webnovel

Halo Kapten, Angkat Telfonku!

Setelah saling mengucapkan salam, kedua sejoli itu menutup panggilan video lalu Aisyah kembali ke meja teman-temannya. Setibanya di meja, Charlotte mengisyaratkannya untuk melihat sebuah kalimat yang ditunjuknya di buku. " UNTOC itu apa?" Aisyah membaca kalimat yang ditunjuk Charlotte. ".....resolusi majelis umum PBB mengadopsi UNTOC dan protokolnya." Ia kemudian menjelaskan kepada kawan-kawannya. "UNTOC adalah singkatan dari United Nations Convention against Transnational Organized Crime, juga sering kali disebut sebagai Palermo Convention. UNTOC adalah perjanjian multilateral yang disponsori Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2000 melawan kejahatan transnasional terorganisir."

Kawan-kawannya berusaha mengingat kembali penjelasan yang pernah dijelaskan oleh dosen di kelas beberapa hari yang lalu. Mereka mengangguk-angguk mengerti. Kemudian Aisyah melanjutkan, "Konvensi tersebut diadopsi oleh resolusi Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 15 November 2000. India bergabung pada 12 Desember 2002. Konvensi tersebut mulai berlaku pada tanggal 29 September 2003. Menurut Leoluca Orlando, Walikota Palermo, konvensi tersebut adalah konvensi internasional pertama yang memerangi kejahatan transnasional terorganisir, perdagangan manusia, dan terorisme." Sambil mendengarkan penjelasan Aisyah, beberapa diantaranya mencatat poin-poin itu.

"Pada tahun 2014, UNTOC kemudian memperkuat kebijakannya terkait penyelundupan satwa liar. Botswana menandatangani Undang-Undang Anti-Perdagangan Manusia tahun 2014 untuk mematuhi UNTOC tentang protokol penyelundupan manusia." Charlotte melongo mendengarkan penjelasan Aisyah yang detail itu, ia takjub olehnya. "Bagaimana kau bisa mengingatnya?" Aisyah tersenyum lalu berkata, "Karena aku mencintai ilmu hukum. Kalau sudah cinta maka akan sangat mudah menghafal dan memahami setiap materinya."

"Pantas saja aku selalu merasa kesulitan, sebenarnya aku ingin mengambil jurusan ekonomi tetapi orang tuaku menginginkanku untuk masuk ke fakultas hukum", kata Gretta. Kemudian, Liu Ziyi, mahasiswa yang berasal dari Cina menyelanya dan bertanya, "Apa saja protokol-protokol UNTOC?" "UNTOC memiliki tiga protokol, yaitu: pertama, protokol untuk mencegah, menekan dan menghukum perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak. Kedua, protokol melawan penyelundupan migran melalui darat, laut dan udara. Ketiga, protokol melawan manufaktur dan perdagangan senjata api ilegal.

Instrumen-instrumen ini mengandung unsur-unsur hukum internasional tentang perdagangan manusia, perdagangan senjata dan pencucian uang. United Nations Office on Drugs and Crime bertindak sebagai penjaga UNTOC dan protokolnya. Walaupun UNTOC adalah instrumen hukum internasional utama untuk memerangi kejahatan terorganisir, tetapi efisiensinya bergantung pada kemampuan masing-masing negara anggota untuk mengimplementasikan kerangka kerja organisasi. Sebagai contoh, UNTOC mensyaratkan hukuman minimal empat tahun penjara untuk tindak pidana transnasional terorganisir."

Mereka menstabilo kata UNTOC pada buku cetak mereka masing-masing dan menuliskan penjelasan ditepian lembaran itu. Ada pula yang menuliskannya secara detail di buku tulis mereka. Mereka tak segan bertanya kepada Aisyah untuk mengulangi beberapa poin-poin itu lalu mencatatnya. Aisyah tak hanya seperti seorang profesor saja tetapi sekaligus bagaikan prosesor pada komputer. Otaknya menyimpan banyak informasi bagaikan unit pemrosesan pusat pada komputer dan menjalankan instruksi yang membentuk program komputer.

