webnovel

Rasul Kami Tidak Pernah Bohong

Pada hari-H tes seleksi, sedari bangun tidur pada pukul dua dini hari dan menunaikan sholat tahajud, ia menjadi sangat bersemangat dan tidak sabar untuk melihat soal-soal yang akan diujikan kepadanya nanti. Ia sudah menyiapkan semuanya untuk perjalanannya menuju Massachusetts. Bus yang menuju Massachusetts akan tiba di halte pada pukul delapan lewat sepuluh menit.

Ia akan pergi kesana seorang diri. Ayahnya mendoakannya dan mengecup keningnya sebelum ia berangkat kerja. Asma juga memberinya semangat sebelum ia berangkat kuliah. Aisyah memasukkan bekal makanannya dan sebotol air putih ke tasnya dan meletakkan sepatu yang akan dipakainya disebelah kursi tempatnya duduk. "Semuanya sudah siap?" tanya ibunya. Aisyah mengangguk pasti lalu tersenyum.

Aura semangatnya bisa dirasakan di seluruh ruangan itu dan memberikan energi positif bagi siapa saja yang berada disekitar Aisyah. Semalam kekasihnya juga menyemangatinya dan mendoakan keberhasilan untuknya. Beberapa menit kemudian, ia telah sampai di halte bus. Bus jurusan Massachusetts itu meluncur dengan mulus diatas aspal hitam yang halus. Di dalam bus, ia membuka lagi buku-bukunya. Matanya terpaku pada setiap tulisan itu dan otaknya kembali berputar dengan cepat mengulang kembali apa yang telah dipelajarinya.

Ia dapat mendengar dengan jelas rengekan anak kecil yang meminta mainan kepada ibunya di seberang kursi. Ia juga dapat mendengar percakapan seseorang yang duduk depannya. Cahaya mentari pagi yang hangat perlahan menembus kaca jendela bus dan berlabuh ke kulit wajahnya yang putih bersih. Cahaya kuning mentari itu bersatu dengan kornea mata birunya dan menciptakan perpaduan warna yang sangat indah. Kornea matanya itu terlihat seperti berlian biru dengan titik-titik putih yang berkelap-kelip mengelilingi pupil matanya yang berwarna hitam pekat ditengah.

Ujung jilbab biru mudanya itu melambai-lambai pelan mengikuti tiupan angin yang memasuki jendela yang terbuka diseberang kursi. Bagi orang-orang, mereka sudah terbiasa melihat orang-orang muslim seperti Aisyah. Akhir-akhir ini agama Islam perlahan namun pasti sudah menyebar di negara super power itu walaupun sangat sedikit jumlahnya. Hanya anak-anak kecil saja yang melihat Aisyah dengan tatapan takjub.

Salah satu anak kecil mendekati Aisyah dengan rasa penasarannya. Ia mendongak memandangi jilbab Aisyah yang melambai-lambai indah itu. Aisyah menyadarinya dan menoleh. Ia menutup bukunya lalu tersenyum, menyapa anak kecil itu. "Hai, selamat pagi, anak manis. Siapa namamu?" Mendengar sapaan Aisyah, anak perempuan itu seketika menunduk malu. Ibunya menghampirinya dan tersenyum kepada Aisyah. "Namanya Chloe."

"Hai, Chloe. Nama yang indah. Sekarang Chloe sudah kelas berapa?" sapa Aisyah lagi. Ibu si anak itu mengelus lembut kepalanya. "Kalau ditanya, dijawab ya. Chloe kelas berapa?" Samar-samar anak perempuan itu menjawab pertanyaan Aisyah. "Kelas dua SD" Aisyah tersenyum padanya dan mengisyaratkannya untuk duduk disebelahnya. "Sini, duduk sama kakak." Chloe berjalan mendekat dan Aisyah mengangkat tubuhnya hingga sampai ke kursi.

"Namamu siapa?" tanya ibu Chloe kepada Aisyah. Setelah Aisyah memperkenalkan dirinya, ia berkata lagi. "Aisyah mau pergi kemana?" "Massachusetts. Saya mau mengikuti tes masuk Harvard." Mendengarnya, ibu Chloe takjub dan berkata, "Harvard? Wah! Semoga semuanya lancar untukmu. Apakah hari ini tes nya?" Aisyah mengangguk lalu berkata, "Iya, jadwal tes ujiannya jam dua belas."

