webnovel

Meminta Restu

Revani adalah salah satu makanan penutup paling umum yang disajikan di rumah maupun di restoran Turki. Ini adalah makanan penutup sederhana yang dibuat dengan satu lapis kue bolu semolina kuning lembut yang direndam dalam sirup. Aisyah melihat bahan-bahan yang diletakkan diatas meja.

3 butir telur

1/2 cangkir gula

3/4 cangkir minyak sayur

1 lemon (kulit buah)

1 sendok teh vanilla

1 cangkir yogurt tanpa rasa

3 sendok makan tepung terigu

1 cangkir semolina mentah

1/4 cangkir hazelnut yang digiling halus

1/2 sendok teh soda kue

2 sendok teh baking powder

Hiasan: serpihan kelapa dan kacang tanah

Bahan untuk sirup:

3 cangkir gula

3 gelas air

1/2 lemon (dijus)

Mahira mengeluarkan oven dari lemari dan meletakkannya diatas kompor. Ia memanaskannya sampai 350 F (175 C). Atas arahan darinya, Aisyah mengolesi loyang yang berukuran 9 inci kali 13 inci itu. Kemudian Aisyah juga menambahkan bahan-bahan kering dan diaduknya merata dengan adonan sampai dirasakannya lembut. Sementara itu Mahira membuat untuk sirupnya. Ia mencampurkan gula dan air dalam panci berukuran sedang dan menyalakan api besar sampai mendidih. Ia tak henti mengaduknya agar tidak adanya gumpalan-gumpalan.

Setelah mendidih, ia mengecilkan api hingga kecil dan membiarkan sirup yang mendidih itu mendingin sekitar 10 menit. Mahira lalu menambahkan jus lemon di bagian akhir. Shoaib, walaupun ia satu-satunya laki-laki diruangan itu, ia juga turut membantu. Ia tidak mau kalah dengan kedua gadis itu. Seketika muncul ide jahilnya untuk Aisyah. Ia meraih lemon dan memotongnya sedemikian rupa hingga menyerupai jeruk dan memberikannya kepada Aisyah. Ia berkata padanya bahwa itu adalah jeruk khas Turki. Gadis itu percaya-percaya saja padanya sampai ia benar-benar memakannya.

Kedua alisnya mengkerut ketika dirasakannya rasa lemon itu. Ia memegangi rahangnya yang terkejut akibat rasa kecut dari lemon. Ekspresinya yang lucu membuat Mahira dan Shoaib tertawa bersamaan. Kemudian pemuda itu memberinya segelas susu. "Apakah ini namanya jeruk disini? Kalau di Amerika, kita menyebutnya lemon." Kata Aisyah dengan polosnya. Alisnya masih mengkerut merasakan sisa-sisa rasa kecut itu. Shoaib tertawa mendengar pertanyaannya itu. Mahira berkata, "Dia telah mengerjaimu, kak Aisyah. Disini kita juga menyebutnya lemon." Mendengar penjelasan adiknya itu, seketika Aisyah memicingkan matanya kearah Shoaib yang masih tertawa itu. Ia pura-pura kesal dan memukul pelan lengan pemuda itu.

Aisyah kemudian menuangkan adonan ke dalam loyang yang sudah diolesi minyak. Adonan itu dioven sampai bagian atasnya berwarna kecoklatan sekitar 30 sampai 40 menit. Setelah adonan matang, ia didiamkan sekitar 5 menit. Kemudian Mahira mengambil pisau dan memotong kue menjadi bujur sangkar. Dengan menggunakan sendok besar, perlahan ia menuangkan secara merata semua sirup yang sudah dingin ke atas kue dan dibiarkan meresap. Setelah itu kue ditutupi dengan kertas timah dan didinginkan lagi. Sementara itu Mahira juga menghiasinya dengan kelapa dan kacang tanah dipermukaannya.