Penjelasan yang keluar dari mulutnya juga sangat lancar seperti halnya air yang mengalir dan seperti telah disengaja untuk dihafal selama berminggu-minggu lamanya. Ia mungkin kedepannya akan dipilih sebagai asisten dosen yang akan membantu dosen untuk menjelaskan ulang materi perkuliahan kepada teman-temannya di kelas. Asisten dosen juga bertugas untuk menggantikan dosen kalau beliau sedang berhalangan untuk datang ke kampus dikarenakan oleh seminar ataupun tugas ke luar kota.

Malamnya, Aisyah berbincang-bincang santai dengan Helena. Mereka duduk bersebrangan di ruang tengah itu di kamar mereka. Karpet halus itu dapat menghangatkan kaki mereka yang terasa sedikit dingin. Butiran salju pertama telah turun secara beruntun di awal bulan Desember seperti halnya seorang kekasih yang tak sabar untuk bertemu dengan kekasihnya. Kaca-kaca jendela mulai berembun karenanya dan membuat lapisan putih menempel pada bagian luar kaca. Claire berdiam diri di kamar dan menempelkan pipi kirinya dan telapak tangan kanannya pada kaca jendela. Ia sedang menikmati aliran dingin yang menyusuri setiap inci kulitnya. Dengan itu hatinya dirasakannya sangat tenang dan damai.

Sejak malam itu, Aisyah tidak bisa menghubungi kekasihnya. Ia tidak pernah terlihat online dan nomornya pun tidak aktif. Pemuda itu mematikan handphonenya. Entah apa yang terjadi, namun gadis itu berusaha sekuat tenaga untuk berpikiran positif. Ia terus memupuk kesabarannya hari demi hari. Namun disisi lain, kekhawatirannya juga semakin memuncak. Terkadang perasaan itu bercampur dan bertarung. Kadang kesabarannya yang menang namun tak jarang pula rasa pesimisnya yang memenangkan pertarungan. Terkadang saat ia merasa patah hati yang terlalu parah, ia hanya berdiam diri sepanjang hari. Ia tidak berbicara kepada siapapun dan hanya merespon sekedarnya saja. Bayang-bayang Shoaib selalu terngiang di benaknya.

Ia menghilang entah kemana. Rasa rindu masih membludak dan merajai hati yang hina ini. Hati yang tak dapat berpaling dari sosok indahmu. Hati yang selalu memujamu, setiap detik, setiap jam, setiap hembusan nafas. Hati yang hanya memilih dirimu di antara jutaan anak adam. Hati kecil yang terpenjara. Bahasa menghinakan diri selalu terucap khusyuk. Bunyi alarm pada jam tiga pagi menghentikan gerakan bolpoin pada lembaran kertas putih ini. Kusegera bangkit dari kursiku. "Merindukan dia lagi?" Claire masih berada dibawah selimutnya yang hangat. Aku menunduk dan sebutir air mata jatuh mengalir di pipiku. Kemudian tangisku pecah tak terkendali. Aku jatuh duduk meringkuk dan memeluk kedua lututku.

Claire segera bangkit dari kasurnya dan memelukku dari belakang. "Its ok. Everything will be alright..... Its ok. Everything will be alright." Beberapa jam kemudian, matahari telah mencuat keluar dari persemayamannya. Menunjukkan kegagahan sinar kuningnya diantara mega-mega. Zargeya (sayang), taukah kau? Hati ini selalu merindu. Seperti mentari yang merindu bumi dan selalu kembali setelah menghilang di waktu senja. Memberi jeda diantara banyaknya rintangan angin malam. Memohon restu semesta untuk kita dan mengukuhkan hati yang meragu.

Namun tak apa. Aku baik-baik saja disini. Aku masih bisa bertahan. Namun jangan sekali-sekali bertanya bagaimana keadaan hatiku. Ia telah hancur lebur tak berbentuk. Dimana semua kata-kata manismu? Apakah mereka bersembunyi dibalik bukit? Apakah mereka terhempas ke lautan? Jawabannya hanya Allah yang tahu. Untuk sekian lama kau telah mendiami setiap sudut mimpiku. Mungkin kau takkan keluar dari sana. Sekeras-kerasnya aku berusaha, kau masih setia bersemayam di alam bawah sadarku. Aku akan tetap setia menunggumu. Sampai kapan? Mungkin sampai lelah hati ini dan menyerah dengan sendirinya.

