom memberanikan diri untuk mengajak Aisyah keluar dan berbicara empat mata dengannya. Aisyah mengiyakannya dan mengikutinya ke tengah-tengah taman didepan gedung itu. Sekiranya tidak ada yang mendengar, Tom menghentikan langkahnya dan berbalik memandang Aisyah.

Aisyah dengan tatapan yang penuh tanda tanya, ia tak memulai pembicaraan itu. Ia mendengarkan Tom dengan baik. Seperti biasanya, pemuda itu tak banyak bicara. Ia langsung menuju ke topik utama tanpa basa-basi. Ia mengungkapkan perasaannya yang selama ini dipendamnya karena ia tahu bahwa ia akan jarang sekali bertemu dengan Aisyah nantinya karena berbeda kelas dengannya.

Mendengar pengakuan Tom, seketika Aisyah terkejut. Ia sama sekali tidak menduga itu. Aisyah tak berkata apa-apa selama beberapa detik. Ia menunduk memandang rumput hijau dibawah itu. Perlahan angin sepoi-sepoi pagi lewat diantara mereka dan menghembuskan hawa segar. Itu dapat meredam warna merah pada wajah Tom. "Maaf, Tom. Aku tidak bermaksud untuk menyakitimu. Namun aku sudah memiliki kekasih."

Ekspresi Tom sama seperti Sean kemarin. Ia diam dan tak merespon apa-apa. Ia tertunduk sedih. Kemudian dengan suara samar-samar ia berkata, "Pasti sangat beruntung laki-laki itu, semoga dia memperlakukanmu dengan sebaik-baiknya lelaki di muka bumi ini." Aisyah mengucapkan terimakasih padanya lalu Tom meninggalkannya sendiri di halaman hijau yang luas itu. Aisyah merasa sedikit bersalah dan ia menghela nafas panjangnya. Ia tidak mau karma akan datang kepadanya suatu hari nanti karena perasaan sakit hati dari para laki-laki yang telah ditolaknya.

Ia menyadari bahwa keberadaannya telah menjadi fitnah bagi para laki-laki yang memandang wajahnya. Maka ia memutuskan untuk memakai cadar dan menutupi wajah cantiknya itu untuk hari-hari selanjutnya bahkan selamanya. Sesungguhnya Islam datang sebagai solusi untuk melindungi wanita dan laki-laki dari hawa nafsunya. Islam datang untuk memberi solusi kepada permasalahan manusia di muka bumi karena sang pencipta tahu betul bagaimana sifat dan tingkah laku para hamba-hambanya seperti orang tua yang mengenal sangat baik anak-anaknya.

Seusai acara inagurasi, Aisyah langsung menuju asramanya tanpa mengiyakan ajakan teman-temannya untuk berkumpul dan menikmati sinar mentari sore itu. Ia pamit pulang kepada teman-temannya dan mereka setengah hati melepas kepergian Aisyah. Gadis itu seharusnya tetap disana menikmati kebersamaan mereka yang terakhir kalinya.

Sesampainya di kamar, Aisyah membuka lemari bajunya dan mencari beberapa cadar yang dulu pernah diberi ayahnya sebagai hadiah di hari ulang tahunnya. Aisyah akan mengenakannya besok saat kuliah ataupun saat keluar dari asrama. Ia merasa lelah dan kantuk lalu ia tidur untuk sejenak. Selama tidurnya ia tidak memimpikan apa-apa. Ia terbangun ketika teman-teman sekamarnya datang membuka pintu. "Aisyah tidak ikut kumpul tadi?" tanya Caroline. Ia menggeleng lalu berkata, "Tadi aku lelah dan langsung pulang." Helena datang dan duduk di kasur Aisyah dan bertanya, "Bagaimana Sean?" Aisyah mengangkat kedua bahunya tak berkomentar apa-apa.

Sore berlalu dan malam berganti pagi. Ketika Aisyah memasang cadarnya, ketiga kawannya bertanya kenapa ia mengenakan itu. Aisyah berkata bahwa ia menginginkannya. Kemudian mereka berempat keluar kamar bersama-sama dan pergi ke fakultas masing-masing. Hanya Aisyah dan Helena yang berada dalam satu fakultas dan satu kelas yang sama. Lainnya berada di gedung lain. Para mahasiswa baru memiliki jadwal perkuliahan yang sama pada semester pertama, yaitu perkuliahan pagi. Sedangkan mahasiswa tingkat atas memiliki jadwal kuliah pada siang hari sampai malam hari.