Mereka bertiga sangat menikmati kebersamaan itu tanpa adanya kehadiran ayahnya yang akhir-akhir ini selalu marah-marah tidak jelas. Sementara ia bersama Ayesha diluar, ketiga anak muda itu bersenang-senang didapur sambil membuat kue itu. Aisyah mengulang kembali kenangannya bersama Bathany dan Lucy ketika mereka membuat chochochips. Ia merasa terharu dan waktu serasa semakin cepat berjalan. Tak terasa sekarang ia menjadi orang yang berbeda dengan busana khas Turki yang dipinjamnya dari Ayesha dan lingkungan yang berbeda. Banyak sekali yang berubah didalam hidupnya sekarang dalam hitungan yang singkat.

"Kemarin Claire menelponku dan bertanya tentang keadaanmu. Ayahmu juga menelponku. Helena, Bethany, Lucy, semuanya mengkhawatirkanmu." Kata Shoaib kepada Aisyah. Gadis itu diam sejenak. Ia merasa sedih telah kehilangan itu semua. Lalu ia mengalihkan perasaan sedihnya dan tersenyum. "Lalu apa yang anda katakan pada mereka, tuan?" Ditengah-tengah pembicaraan itu kemudian ayah pemuda itu datang memasuki dapur. Ia memasang wajah garangnya dan melipat kedua lengannya didepan dada.

"Sedang apa dia disini? Ayesha sudah pulang. Sebaiknya dia juga ikut bersamanya", kata ayahnya berbicara dalam bahasa Turki. Aisyah yang tidak tahu apa-apa, ia menoleh kearah Shoaib. Pemuda itu menunduk menunjukkan tata kramanya kepada ayahnya. Ia tidak merespon apa-apa. Kemudian ayahnya berkata lagi. Kali ini nada suaranya terdengar bahagia. "Mahira kecilku sedang membuat apa ini?" Ia melihat kue yang terletak diatas meja. Ia kemudian mendekat dan hendak meraih kue itu. Dengan alih-alih menonjolkan Aisyah, gadis itu berkata dengan bangganya, "Bukan aku yang membuatnya, ayah. Tetapi kak Aisyah."

Mendengarnya, seketika itu gerakan tangannya terhenti dan wajah garangnya terlihat lagi. "Pasti rasanya tidak enak." Ia mengatakannya dalam bahasa Inggris berniat untuk menyakiti perasaan gadis itu. Dan lagi-lagi usahanya berhasil. Aisyah diam saja tak merespon apa-apa. Wajahnya memerah. Kemudian laki-laki paruh baya itu keluar dari dapur. Aisyah bertanya kepada Shoaib dengan suara pelan nyaris seperti bisikan. "Kenapa ayahmu membenciku?" Pemuda itu berusaha untuk menenangkannya. "Dia tidak membencimu, Aisyah. Mungkin dia hanya membutuhkan waktu saja. Dia masih shock atas kedatanganmu yang tiba-tiba." Aisyah mengangguk-angguk mempercayainya.

Tak lama kemudian, ada seseorang datang kerumahnya. Beliau adalah guru les Mahira. Dengan segera gadis itu mencuci tangannya untuk menemuinya. Ia mengambil buku pelajarannya di kamarnya. Melihat kesempatan itu, setan dengan cepat menangkap umpan. Ia membisikkan kata-kata itu lagi kepada Shoaib dan hati yang sangat rapuh itu mudah sekali untuk tergelincir. Ia tidak mengenali siapa yang membisikkan kata-kata itu lalu ia menuruti hawa nafsunya begitu saja.

Ia mendekati Aisyah yang sedang membelakanginya. Gadis itu sedang mencuci peralatan masak. Walaupun pintu dapur terbuka lebar, namun kekuatan hawa nafsunya melampaui segalanya. Sungguh hebat setan itu. Shoaib mendaratkan kedua telapak tangannya ke pinggang Aisyah dengan lembut dan mendekatkan bibirnya ke telinga gadis itu. Sontak gadis itu terkejut dan berusaha mengelak. Namun tentulah Shoaib lebih kuat darinya. Ia menahan pergerakan Aisyah.