Catatan diary pertama, 27 Desember

Apa kabarmu pemuda yang selalu hadir didalam mimpi? Apakah harimu menyenangkan? Sudah sekian lama kita tak saling mengirimkan rindu. Seperti biasa, disini sangat dingin jika musim dingin tiba. Saat itulah aku sibuk mencari mantel tebalku yang kusimpan di lemari. Aku tak tau apa yang sebenarnya terjadi padamu. Namun aku selalu tak pernah lupa untuk memanjatkan doa-doa untukmu. Mungkin suatu hari jika kau membaca buku ini, kau akan mengerti betapa dalamnya rinduku padamu yang tak mungkin kutuangkan semuanya kedalam halaman-halaman yang semu ini.

Disinilah telah terukir beberapa rindu dan cintaku untukmu yang tertatih-tatih, maaf jika terasa sedikit pahit, karena aku telah kehilangan sebagian peranmu disana. Mungkin kau hanya perlu menuangkan sedikit gula, itupun jika semesta mengijinkannya. Kau tau? Hanya dengan cara inilah rasa rinduku bisa sedikit terobati. Menuliskan semua rasa pilu dan rinduku. Aku menutup buku diary ini ketika namaku dipanggil untuk bersiap-siap. Giliranku akan segera tiba. Fashion week telah dimulai setengah jam yang lalu dan setiap peserta pasti merasa gugup. Gedung tempat penyelenggaraan telah dihias sedemikian rupa beserta dengan catwalk berkarpet merah ditengah-tengahnya. Lampu sorot itu hanya fokus pada area catwalk dan mengikuti sang model berjalan.

Teman-teman asramaku merapikan bajuku sekali lagi dan aku sekilas melihat bayanganku di cermin besar itu. Aku telah bertransformasi menjadi putri Arab dengan pernak-pernik kebangsawanannya. Aku keluar dari ruang rias dan berjalan menuju belakang panggung. Teman-teman asramaku silih-berganti menyemangatiku beserta kandidat lain dari asramaku. Ketiga teman sekamarku juga selalu berusaha untuk membuatku ceria. Tak lama kemudian, dua orang kandidat dari asramaku telah keluar menuju catwalk. Selanjutnya adalah giliranku. Para kontestan menampilkan yang terbaik. Mereka tampil dengan sangat cantik dan tampan. Baju-baju yang mereka kenakan juga sangat indah dan menarik.

Aku tampil dengan nuansa busana Arab dengan tambahan pernak-pernik pada kainnya. Gaun berwarna peach yang kukenakan terlihat ramping dan menjuntai panjang kebawah. Aku dan teman-temanku merancang gaun itu ulang sehingga fokus para penonton hanya tertuju pada rok dan selendang yang kukenakan. Selendang yang berwarna senada dan memiliki corak yang lebih menonjol dibandingkan gaunku itu kukenakan untuk menutupi bahu dan lekuk pinggangku. Sedangkan wajahku tertutupi oleh cadar yang menjuntai sampai ke dadaku.

Pakaianku sangat berbeda dengan kontestan lainnya dan itu menarik perhatian mereka. Itu adalah pemandangan baru untuk yang pertama kalinya bagi mereka semua. Dengan kehadiranku maka secara tidak langsung suasana Arab juga ikut terbawa dan menghipnotis semua mata tanpa perlu aku menunjukkan wajah dan bentuk tubuhku. Mereka semua melongo tak berkedip melihatku berjalan. Ada yang menjatuhkan kuenya ketika melihatku melintas.