Si kecil Chloe memutus pembicaraan mereka dan mendongak kearah Aisyah. "Ini apa?" Ia menyentuh jilbabnya. Aisyah tersenyum lalu berkata kepadanya dengan sangat lembut. Ia berusaha menjelaskan dengan sangat baik agar Chloe dapat mengerti setiap ucapannya. "Ini namanya jilbab. Kakak menggunakannya untuk menutupi rambut kakak agar tidak terlihat oleh orang lain." "Kenapa?" tanyanya dengan rasa penasaran. Ibunya tersenyum melihat rasa penasaran putrinya itu.

"Karena tuhan kakak menyuruhnya. Kalau kakak tidak melakukannya, nanti tuhan kakak akan marah dan kakak tidak diberi hadiah." Chloe mengangguk-angguk mendengarnya. Tak lama kemudian, bus itu berhenti di halte berikutnya. "Ayo Chloe, kita sudah sampai. Aisyah, semoga sukses ya." Ibu Chloe tersenyum padanya untuk yang terakhir kalinya dan Aisyah membalasnya. Aisyah melambaikan tangannya kepada anak kecil itu diujung pintu bus.

Aisyah kembali membuka bukunya dan membacanya lagi. Bus itu melaju dan Aisyah kembali terbenam kedalam lautan ilmu. Matanya tak pernah lelah dan kepalanya tak pernah merasa terbakar. Ia sangat mencintai ilmu. Bahkan itu adalah cinta pertamanya. Tak heran jika ia selalu mendapatkan nilai sempurna di setiap mata pelajaran. Walaupun begitu, tentu saja ia merasa grogi setiap akan menghadapi ujian. Itu adalah hal yang wajar bagi setiap manusia.

Menit bergulir dan jam berganti. Bus itu tiba di halte tujuannya dan ia turun. Ia menghirup udara dalam-dalam. Ia masih tidak percaya bahwa hari ini benar-benar datang. Ia akan menapaki kakinya di kawasan Harvard yang menjadi impian semua siswa di dunia dan ia menjadi salah satu yang beruntung diantara mereka. Ia menyetop taksi yang melintas dan segera menuju ke universitas ternama itu.

Universitas itu sangat luas dengan gedung-gedung yang kokoh. Gedung-gedung itu didominasi oleh warna merah bata dan dilengkapi oleh fasilitas-fasilitas perkuliahan yang lengkap didalamnya. Pohon-pohon yang tinggi menjulang berjajar di halamannya dan membuatnya rindang. Semua hal tertata dengan rapi dan cantik. Beberapa mahasiswa terlihat mondar-mandir dan beberapa juga ada yang duduk bersantai bersama kawan-kawannya diatas rumput hijau. Inikah rasanya menjadi mahasiswa? Batin Aisyah. Udara yang dihirupnya seakan-akan berbeda dan memberikan kesan lain kepadanya. Rumput-rumput hijau itu ada yang boleh dipijak dan ada yang tidak boleh. Terlihat beberapa yang dibatasi oleh tali mengelilingi area rumput yang dilarang untuk dipijak.

Aisyah menuju gedung fakultas hukum dan masuk menuju ruang ujian. Mahasiwa-mahasiswa yang melihat Aisyah berpenampilan berbeda, mereka tidak terkejut sama sekali. Mereka sudah terbiasa dengan perbedaan dan orang-orang baru yang datang dari berbagai dunia dengan berbagai kebudayaan yang dibawanya. Perbedaan adalah hal yang sangat umum di universitas itu. Aisyah tidak merasa terintimidasi sama sekali. Cara berpikir para mahasiswa itu sudah dewasa. Semua macam warna kulit dan ras manusia bercampur baur disitu. Beberapa ada yang berkelompok dan beberapa lagi ada yang bergabung dengan orang-orang berparas tulen Amerika lainnya.

Waktu berjalan dengan cepat. Ujian tes seleksinya lancar dan namanya berada di daftar nama mahasiswa baru di kampus itu. Memanglah usaha tidak pernah mengecewakan sebuah hasil. Orang tuanya semakin bangga terhadapnya. Mereka menyiapkan hati untuk melepaskan putrinya tinggal di asrama kampus. Hari-hari terakhirnya dirumah, ia melepas buku-buku bacaannya itu dan lebih menghabiskan waktu bersama keluarga kecilnya. Aura kebahagian merebak di flat apartemen itu dan Aisyah menjadi bintang utamanya.