Helena duduk bersebelahan dengan Aisyah. Tak lama kemudian dosen mata kuliah pagi itu memasuki kelas yang sudah penuh. Beliau kemudian mengabsen nama mahasiswa satu per satu dan sang pemilik nama itu mengangkat tangannya. Di universitas itu tidak ada satupun yang mendiskriminasinya karena cadar yang dikenakannya. Semua menghargainya dan mau berteman dengannya. Perkuliahan berjalan dengan mulus tanpa adanya masalah. Seperti biasanya Aisyah menjadi mahasiswa yang paling menonjol daripada yang lainnya karena kecerdasannya.

Suatu hari teman-teman kelas Aisyah berkumpul di kamarnya untuk minta diajari tentang salah satu mata kuliah. Ia memberitahu terlebih dahulu kepada teman-temannya agar jangan menyentuh barang-barang Claire karena ia mengidap OCD. Namun salah seorang diantara mereka secara tidak sengaja menyandarkan badannya ke kursi belajar milik Claire. Claire yang saat itu tengah membaca buku diatas kasurnya, seketika ia marah besar dan wajahnya memerah. Ia sangat tidak menyukai itu dan merasa risih.

Kemudian ia mengelap kursi itu berkali-kali dan memperbaiki posisi kursinya berkali-kali hingga ia merasa nyaman dan tenang walaupun jika dilihat dengan kasat mata tidak ada yang berubah. Tidak ada noda sedikitpun dan posisinya juga masih sama seperti awal. Teman-teman Aisyah yang melihatnya hanya bisa terdiam dan merasa bersalah. Claire menjadi sangat kesal dan merasa sangat risih. Ia menunjukkan ketidaknyamanannya ketika barang-barangnya disentuh. Itu adalah kali pertama Claire terlihat sangat panik dan marah seperti cacing yang kepanasan.

Aisyah pun hanya diam saja karena ia tidak tahu bagaimana caranya menenangkan sang penderita OCD. Teman Aisyah yang bernama Maggie itu meminta maaf berkali-kali kepada Claire. Gadis itu dengan mudah memaafkannya namun kepanikannya dan rasa tidak nyamannya masih belum reda. Hingga tiga menit setelah Claire berulang-kali membenarkan posisi kursinya, ia merasa sedikit tenang dan kembali ke kasurnya.

Aisyah kemudian mengajak teman-temannya untuk pindah ke kafetaria asrama di lantai bawah. Claire juga meminta maaf kepada mereka atas perilakunya yang berlebihan. Mereka dapat memaklumi itu. Di kafetaria asrama, mereka merasa sedikit lega karena tidak ada batasan disana. Mereka bisa melakukan apapun dan duduk dimanapun. Mereka bisa menyentuh apapun tanpa adanya kekhawatiran. Ditengah-tengah pembelajaran itu, handphone Aisyah tiba-tiba berdering. Senyumnya yang tanpa cadar itu mengembang ketika melihat nama kekasihnya. Ia kemudian menyuruh Emma untuk mendampingi teman-temannya sebentar mengerjakan soal-soal itu. Aisyah menyendiri di salah satu meja diujung ruangan.

Pemuda itu mengucapkan salam mendahului Aisyah. "Apa kabar, Aisyah?" tanyanya. Gadis itu sangat menyukai caranya menyebut namanya. Terdengar manis dan romantis. Terlebih lagi suaranya yang serak-serak basah. Memanglah jika cinta sudah melekat, maka apapun yang ada di pasangannya menjadi sangat indah tanpa cacat. Cara duduknya, cara makannya, ekspresi wajahnya ketika tidur, bahkan caranya berjalan akan terlihat indah dimatanya seolah-olah hanya dialah makhluk tertampan di muka bumi ini setelah Nabi Yusuf Alaihissalam.

Setelah berbincang-bincang beberapa menit, Aisyah dengan malu-malu berkata padanya bahwa ia ingin menyapa calon mertuanya itu. Shoaib tersenyum mendengarnya. Ia mengiyakan lalu berjalan ke orang tuanya yang berada didepan TV. Ia menyampaikan keinginan Aisyah kepada kedua orang tuanya dalam bahasa Turki. Mendengarnya, ibu Shoaib sangat senang sekali untuk melihat dan berbicara dengan Aisyah. Namun itu berbanding terbalik dengan ayahnya. Ia sama sekali tidak berminat padanya. Ia masih menginginkan bahwa putranya itu mencari gadis Turki saja.