Ketika aku turun dari catwalk, teman-temanku yang tadi mengamatiku melewati monitor yang telah disediakan di belakang panggung, mereka memelukku dan tersenyum dengan ekspresi takjub. Mereka semua terpana atas penampilanku. Beberapa menyubit pipiku karena gemas. Sepertinya butuh sepersekian detik untuk penonton tersadar dari lamunannya. Beberapa saat kemudian, terdengar gemuruh tepuk tangan yang sangat hebat dari luar. Mereka semua menyukai penampilan dan busanaku. Kudengar mereka mengelu-elukan namaku.

Singkat cerita diakhir acara akhirnya aku terpilih menjadi pemenang oleh para juri. Aku sungguh tidak menyangkanya. Padahal peserta lainnya tampil dengan sangat memukau. Mereka membuatku pesimis dan menjatuhkan mentalku ketika aku menyaksikan penampilan mereka dari balik monitor. Semua teman-teman asramaku bersorak-sorai melihatku sebagai juara pertama. Itu artinya kita semua akan mendapatkan hadiah liburan ke Inggris pada tanggal 20 Februari mendatang. Kebahagiaan melimpah ruah di asramaku, Pennypacker. Kita semua begadang merayakan kemenangan itu. Semua macam makanan dan minuman ada diatas meja-meja kafetaria yang digabung menjadi satu.

Diantara gelora kebahagiaan itu, tetap saja aku merasakan hampa dan kosong. Itu karena dirinya. Sosoknya menghilang bagai debu yang tertiup angin. Semenjak kepergiannya, hidupku bagaikan zombi yang tak bernyawa. Aku terlalu banyak melamun dan waktu terasa berjalan semakin lambat. Aku melewatkan banyak sekali momen setelah kepergian pemuda Turki itu seperti ketika ulang tahun Caroline dirayakan. Setiap detik yang kurasakan bagaikan zombi.

Senyumku dan tawaku ketika menyambut keluarga Carolone kurasakan hambar. Aku bahkan lupa apa saja yang telah aku bicarakan dengan kembaran Caroline. Padahal hari itu adalah hari yang paling menyenangkan. Kami membuka kado Caroline bersama-sama. Mungkin mereka mengira aku sudah membaik dan melupakan pemuda itu. Tetapi nyatanya tidak. Aku hanya berpura-pura dengan senyuman dan tawaku. Hidup ini serasa tak berguna. Aku hanya menghitung detak jarum jam dan menghitung hari-hari yang berlalu. Inikah rasanya penantian? Inikah rasanya rindu? Inikah rasanya patah hati?

Catatan diary kedua, 17 Januari

"Kekasihku, ini aku. Semoga kau tidak bosan dengan tulisanku yang berulang kali menyebut-nyebut namamu. Telah berkali-kali aku menikam rindu dan memutilasi cintaku, tapi masih saja kau hidup dan bernafas didalamnya seiring detak jantung ini berdetak. Harus kuapakan lagi agar cinta tak lagi bernyawa? Apakah dengan mengakhiri hidup dapat menyelesaikan semuanya? Tentu saja tidak. Hidup yang diberikan Allah padaku tidak semurah itu. Aku takkan mati hanya karena kehilangan sosok dirimu walaupun kau telah menghancur leburkan hatiku bagai debu dengan kepergianmu.

Entahlah….. aku bahkan ragu kau masih milikku ataukah sudah lepas dari genggamanku. Kau adalah sosok indah, sempurna, tetapi paling ahli menguliti setiap lapisan hatiku. Kehilangan kabarmu saja aku sudah sesakit ini. Untungnya hatiku masih belum termutilasi seutuhnya olehmu. Aku masih bisa bertahan disini dan satu hari lagi aku akan berusaha untuk bertahan. Entah kemana lagi akan kuadukan rindu yang berkecambuk ini. Habislah sudah cinta ini untuk dunia. Hingga sampai detik ini, kau dengan tak tau dirinya masih menyusup masuk kedalam alam mimpiku tanpa permisi. Namun kau menghilang ketika aku terbangun dari tidur.