Usaha Aisyah sia-sia namun ia terus berusaha untuk melawan. Disaat ia sudah tersudutkan kemudian ia berkata dengan suara yang lantang, "Bertakwalah kepada Allah!" Mendengarnya, Shoaib terhenti dan tersadarkan. Ia diam tertegun menghayati kalimat itu. Ia kemudian melepaskan gadis itu yang sudah menangis sedari tadi. Aisyah lari keluar sambil terisak-isak. Mahira yang melihatnya segera menyusul gadis itu. Ia meminta ijin sebentar kepada guru lesnya. Sedangkan Shoaib jatuh jongkok sambil memegangi kepalanya. Ia beristighfar berkali-kali dan mengutuk perbuatannya itu.

Aisyah kembali kerumah Ayesha dengan berlari. Mahira memanggil-manggil namanya dari arah belakang. Sesampainya di dalam rumah, Ayesha terkejut dan heran melihat Aisyah yang menangis seperti itu. Apa yang telah terjadi. Mahira pun tidak tahu apa-apa. Hanya gadis itu dan kakaknyalah yang mengetahuinya. Namun Aisyah tidak membuka mulutnya dan tidak pernah menjelaskan apa yang terjadi padanya. Hari-hari selanjutnya ia hanya berdiam diri dirumah itu. Setiap kali Shoaib ingin bertemu dengannya dan meminta maaf, gadis itu selalu menolak untuk menemuinya. Ia masih trauma akan kejadian kemarin. Ia tidak pernah diperlakukan seperti itu oleh laki-laki sebelumnya.

Setiap kali ada telpon masuk dari Amerika, ia menyuruh Mahira untuk mengantarkan handphonenya ke Aisyah. Hanya suratlah yang menjadi penghubung mereka. Ia menyuruh adiknya untuk mengantarkannya ke Aisyah. Namun gadis itu tak sekalipun membuka ataupun membacanya. Ia tidak menyentuh surat itu sama sekali. Shoaib sudah kehabisan cara. Bagaimana lagi ia harus membujuk dan meminta maaf padanya. Ayesha yang tidak tahu apa-apa, walaupun ia merasa cemburu kepada pasangan itu, namun berbekal hatinya yang baik maka ia berusaha untuk menghibur Aisyah. Orang tua Ayesha juga berusaha untuk menghiburnya dan bertanya apa yang terjadi.

Pada hari kelima, Shoaib duduk disamping ayahnya. Ia ingin mengatakan sesuatu padanya. "Ayah, aku ingin menikahi Aisyah." Melihat ayahnya yang mengacuhkannya, kemudian ia melanjutkan, "Aku hampir memperkosanya, ayah." Mendengarnya seketika ayahnya menoleh dan berdiri. Wajahnya merah padam karena amarah dan langsung menghajar pemuda itu. "Apa yang kau katakan? Apakah kau sudah gila?" ia terus melayangkan pukulan demi pukulan yang keras ke putranya. Shoaib melindungi kepalanya tanpa adanya sebuah perlawanan. Ia menerima semua pukulan itu. Ketika ia meraih sapu dan hendak memukulkannya ke Shoaib, Mahira datang dan menghentikannya.

"Shollu'Alan Nabi…. Shollu'Alan Nabi…." Mahira berusaha meredam amarah ayahnya. Usahanya berhasil dan ayahnya memanjatkan sholawat kepada sang Nabi Muhammad. "Ayah, ada apa ini?" tanya Mahira dengan alis yang mengkerut. Ayahnya tidak bisa berkata apa-apa. Ia meninggalkan Shoaib dengan perasaan yang masih kesal. Diujung pintu, ayahnya berkata dengan nada tingginya. "Kau urus semuanya sendiri. Jelaskan semuanya kepada pamanmu tanpa mempermalukan ayah."

Itulah untuk yang pertama kali ayahnya memperbolehkan dirinya untuk menikahi Aisyah. Ia datang kerumah pamannya untuk membatalkan perjodohan itu. Ia berkata bahwa perjodohan itu tidak diinginkan olehnya. Memang awalnya ia sempat menyetujui perjodohan itu, namun ia berkata bahwa berjalannya waktu, hatinya pun berubah. Ia juga menyampaikan permintaan maafnya yang dalam kepada keluarga Ayesha. Sesuai pesan ayahnya, ia menimpakan semuanya kedirinya, bukan ke ayahnya. Ia sama sekali tidak menjelek-jelekkan ayahnya didepan pamannya.

