webnovel

Dia adalah Gadis Amerika

Pintu kayu yang rapuh itu dibuka dengan perlahan khawatir akan mengagetkan kedua orang tuanya yang sedang menonton tv tua itu. Namun mereka selalu menyadari kedatangan putranya. Seakan-akan nalurinya bekerja dengan baik dan selalu memberitahunya. Mereka berdua menoleh bersamaan ketika pemuda itu masuk. Listrik mati lagi malam itu. Lilin-lilin sudah dinyalakan dan diletakkan disudut-sudut ruangan. Salah satunya diletakkan diatas meja. Shoaib meletakkan jas putihnya dan tasnya lalu duduk di sebelah orang tuanya. Wajahnya berubah serius dan gugup. "Ada apa, nak? Apakah ada masalah selama di rumah sakit?" tanya ibunya dengan nada lembut. Pemuda itu tak berani mengangkat pandangannya. Ia berkata sambil menunduk menatap lantai rumahnya. "Ayah, ibu, aku menyukai seseorang." Hening sesaat diantara mereka. "Siapa gadis itu, nak?" tanya ibunya. Sejenak putranya ragu untuk melanjutkan. Namun ia harus mengatakannya cepat atau lambat. "Dia adalah gadis muslim asal Amerika. Dia sangat cantik, ramah, dan sangat memahami akan agamanya. Kita sudah berbicara beberapa kali dan semakin lama muncul perasaan yang...." Kalimatnya diputus oleh ayahnya. "Siapa….? Dari Amerika? Apakah kau yakin dia bisa mengimbangi adat dan tradisi kita? Apakah dia bisa hidup disini seperti apa yang kita jalani saat ini? Terlebih lagi kita tidak bisa membiayai pernikahanmu itu. Terlalu jauh. Carilah wanita di dekat-dekat sini saja", kata ayahnya dengan nada yang menekan. Shoaib mengangkat pandangannya dan menatap langsung kearah ayahnya. "Aku akan berusaha, ayah. Aku akan mencari uang yang banyak. Dia pasti bisa hidup seperti kita. Aku akan bekerja keras sampai aku berhasil mendapatkan uang yang banyak." Mendengar jawaban putranya yang tegas itu ibunya tersenyum lembut lalu berkata, "Baguslah kalau begitu. Ibu selalu mengharapkan yang terbaik untukmu. Siapapun dia, darimanapun dia berasal, jika dia memanglah yang terbaik, bawalah kemari. Kenalkan pada ayah dan ibu. Bimbinglah dia untuk menyesuaikan diri."

"Aisyah, bagaimana laki-laki Turki itu? Apakah kau berbicara dengannya?" tanya Lucy dengan ekspresi penasaran. Aisyah tersenyum lalu mengangguk malu. Wajahnya memerah seketika. Kedua kawannya menjadi sangat antusias untuk mendengarnya lebih tentangnya. Aisyah menceritakan semua tentangnya pada kedua sahabatnya kecuali tentang pedesaan dan ternak kambing miliknya. Semakin lama ia membahas pemuda itu, wajahnya semakin memerah. Diujung ceritanya ia memperbolehkan kedua sahabatnya untuk membaca chat percakapannya itu. "Caranya berbicara manis sekali, Aisyah" kata Beth. "Sepertinya dia laki-laki yang baik", kata Lucy dengan antusias. "Iya, sepertinya." Aisyah bangkit berdiri. Tak lama kemudian, terdengar suara pintu dibuka. Mendengarnya, Lucy dan Bethany segera menuju lantai bawah untuk membantu ibu Aisyah membawakan belanjaannya.

"Haduh, pasti tante sangat kelelahan ya? Sini biar kami bantu", kata Beth saat meraih salah satu kantong plastik belanjaan. "Tidak kok. Tante sudah terbiasa melakukan semuanya sendirian", kata ibunya sambil tersenyum. Lucy meraih kantong plastik belanjaan yang satunya. "Tante membeli bubuk coklat ya?" "Iya, untuk disimpan, mungkin suatu hari nanti dibutuhkan saat akan membuat kue." Jawab ibunya. "Wah kebetulan sekali. Bagaimana kalau kita membuat kue chochochip? Sekalian untuk merayakan kelulusan kita. Bagaimana menurutmu, Aisyah?" tanya Beth dengan semangatnya. Lucy mengacungkan ibu jarinya tanda bahwa itu adalah ide yang bagus. Aisyah tersenyum sambil mengangguk.

Ketiga gadis muda itu segera menuju ke dapur dan mempersiapkan bahan-bahan yang ada. Lucy menimbang dan mengayak tepung, cocoa, dan baking powder lalu disisihkannya. Sedangkan Aisyah menyiapkan wadah-wadah dan mixer. Kemudian ia memasukkan margarin dan gula kemudian diaduk hingga tercampur dan berwarna pucat. Kemudian ia menambahkan telur dan mengaduknya lagi menggunakan mixer selama satu menit. Beth menambahkan tepung, cocoa dan baking powder yg sudah diayak tadi kedalam wadah yang dipegang oleh Aisyah lalu Aisyah mengaduknya rata menggunakan spatula. Setelah tercampur semuanya, Lucy dan Aisyah mengambil peran untuk membentuk pipih adonan itu diatas loyang alumunium. Sementara itu, Bethany mencuci peralatan dan wadah-wadah itu dan menyimpannya kembali ke lemari kaca. Setelah selesai, ia menyiapkan oven dan menghidupkan api dalam skala kecil. Setelah lima belas menit dipanaskan, oven telah siap untuk digunakan. Kemudian ia memasukkan loyang alumunium itu satu per satu. Sambil menunggu chochochip itu matang, mereka memipihkan adonan yang ada di wadah ke atas loyang lagi. Begitu seterusnya hingga semua adonan mentah habis. "Bagaimana, girls? Apa tidak ada yang hangus?" ibu Aisyah datang memasuki dapur yang tampak sibuk itu. "Tante jangan meremehkan keahlian kami. Coba dulu tante", Beth mempersilahkannya untuk mencicipi chocochip yang baru matang. Ibu Aisyah merasa takjub dan berkata, "Putri-putri mama hebat juga ternyata ya. Oh ya, ada jus jeruk di kulkas jika kalian mau. Tante jamin pasti enak. Itu salah satu favorit tante." "Oke tante." Lucy dan Beth mengacungkan ibu jarinya.