Handphoneku masih saja sunyi dari pesan-pesanmu. Setiap ia berbunyi, yang kuharapkan pertama kali adalah dirimu. Namun aku selalu saja salah. Pesan-pesanmu tak pernah menghampiriku. Itu hanyalah ilusi semata. Tuan Turki, aku sangat merindukanmu. Kemanakah kau? Apakah kau baik-baik saja disana? Apakah kau makan dengan makanan yang sehat? Apakah kau tidur dengan teratur? Bagaimana kuliahmu? Apakah semua baik-baik saja? Semua pertanyaan inilah yang sangat ingin kusampaikan padamu. Namun semesta masih belum merestui. Aku hanya memohon kepada Allah agar Ia memberitahu apa yang sedang sebenarnya terjadi. Mengapa kau menghilang dan menelantarkan hati yang sedang mencinta ini. Apakah maksud dari semua ini?

Aisyah menutup buku diary nya dan menyimpannya di laci meja belajarnya. Ia kemudian bangkit berdiri dan berjalan ke dapur untuk memasak. Ekspresi wajahnya sering terlihat lesu beberapa minggu terakhir sejak kekosongan peran Shoaib di kehidupannya. Ruhnya seperti melayang-layang tidak berada didalam raganya. Tak jarang ia melamun dan memandang jauh kedepan. Bahkan ketika ibunya menelponnya, ia tidak menceritakan tentang kepergian pemuda itu. Ia mengatakan bahwa semua baik-baik saja dan hubungannya berjalan dengan baik. Ia tidak ingin membuat keluarganya khawatir. Tak jarang ia juga mengarang-ngarang cerita tentang pemuda itu. Ketiga kawan kamarnya merasa miris. Kasihan sekali gadis itu.

Senyuman di wajahnya terlihat sangat palsu sekali. Senyuman itu bahkan terlihat menyedihkan seperti seseorang yang berusaha tersenyum di pemakaman suaminya. Terkadang air mata mengalir diantara senyuman itu. Ia dengan cepat menghapusnya dan lanjut mengarang cerita kepada ibunya di telfon. Lawan bicaranya sama sekali tidak tahu apa yang terjadi dengan putrinya disini. Ia mempercayai semua perkataan Aisyah.

Ketika Aisyah menghidupkan kompor, Claire menyadarkannya dari lamunan. Ia berkata dengan lembut, "Biar aku saja yang memasak untuk sarapan. Minggu-minggu ini Aisyah tidak usah mengerjakan tugas piket terlebih dahulu. Biar aku saja yang melakukannya. Aisyah lebih baik baca-baca buku saja. Siapa tahu Aisyah bisa merasa sedikit terhibur. Kebetulan sekali aku punya komik komedi yang lucu sekali." Aisyah tersenyum lembut lalu memeluknya, "Terimakasih, Claire." Teman sekamarnya itupun membalas pelukan itu dan mengelus rambutnya.

Sarapan pagi itu dan pagi-pagi sebelumnya terasa sedikit berbeda karena Aisyah yang lebih banyak diam. Hanya tiga gadis itu yang mendominasi meja makan. Beberapa kali mereka melayangkan topik pembicaraan kepada Aisyah, gadis itu hanya meresponnya secara singkat. Mereka rindu senyum dan tawa Aisyah. Mereka rindu keceriaan gadis muslim itu. Pagi itu juga Aisyah lebih banyak diamnya dan hanya mendengarkan kawan-kawannya berbicara. Ia sangat menantikan belas kasih dari tuhannya.

Namun seketika sendok yang dipegangnya terlepas dan terjatuh menghantam piring. Matanya tercekat pada layar handphone yang berada di tangan kirinya. Ia terkejut dan jantungnya berpacu lebih cepat. Kedua tangannya bergemetaran setelah membaca berita itu. Ketiga kawannya khawatir lalu meraih handphone Aisyah dan melihat apa yang tengah dibacanya.

Turki, 3 Desember

"Sedikitnya 39 orang tewas dan 69 lainnya luka-luka ketika seorang pria bersenjata menyerbu tempat orang-orang berkumpul. Pria bersenjata itu melepaskan tembakan sebelum melarikan diri. Sejumlah warga lokal dan orang asing, termasuk di antara yang tewas. Daesh kemudian mengaku bertanggung jawab atas serangan itu."