Mereka sangat kecewa akan hal itu. Namun dengan lapang dada kedua orang tua Ayesha mencoba untuk menerima keputusan Shoaib. Ia meyakini takdir Allah bahwa Shoaib bukanlah untuk putri mereka. Mereka juga berusaha mengikhlaskan bahwa ternyata pemuda itu telah jatuh cinta kepada gadis Amerika itu. Singkat cerita, mereka berduapun menikah dengan bermodalkan uang hasil penjualan beberapa kambing milik ayahnya. Pernikahan itu diadakan kecil-kecilan dan sederhana.

Kabar itu dengan cepat sampai ke Amerika. Keluarga kecil Aisyah dan teman-temannya tak henti-hentinya mengucapkan selamat dan turut berbahagia. Tuan Smith juga meminta maaf kepada putrinya bahwa ia tidak berhasil mengumpulkan uang untuk menjemputnya ke Turki. Mereka juga meminta maaf tidak bisa datang karena kendala biaya. Walaupun sedikit kecewa dan sedih, namun Aisyah memahaminya. Ia tidak bisa memaksakan kondisi ekonomi kedua orang tuanya. Untuk saat ini, doa-doa merekalah yang terpenting.

Satu per satu teman-teman Aisyah datang dari Amerika. Lucy pun rela datang setelah mengajukan ijin dari perkuliahannya di Belanda. Bethany dan Aaron juga datang kesana. Tak luput teman-temannya di Universitas Harvard juga datang untuk merayakannya. Wajah-wajah asing itu memenuhi pedesaan itu. Wajah-wajah bule itu mendominasi acara tersebut karena Shoaib memang sengaja mengundang sedikit dari teman-teman Turkinya. Ia tidak mampu mengadakan pernikahan yang meriah dan mengundang banyak orang.

Mahira pun sempat tersihir beberapa kali melihat teman laki-laki Aisyah yang datang kesana. Wajah-wajah bule itu adalah pemandangan yang baru bagi Mahira. Shoaib pun dengan cepat bisa membaur dan bergaul dengan teman laki-laki Aisyah. Mereka tersenyum dan tertawa bersama. Ia juga memperkenalkan makanan khas Turki kepada mereka dan mereka sangat menyukainya. Aaron juga yang paling banyak makan di acara tersebut.

Walaupun Aisyah awalnya menolak mereka untuk datang karena alasan takut merepotkan, namun mereka memaksa datang dan malah mengajak teman-teman yang lainnya. Mereka bahkan menyumbang untuk acara tersebut karena melihat keadaan ekonomi Shoaib yang miris. Mereka tidak bisa berkomentar apa-apa saat tiba di desa itu. Yang mereka ekspektasikan selama ini adalah salah besar. Mereka sedih bahwa Aisyah akan tinggal seumur hidupnya disana, sangat berbeda sekali dengan Amerika. Claire pun yang datang bersama Helena dan Caroline, OCD nya kambuh selama di desa itu.

Namun ia dengan sekuat tenaga berusaha untuk menahannya hingga wajahnya memerah. Kondisi di desa itu membuatnya risih. Aisyah tersenyum melihat usaha Claire dan memeluknya. Mereka bertiga menertawai wajah Claire yang merah padam itu. Ia disana hanya bertahan setengah jam, lalu ia kembali ke hotel dan menunggu teman-temannya pulang dari acara tersebut.

Walaupun kondisi di Turki yang menyedihkan, teman-temannya semakin bangga kepada Aisyah karena kerendahan hatinya. Dari dulu dia sama sekali tidak memperdulikan tentang kaya ataupun miskin. Semua itu sama saja dimatanya. Seluruh tanah yang dipijaknya adalah milik Allah. Maka ia bersyukur dimanapun ia berada. Selama acara, ayah Shoaib tidak menunjukkan ekspresi bahagianya. Ia bersikap datar dan biasa saja. Ia menyalami tamu undangan yang datang dengan ekspresi yang sangat biasa saja seolah-olah itu bukanlah pernikahan anaknya.