Kekasih Turkinya itu juga turut bahagia dan bangga terhadap Aisyah. Itu merupakan kabar yang sangat menggebirakan. Waktu itu adalah waktu menjelang ashar di Turki ketika ia menerima telpon dari Aisyah. Ia tengah berada di rumah sakit pada saat itu. Perbincangan mereka dihentikan oleh adzan yang berkumandang. Kalimat gadis itu terhenti. Ia dapat mendengar jelas suara adzan dari seberang sana. Aisyah memejamkan matanya yang terasa panas. Ia menahan air matanya untuk jatuh. Wajahnya memerah dan hawa hangat perlahan memasuki raganya.

Pemuda di seberang sana juga menghentikan pembicaraan itu sejenak, menghormati dan menjawab sebuah panggilan dari Allah. Seusai adzan, Aisyah menangis sesenggukan. Shoaib panik dan bertanya, "Aisyah, ada apa? Apa yang terjadi? Apakah semuanya baik-baik saja disana?" Gadis itu tidak langsung menjawab. Ia memberi waktu untuk mengatur nafasnya. "Pasti....." Kalimatnya terhenti sejenak. Aisyah mengatur nada suaranya yang serak itu. "Apa?" tanya Shoaib dengan kekhawatirannya. "Pasti sangat menyenangkan bisa mendengar adzan secara langsung lima kali sehari."

Mendengarnya, Shoaib merasa terenyuh dan ia tersenyum. "Aisyah....." hiburnya dengan suara lembut. "Pasti... itu sangat menyenangkan. Aku disini tidak memiliki kesempatan itu. Masjid terletak jauh sekali dari apartemenku dan aku tidak bisa mendengar adzan di lima waktu sholat. Pasti sangat menyenangkan jika berada disana." Gadis itu masih sesenggukan tak beraturan. "Mulai sekarang, kau akan selalu mendengarnya. Aku akan merekamnya dan mengirimkannya padamu."

Mendengarnya, Aisyah tersenyum dan rasa rindunya sedikit terobati. Kekasihnya berpamitan untuk menunaikan sholat dan ia menutup panggilan itu. Ibunya memasuki kamar putrinya yang tidak ditutup itu. Air matanya keluar lagi tanpa bisa dibendung. Ibunya memeluknya dan ikut menangis bersamanya. "Aku cemburu, ma. Aku cemburu. Aku iri. Aku sangat ingin mendengarkan adzan seperti dia. Aku cemburu. Aku tidak bisa mendengar nama Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam disebut di setiap adzan berkumandang. Aku sangat merindukan itu."

Ibunya tak dapat berkata apa-apa. Memang itu benar adanya. Sangat sulit hidup sebagai seorang muslim di Amerika. Ada banyak hal yang tidak bisa diobati dan tidak bisa digantikan oleh apapun itu. Walaupun Amerika adalah tujuan semua orang di dunia, walaupun disini serba maju dan tercukupi, namun ada kehausan tersendiri pada setiap muslim yang hidup di negara super power itu. Terutama pada saat bulan suci ramadhan. Di Amerika, bulan suci ramadhan tidak semeriah bulan ramadhan di negara-negara Islam lainnya seperti Arab, Mesir, Pakistan, Turki, dan lain sebagainya. Sangat banyak yang mereka lewati dan tidak bisa mereka rasakan. Jiwa-jiwa haus itu sangat merindu. Hidup bertetangga dengan para manusia yang mencintai dan dicintai oleh Allah dan nabi-Nya adalah berkah yang sangat luar biasa.

Aisyah dan ibunya menuruni tangga untuk sarapan pagi. Dilantai bawah, ayahnya sudah selesai membaca koran dan berjalan menuju meja makan. Ia sudah siap dengan jas hitamnya dan dasi berwarna putih. Asma juga sudah selesai mencuci alat masak yang baru saja digunakan oleh ibunya. Keluarga kecil itu berkumpul dan menyantap hidangan bersama. Kali ini menu makanan pagi itu adalah pancake, telur mata sapi, dan irisan daging sapi yang dipanggang. Tak lupa juga dioleskan lelehan mentega diatas pancake pada masing-masing piring. Menu sarapan khas Amerika.