"Asma jam berapa pulangnya, tante?" tanya Lucy. Ibunya menengok kearah jam dinding. "Sebentar lagi juga sampai." Kemudian ibunya berkata lagi, "Nanti sering-seringlah mengunjungi kami ya setiap libur semester kalau Lucy kuliah di Belanda. Kami pasti sangat merindukan Lucy." Ia tersenyum sambil mengangguk, "Pasti, tante. Lucy juga akan membawakan oleh-oleh khas Belanda khusus untuk tante." "Tidak usah repot-repot. Lucy datang saja sudah membuat tante senang."

Tak lama kemudian, pintu terbuka dan Asma mengucapkan salam. Hidungnya langsung menangkap aroma manis dari chocochip yang sudah matang itu. Ia langsung menoleh kearah dapur. Dilihatnya adiknya bersama kedua sahabatnya itu. Ia segera meletakkan tasnya dan menuju dapur. "Ada pesta apa ini?" tanya Asma sambil mengambil satu chochochip dari dalam toples. "Hanya pesta kecil-kecilan", ucap Beth sambil merangkul bahu Asma. "Biasanya kalau ada Lucy pasti tidak ada kue-kue coklat. Tetapi apa yang terjadi sekarang? Kau berubah pikiran?" tanya Asma dengan nada bercanda. Lucy tertawa dan berkata, "Sekali-kali tidak apa-apa mengkonsumsi coklat. Aku juga butuh yang manis-manis." Asma teringat akan sesuatu lalu berkata pada Lucy, "Kau jadi kuliah di Belanda?" Lucy mengangguk lalu berkata, "Iya, ayah sudah mempersiapkan semuanya. Ia juga sudah membayar untuk semester pertama dan sudah menghubungi salah satu koleganya disana. Ia akan mencarikanku Villa. Sebenarnya ada beberapa villa yang sempat aku lihat lima bulan yang lalu saat aku dan keluargaku liburan kesana, tetapi villa-villa itu tidak sesuai dengan kriteria ayah." Asma mengangguk-angguk mendengarnya. "Tolong hubungi aku ya kalau ada beasiswa disana. Aku akan mendaftar untuk gelar S2 ku dan mungkin untuk sementara waktu aku akan menumpang di villa mu." "Apakah kau sudah bilang pada tunanganmu?" tanya Bethany. "Dia pasti mengijinkanku. Aku akan bilang padanya." "Kalau dia tidak setuju?" tanya Lucy dengan tatapan nakalnya. "Kalau tidak setuju ya aku tidak akan kesana." Asma mengoleskan sisa tepung diatas meja kepipi Lucy. "Aku masih tidak bisa membayangkan jika kau tinggal di Belanda seorang diri nantinya. Ingatkan ketika dulu kita berempat liburan ke Itali dan kau sangat ceroboh. Aku masih harus mengantarmu kembali ke rumah untuk mengambil passport dan lain sebagainya yang tertinggal sehingga hampir saja kita semua ketinggalan pesawat. Apa jadinya jika nanti kau hidup sendirian disana", ucap Bethany. Lucy tertawa cekikikan mengingat kejadian itu. Dialah satu-satunya sang pembuat masalah dan selalu membuat semuanya panik. "Kalau tidak ada aku kan tidak seru. Kapan lagi panik ketinggalan pesawat? Itu sangat langka." Bethany memicingkan matanya mendengar itu. Lucy berkata lagi, "Oh ya, aku belum mengucapkan terimakasih atas liburan gratis itu. Kau sangat baik hati telah membiayai kami berempat ke Italy. Aku masih bisa merasakan aura bahagia itu." Lucy memeluk Bethany dengan kencang. "Cukup, cukup. Terimakasihnya nanti saja saat kau mengajak aku melihat-lihat Belanda."

Mereka berempat menuju ruang TV dan menyantap kue itu bersama-sama. "Sebentar lagi temanku mau kesini. Tidak masalah kan?" tanya Asma kepada teman-teman adiknya itu. "Tentu tidak apa-apa. Temanmu adalah teman kami juga, Asma", ucap Bethany. Diam sesaat diantara mereka. Keempat gadis itu menikmati jus jeruk dan chocochip yang manis diiringi dengan lantunan lembut suara Al-Qur'an yang diputar mengisi seisi rumah itu. Dirasakannya damai dan menentramkan jiwa yang haus akan bau surga. Dunia sudah sangat melelahkan. Ada waktunya ketika manusia sangat merindukan surganya Allah dan duduk bersantai di permadani mewah tanpa melakukan dan memikirkan apa-apa lagi.