Seusai acara, teman-teman Aisyah kembali ke hotel mereka masing-masing yang berjarak sekitar tiga puluh menit dari desa itu dengan mengendarai mobil yang telah disewa. Saat itu adalah jam sepuluh malam. Lampu diluar sudah dimatikan dan orang-orang sudah pulang kerumah mereka masing-masing. Aisyah, Shoaib, dan adiknya berkumpul di ruang tengah dan menghitung-hitung sisa uang pemberian teman-teman Aisyah setelah mereka membelanjakannya untuk melengkapi acara pernikahan itu. Sepanjang hari itu, ayah Shoaib tidak berbicara satu patah kata pun kepada dua orang itu. Ia duduk diam di depan TV tidak menoleh sekalipun.

"Maaf, Aisyah. Aku merasa bersalah kepada teman-temanmu. Tidak seharusnya mereka memberikan ini semua. Aku yang seharusnya memperlakukan tamu-tamu kita dengan baik." Kata Shoaib setelah menghitung jumlah uang-uang dolar itu. Aisyah tersenyum berusaha untuk menghibur hati pemuda itu. "Anda sudah menjamu mereka dengan sangat baik, tuan. Maka tidak heran jika mereka memberikan ini sebagai hadiah. Lihatlah, bahkan tadi Aaron tidak mau kembali ke hotel karena nyaman bersamamu. Padahal anak kecil itu dulunya sangat angkuh kepada orang asing. Namun anda dengan mudah dapat melunakkan hatinya." Usaha Aisyah berhasil dan laki-laki itu tersenyum.

Mereka berdua kemudian memutuskan untuk menyimpan uang-uang itu di rekening Shoaib. Semenit kemudian handphone nya berdering. Pemuda itu mengangkatnya lalu mengaktifkan mode pengeras suara dan meletakkannya kembali keatas meja. Ia dan Aisyah melanjutkan menata lembaran-lembaran uang itu. Sesuai mengucapkan salam, orang di seberang sana mengatakan bahwa hasil uji tes laboratorium sudah bisa diambil. Telfon itu berasal dari salah satu dokter dari rumah sakit tempatnya magang.

Beberapa minggu terakhir ini dia sangat memerlukannya untuk penulisan skripsinya. Dosennya juga menanti hasil uji tes itu untuk dikonsultasikan dengan Shoaib. Namun ketika itu ia disuruh menunggu beberapa hari untuk hasil uji tesnya dan akhirnya hari ini datang juga. Namun disisi lain malam ini adalah waktunya bersama Aisyah. Ia bimbang harus bagaimana. Didalam lubuk hatinya ia condong ke Aisyah. Ia bisa mengambil uji tes itu dilain hari.

Namun ayahnya yang juga mendengar telpon itu, ia menyuruh Shoaib untuk datang ke rumah sakit. Pemuda itu sempat menolaknya dengan sopan tetapi ayahnya tetap mendesaknya dan berkata, "Itu demi skripsimu dan ayahlah yang membayar perkuliahanmu. Kalau kau tidak segera lulus maka itu semua salahmu. Lagipula kan besok pagi kau sudah masuk kuliah dan kau bisa langsung menemui dosenmu." Setelah mendengar penjelasan suaminya tentang apa yang sedang terjadi, dengan berat hati ia menyuruh Shoaib untuk pergi mengambil uji tes itu. Ia melepasnya dengan sebuah senyuman. Shoaib pergi menaiki bis malam menuju kota.

Akhirnya niat ayahnya terwujud juga. Seharian ini ia telah memikirkan cara bagaimana agar Shoaib tidak berada di rumah malam ini. Namun takdir itu berjalan dengan sendirinya. Tiba-tiba pemuda itu menerima telpon dan ayahnya hanya tinggal memaksanya untuk pergi. Ia masih belum siap untuk mendapatkan cucu dari gadis asing itu. Ia akan memikirkan segala cara lainnya untuk menghambat mereka.

Malam itu Aisyah pergi ke kamar suaminya yang telah dihias sedemikian rupa dan tidur disana seorang diri. Gadis itu memeluk guling hingga terlelap tidur. Sedangkan sesampainya di rumah sakit, Shoaib bertemu dengan dokter Tolgahan Cayoglu di ruangannya. Ia mempersilahkannya duduk dan menyerahkan empat lembar kertas.

