webnovel

Bicaralah, Wahai Aisyah

Suara Caroline dan Helena terlalu bising. Aisyah tidak bisa mendengar jelas suara kekasihnya itu. Kemudian ia berlari ke kamarnya dan mengunci diri didalam. Shoaib tertawa mendengar perkataan teman-teman Aisyah. "Jadi, bagaimana asrama barunya? Apakah Aisyah senang disana?" tanya Shoaib. "Iya, senang sekali. Disini lebih dari yang kubayangkan. Semuanya ada dan lengkap. Bahkan disini juga dilengkapi mesin cuci seperti dirumah. Tadi, aku, Caroline, dan Helena menggeser meja-meja belajar kita sesuai dengan apa yang kita inginkan.

Meja belajarku tepat disebelah meja Helena, bahkan menempel dengannya. Itu sangat menyenangkan. Aku tidak pernah berbagi tempat tinggal sebelumnya. Bahkan nanti malam kita akan tidur bersama dan menceritakan banyak hal. Tadi kita juga makan masakan ibu Helena. Rasanya sangat enak dan merasa seperti dirumah, bukan di asrama." Aisyah berhenti sejenak. Selama Aisyah berbicara, tak sekalipun Shoaib menyelanya. Ia mendengarkan dengan seksama dan tersenyum.

Didengarnya Aisyah yang berhenti berbicara, kemudian pemuda itu berkata, "Bicaralah, Aisyah. Apa lagi?" Mendengar kata-kata itu lagi, seketika ia bergeming dan teringat akan sesuatu hal. "Bicaralah, Aisyah." Itu yang sering kali nabi katakan ketika ia merasa jenuh dan lelah. Gadis itu tersenyum lalu berkata lagi, "Taukah anda? Tadi aku dan Helena memindahkan kasurku ke kamarnya. Kita mengangkatnya hanya berdua dan kasurnya tidak terlalu berat. Mungkin teman sekamarku akan datang besok pagi. Oh iya, besok adalah hari pertama orientasi kampus. Aku sangat tidak sabar untuk besok. Apakah ini rasanya menjadi mahasiswa?"

Shoaib tersenyum lalu berkata, "Iya, tahun pertama akan sangat menyenangkan, bertemu teman-teman baru dan tugas perkuliahan juga tidak terlalu sulit. Aisyah akan mengetahuinya sendiri nanti." Mendengarnya, gadis itu menghela nafasnya lega."Aku sangat tidak sabar bertemu teman-teman baru dan kelas yang baru. Aku masih tidak percaya bahwa aku berada disini sekarang. Aku sangat senang sekali seakan-akan jantungku mau keluar. Bahkan lulusan dari SMA ku juga ada yang melanjutkan kesini. Aku akan menemukan mereka secepatnya dan aku harap beberapa diantaranya juga satu asrama denganku. Bukankah itu akan sangat menyenangkan?" "Sangat menyenangkan sekali, Aisyah. Aku selalu mengharapkan yang terbaik untukmu", kata pemuda itu.

Percakapan itu berlangsung dengan hangat. Aisyah terus bercerita tentang kehidupan barunya dan teman-temannya. Pemuda itu tak pernah jenuh mendengarkan. Suara Aisyah didengarnya semakin manis saja ditelinganya. Itu bukanlah dikarenakan oleh cinta buta semata. Tetapi sosok Aisyah memanglah indah. Suaranya pun halus dan menentramkan hati siapa saja yang mendengarnya. Tak lama kemudian, mereka berpamitan dan saling mengucapkan salam. Aisyah membuka pintu kamarnya dan didapati kedua kawannya yang sedang menempelkan daun telinga mereka ke pintu. Mereka sedari tadi tampak mendengarkan percakapan Aisyah dan kekasih Turkinya itu.

Menyadari Aisyah yang membuka pintu, seketika keduanya berpura-pura melakukan sesuatu. Caroline meraih handphone nya di saku celananya dan Helena yang berpura-pura membersihkan meja. Aisyah berdehem lalu berkata, "Percakapan yang kalian dengar tadi tidaklah gratis. Kalian harus membayar untuk itu." Mendengarnya, seketika Caroline dan Helena menggelitiki Aisyah bergantian. "Aisyah nakal ya", ucap Helena. "Goodnight, Shoaib. Goodnight, Aisyah", Caroline menirukan percakapan terakhir mereka. Aisyah tertawa menahan geli lalu lari kekamar Helena dan Caroline. Kedua kawannya itu mengejarnya sambil terus menggelitikinya.