Shoaib memberikan panggilan video itu kepada ibunya dan Aisyah mengucapkan salam dengan ramah. Shoaib berdiri dibelakang kursi kedua orang tuanya. Ibunya menjawab salamnya dengan senyum yang mengembang. Kemudian Aisyah menyapanya dengan mengurangi kecepatan bicaranya agar ibunya bisa mengerti. Ibunya menjawab dengan bahasa inggris ala kadarnya. Ia bisa sedikit memahami perkataan Aisyah. Selebihnya Shoaib membantu menerjemahkan percakapan mereka. Kemudian ibunya menyuruh suaminya untuk menyapa gadis Amerika itu. Ia hanya memandangnya sekilas dan mengucapkan salam dengan nada datar.

Ketika Aisyah ingin menyapa ayah Shoaib, laki-laki paruh baya itu bangkit berdiri dan berkata kepada Shoaib dalam bahasa Turki bahwa ia sibuk, ia akan membersihkan kebun. Melihat kepergian ayahnya, Aisyah merasa sedikit sedih. Namun ia mengalihkan perasaannya itu lalu lanjut bercakap-cakap dengan ibu Shoaib. Ibu Shoaib bertanya bagaimana perkuliaannya, bagaimana kehidupan barunya di asrama, dan bagaimana teman-teman barunya.

Aisyah menceritakannya satu per satu secara pelan-pelan dan kosakata yang mudah. Ibu Shoaib meresponnya dengan ramah dan lembut seperti halnya ibu ke anaknya. Kemudian Aisyah bertanya tentang kesehatan nya. Ibu Shoaib berkata bahwa selama Shoaib dirumah, ia tak pernah lelah menggendongnya kemanapun ia mau, seperti ke depan TV, ke dapur, ke ruang keluarga, dan lain sebagainya. Beliau juga menceritakan bagaimana kenakalan Shoaib sewaktu dia masih kecil. Mereka berdua tertawa, menertawai pemuda itu.

Shoaib yang mendengar itu memasang wajah yang cemberut. Terlihat jelas ekpresi wajah yang masam dari pemuda itu. Ia cemberut seperti anak kecil yang tidak dibelikan permen. Aisyah tertawa pelan melihatnya. Wajah bule Aisyah terlihat lebih cantik ketika tertawa. Melihat Aisyah yang tertawa, itu membuat Shoaib tertawa juga. Ia tak bisa menahan gejolak hangat didalam dadanya.

Sesaat kemudian ibu Shoaib berkata. Kali ini adalah topik yang serius. Itu bisa terlihat pada ekpresi wajahnya. Walaupun begitu, ekspresi wajahnya terlihat tetap sejuk dan menentramkan untuk dipandang. Tatapan keibuannya membuat Aisyah nyaman untuk berbincang-bincang dengannya lebih lama lagi sama seperti ketika ia berbicara dengan ibunya sendiri. "Aisyah, anakku, tolong kau sedikit bersabar ya disana. Shoaib disini akan bekerja sangat keras untuk menjemputmu dan menghalalkanmu."

Tiba-tiba kedua mata biru Aisyah terasa panas dan air matanya hendak menetes. Ia hanya mengangguk tak menjawab. Kemudian ibunya berkata lagi, "Sabarlah sedikit lagi, Insyaallah hari itu akan datang. Kau tahu? Ibu sangat ingin memelukmu secara langsung." Shoaib bisa merasakan apa yang tengah dirasakan oleh Aisyah. Ia tidak ingin melihat Aisyah menangis, kemudian ia meraih handphonenya lagi dan berpamitan kepada ibunya. Pemuda itu berjalan menyendiri di dapur.

Setelah dirasakannya aman, ia berkata dengan bisikan pelan. "I love you." Tiga kata itu mampu membuat gadis itu tersenyum lagi. Airmatanya enggan untuk jatuh. "Aku tidak memahami kata-kata itu, tuan. Apa maksudnya?" Shoaib tertawa lalu berkata, "Berarti Aisyah bukan orang Amerika. Masak kata-kata simpel seperti itu tidak tahu? Ayo ngaku sekarang, Aisyah orang mana?" Percakapan itu berakhir dengan hangat. Kedua merpati putih itu saling menautkan senar-senar cinta mereka.