Disaat yang sama ada satu hati yang menangis meronta-ronta karena ia benar benar telah kehilangan sang pujaan hati. Gadis itu adalah Ayesha. Ia hari itu tidak menghadiri pernikahan Shoaib walaupun orangtuanya berusaha membesarkan hatinya dengan mengajaknya. Namun akhirnya mereka datang tanpa Ayesha. Gadis itu terus mengurung diri di dalam kamarnya. Hatinya sungguh remuk. Terlebih lagi ketika malam hari tiba. Ia tidak bisa tidur sedetikpun memikirkan mereka berdua sebagai pengantin baru. Ia memutilasi hatinya sendiri menjadi potongan-potongan kecil yang berwarna merah.

Diskusi bersama dokter Tolgahan Cayoglu itu berlangsung hingga pukul tiga dini hari. Kemudian setelah diskusi itu, Shoaib kembali ke asrama kampus menaiki bis. Disaat itulah ia menelpon nomor adiknya agar diserahkan ke istrinya. Mahira yang sudah bangun seketika pergi ke kamar Aisyah. Pengantin baru itu pun sudah bangun beberapa menit yang lalu. Lebih tepatnya dia tidak bisa tidur semalaman. Salam dari pemuda itu kini terdengar sedih, tidak seperti biasanya. Ia sedih karena harus meninggalkan istrinya di malam pertama pernikahan mereka. Walaupun Aisyah tahu alasan suaminya sedih, ia tidak ingin membahas soal itu lebih dalam. Ia tidak mau membuatnya semakin sedih dan meratapi situasi ini. Ia tidak mau membuat masalah semakin runyam. "Nanti siang sepulang dari kampus, langsung istirahat ya. Semalaman ini kan tidak tidur." Pesan Aisyah diujung pembicaraan itu.

Pemuda di seberang sini tidak menjawab apa-apa. Mereka berdua merasakan kesedihan di hati masing-masing. Kedua insan itu terpisah oleh jarak lagi. "Sabar sedikit lagi ya, Aisyah. Aku akan secepatnya pulang." Ia juga menguatkan hatinya sendiri. Namun atas takdir Allah, pemuda itu selama dua minggu penuh disibukkan oleh penulisan skripsinya. Ia hanya berkutik dengan buku-buku tebal itu dan bolak-balik menemui dosen pembimbingnya. Ia yang sudah payah ditambah lagi istri tercintanya yang tidak ada disampingnya itu malah membuatnya semakin depresi.

"Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Q.S. Al-Baqarah: 30)

Selama dua minggu itu juga Aisyah di desa mengalami hal yang sama. Ia depresi atas perlakuan ayah mertuanya. Bentakan dan cacian kerap didengarnya walaupun ia belum memahami bahasa Turki. Mahira kerap kali menenangkan tangisan Aisyah dan menenangkan amarah ayahnya. Hal yang sangat wajar jika gadis itu memerlukan sedikit waktu untuk menguasai bagaimana caranya memasak masakan Turki yang benar, bagaimana rasa masakan yang disukai oleh ayahnya, manis ataukah asin, bagaimana caranya membuat dan menyajikan teh. Ia benar-benar digembleng dirumah itu. Walaupun Mahira sudah membimbingnya dengan benar dan rasa masakannya pun tidak jauh berbeda, tetap saja ayahnya mencari-cari kesalahan untuk memarahinya. Tak jarang ia membanting piring itu dan mengatakan bahwa itu adalah sampah, bukanlah makanan yang layak.

Ia memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri dengan semuanya. Namun apapun yang terjadi, Aisyah selalu menurut dan mau membuatnya lagi dari awal. Ia juga tidak pernah menceritakan hal itu kepada sang suami. Ia memendamnya dalam-dalam dan tidak mau membuat suaminya khawatir. Ia juga memohon kepada Mahira agar merahasiakannya dari Shoaib. Adik iparnya juga sedih melihat perlakuan ayahnya kepadanya.