"Seperti apakah dia?" tanya Caroline. Aisyah tak berdaya menahan rasa geli itu dan jatuh berbaring diatas kasur. Nafasnya terengah-engah. Kedua sahabatnya juga berbaring disebelahnya. Aisyah berada ditengah-tengahnya. "Tunjukkan fotonya kepada kami", ucap Helena. Gadis itu kemudian menyerahkan handphone nya dan menunjukkan foto-foto Shoaib yang beberapa kali dikirimkan olehnya. "Dia sangat seksi sekali. Lihatlah." Caroline yang kagum menunjuk kesalah satu foto Shoaib yang berpose tidur diatas rumput yang hijau. Tatapannya begitu teduh dan kacamatanya memantulkan sinar mentari sore. Biasan cahaya itu menutupi sebagian kornea matanya yang hitam. Rahangnya yang tajam tertutupi oleh bulu-bulu halus.

Waktu berlalu dan malam semakin larut. Caroline dan Helena memainkan rambut panjang Aisyah yang indah itu. Caroline mengepang rambut Aisyah sambil menceritakan tentang adiknya. Ia bernama Caron. Mereka adalah saudara kembar. Wajah mereka sangat mirip sekali dan susah dibedakan. Mereka juga sengaja menyamakan potongan rambut mereka. Hanya saja Caron selalu mengikat rambutnya dan Caroline tidak. Tak jarang mereka menggunakan wajah kembar mereka untuk aksi kenakalannya seperti menggantikan saudaranya untuk masuk sekolah, bergantian pacar, meminta uang jajan lebih, dan lain sebagainya.

Aisyah dan Helena dibuatnya tertawa mendengar kisah itu. Walaupun mereka kembar identik, namun sifatnya sungguh berbeda. Caroline sebagai kakak yang seharusnya bersifat dewasa, namun malah sebaliknya. Caron lebih bisa mengayomi Caroline yang ceroboh dan suka bangun kesiangan. Hampir setiap pagi ia membangunkan kakaknya untuk bersiap-siap ke sekolah. Ia sering membantu kakaknya menyisir rambutnya ataupun memasukkan buku-buku pelajaran ke tasnya.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Kantuk sudah menyerang mereka. Akhirnya mereka pun tidur diranjang masing-masing. Ditengah-tengah perjuangannya untuk tidur, Aisyah mendengar Helena yang mengigau. "Pizza…. Pizza….." Aisyah tersenyum mendengarnya. Kemudian ia menutup kedua matanya dengan selimut sehingga cahaya lampu itu bisa terhadang olehnya. Ia berusaha untuk tidur lagi. Lampu dikamar itu sengaja tetap dinyalakan sesuai permintaan Caroline. Itu sama sekali bukan masalah yang besar bagi mereka. Mereka akan menyesuaikan diri secepatnya satu dengan yang lainnya.

Perlahan Aisyah memasuki alam mimpinya. Tubuhnya serasa ringan seperti dibawa terbang. Kemudian ia melihat dirinya sedang berdiri diatas aspal hitam yang kasar. Jalan itu terlihat sempit dan sepi. Jalan itu hanya memiliki satu jalur. Tidak ada siapapun disana kecuali seorang pemuda yang berdiri beberapa meter tak jauh didepannya. Shoaib berdiri dengan tatapan kosongnya dan memandang lurus kearah Aisyah. Lalu dedaunan kering yang berwarna coklat mulai berhembus menyingsing ke tengah jalan itu.

Kabut putih yang tipis terlihat mengelilingi mereka berdua. Tak lama setelah itu, terdengar suara anak-anak kucing dari kotak kardus tepat didepan Shoaib. Mata Aisyah terbelalak senang dan berlari kearah kardus itu. Ia duduk berjongkok dan memandangi keempat anak-anak kucing itu lengkap bersama induknya. Senyumnya mengembang bahagia. Dikotak itu juga terdapat dua kelinci putih kecil yang sangat imut. Mereka tengah menikmati potongan wortel yang segar. Tak disangka-sangka, Shoaib mengeluarkan pistol dari balik punggungnya dan memuntahkan tiga peluru ke binatang-binatang imut itu. Aisyah terkejut dan membeku ditempat. Perasaannya hancur dan sedih. Kedua mata birunya berkaca-kaca sambil memandangi binatang-binatang itu yang sedang sekarat.

Darah merah itu juga menyiprat ke baju dan roknya. Aisyah membelai lembut bulu-bulu halus mereka dan ia menangis sesenggukan. Ia berkata dengan nada yang memelas, "Kenapa? Kenapa?" Ia mendongakkan kepalanya memandang Shoaib yang tetap berdiri dihadapannya. Melihat Aisyah yang menangis sesenggukan, tatapan pemuda itu masih sama seperti sebelumnya, kosong. Tatapannya seperti seorang psikopat.

Gadis itu bangun dari tidurnya dua menit sebelum alarm di handphonenya berbunyi. Ia mematikan alarm itu dan mengucek-ucek kedua matanya yang terasa berat. Kemudian ia menghembuskan nafas panjangnya ketika mengingat kembali mimpi buruk itu. Warna merah darah itu masih membekas jelas diingatannya. Tatapan Shoaib yang dingin juga masih diingatnya dengan jelas. Ia mengucapkan istighfar berkali-kali dan mengusir mimpi buruk itu. Ia berharap bahwa ia bisa melupakan mimpi itu segera karena nabi bersabda bahwa mimpi buruk tidak sepantutnya untuk diceritakan kepada siapapun dan lebih baik berdoa untuk hal-hal yang lebih bermanfaat.

Ia beranjak dari tempat tidurnya dan pergi ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Ia menunaikan sholat tahajud dan subuh di kamarnya. Seusai sholat, ia meraih Al-Qur'an yang disimpan di lemari paling atas dan melantunkannya dengan suara pelan berusaha untuk tidak membangunkan kedua temannya. Sepuluh menit ia melantunkan ayat-ayat suci itu, seketika suara Chris kembali terngiang-ngiang di telinganya. "Lalu bagaimana sikap ayahnya ketika mengetahui putra kesayangannya meninggal?" tanyanya kala itu.

Matanya memandang kosong kearah depan. Ia bergeming sejenak. "Ia tak mempercayai bahwa putranya meninggal. Ia tahu persis watak ke-dua belas anaknya itu. Maka ia hanya bersabar dan menunggu bantuan Allah." Sesaat kemudian, didengar pintu kamarnya diketuk pelan dari luar. Aisyah membuka pintu dan dilihatnya Helena yang berdiri menyandar pada bingkai pintu kayu itu. "Aisyah berbicara dengan siapa?" tanya Helena sambil menguap. Aisyah menggeleng lalu tersenyum. "Tidak. Aku hanya teringat pada temanku saja." Aisyah terdiam sejenak lalu berkata lagi, "Maaf telah membangunkanmu. Apakah suaraku terlalu kencang?" Helena menggeleng lalu berkata, "Tidak, Aisyah. Aku terbangun bukan karena terganggu tetapi aku terbangun karena keindahan bacaanmu itu. Kitab sucimu itu bahasa apa?"

"Bahasa Arab." Helena mengangguk-angguk mengerti. Pagi itu mereka sibuk menyambut hari yang paling ditunggu-tunggu itu. kebahagian melimpah-ruah memenuhi asrama-asrama yang didominasi oleh mahasiswa-mahasiswa baru. Sinar matahari semakin naik dan mulai terdengar samar-samar suara alat-alat penggorengan bersinggungan dari kamar-kamar sebelah dan kamar di lantai atas. Suara shower dari kamar mandi tetangga juga terdengar. Kota itu sudah hidup dan menunjukkan aktifitasnya. Beberapa langkah kaki terdengar berlalu-lalang didepan pintu kayu itu.

Caroline sudah dibangunkan oleh Aisyah setengah jam yang lalu. Ia beranjak mandi dan mengganti pakaian tidurnya. Sambil menunggu Caroline selesai mandi, Helena dan Aisyah menyiapkan makanan yang disimpan di kulkas dan menghangatkannya menggunakan microwave. Seusai sarapan, Aisyah membersihkan peralatan makan mereka sesuai jadwal piket yang telah ditentukan kemarin. Ketiga gadis itu kemudian berangkat bersama-sama menuju ke gedung utama tempat pelaksanaan orientasi kampus. Disepanjang jalan menuju gedung itu, terlihat para mahasiswa baru yang keluar dari asrama mereka masing-masing. Sedangkan dari gerbang diujung sana, terlihat beberapa mahasiswa senior mulai berdatangan dari asrama yang letaknya tak jauh diluar kampus.