webnovel

Apa Kabarmu Tuan Turki?

Keesokan paginya pukul sembilan waktu Amerika dan pukul lima sore waktu Turki, ketika Shoaib menanti waktu adzan disela-sela kesibukannya, ia menyempatkan untuk menelpon gadisnya. Walaupun hanya beberapa menit, itu sangat berarti bagi keduanya. Mereka sudah terpisahkan oleh jarak yang sangat jauh. Maka dari itu, mereka tak akan menyia-nyiakan waktu kosong sedikitpun yang tersisa walaupun itu hanya mengirimkan pesan ataupun voice note.

Pagi itu, Aisyah mengatakan bahwa ia akan pindah ke asrama kampus siang nanti. Shoaib berpesan padanya untuk berhati-hati selama di jalan dan Aisyah disuruhnya mengirimkan pesan seketika sampai di asrama. Siangnya, Aisyah menaiki bis yang sama seperti beberapa hari yang lalu, jurusan Massachusets. Ia membawa satu koper besar dan tas selempang kecil berwarna jingga. Ayahnya ijin cuti satu hari itu untuk mengantarkan putri kesayangannya.

Ayahnya tampak tenang sekali. Gaya duduknya, tatapan matanya, dan intonasi bicaranya. Ia berhasil menyembunyikan perasaan bangga yang teramat sangat kepada putrinya itu dan menjaga wibawanya. Selama di perjalanan, Aisyah seringkali tersenyum dan memandang langit biru yang cerah diatas sana. Mentari juga tersenyum dan menyapanya dengan hangat. Aisyah sangat senang akhirnya ia bisa lolos tes dan menjadi salah satu mahasiswa di universitas ternama itu. Ini semua tidak pernah disangka-sangkanya.

Setibanya di kawasan kampus, Aisyah menggandeng tangan ayahnya dengan langkah cepat seperti anak kecil yang mengunjungi taman bermain untuk yang pertama kalinya. Entah mengapa, ia selalu merasa seperti anak kecil ketika bersama ayahnya. Sikap manjanya yang selalu membekas dan terkadang itulah yang membuat Mr Smith tidak merelakan Aisyah jauh darinya.

Didepan sana terlihat banyak sekali mahasiswa baru yang mengantre untuk mengambil kartu pembagian asrama. Mereka membawa koper-koper dan perlengkapan mereka masing-masing. Rumput hijau itu terlihat lebih ramai dari yang diingatnya beberapa hari yang lalu. Harvard memiliki beberapa asrama yang berbeda-beda namanya. Kebetulan sekali gadis itu kebagian di asrama Pennypacker. Para senior yang bertugas menjadi panitia, mereka mengucapkan selamat datang kepada adik-adik tingkat mereka. Setelah menerima kartu itu, ia dan ayahnya segera menuju asmara Pennypacker.

Gedung asrama itu memiliki empat lantai dan dinding yang didominasi oleh warna merah bata. Ia berhadap-hadapan dengan asrama lainnya dan dipisahkan oleh jalan beraspal. Rumput-rumput hijau setia menghiasi disekelilingnya. Lampu taman yang berbentuk bundar juga berdiri didepan pintu masuk asrama. Itu menambahkan kesan klasik padanya. Sesampainya di dalam, terdapat lorong yang panjang dan tangga kokoh diujung sana yang melingkar keatas dan menuju ke setiap lantai.

Terdapat lembaran-lembaran yang ditempel di setiap mading. Beberapa mahasiswa baru terlihat kesana dan kemari membawa barang-barang bawaannya. Asrama itu terlihat ramai oleh mereka. Koper-koper terlihat dimana-mana. Aisyah dan ayahnya berjalan menuju kamar nomor 36 di lantai dua. Seketika memasuki ruangan itu, ia segera meletakkan barang-barang bawaannya dan menatanya. Ruangan itu cukup luas. Ia akan berbagi dengan tiga mahasiswa baru lainnya.

Ruangan itu terdiri dari ruang tengah dilengkapi dengan meja-meja belajar dan kursi, lalu sekelilingnya adalah dua kamar, dua kamar mandi, dan satu dapur. Disetiap kamar terdapat dua kasur, satu lemari baju yang lebar, dan dua laci yang terbuat dari kayu. Beberapa menit kemudian, datang dua orang lainnya memasuki ruangan itu. Mereka berdua terlihat akrab sekali seperti halnya sahabat.

"Ternyata sudah ada orang disini. Hai, namaku Caroline", ucapnya memperkenalkan diri. Lalu ia memperkenalkan temannya kepada Aisyah yang bernama Helena. Mereka tersenyum ramah kepada Aisyah. Gadis itu juga memperkenalkan dirinya ke kedua teman barunya. Mereka menempati kamar disamping kamar Aisyah. Kini tinggal satu orang lagi yang belum datang. Ia belum mengetahui siapakah nantinya yang akan berbagi kamar dengannya. "Hai, girls. Dari kota mana kalian?" sapa ayah Aisyah ditengah-tengah aktifitasnya memindahkan barang. "Kami berdua dari South Medford, paman."

Setelah ayahnya membantu putrinya menata barang-barang, ia kemudian pulang dan berpamitan ke kedua teman baru putrinya itu. "Om titip Aisyah ya." "Siap, om." Mereka tersenyum ramah melepas kepergian ayah Aisyah. Mereka bartiga kemudian bercakap-cakap dan berkenalan lebih dalam lagi. "Apakah yang Aisyah kenakan itu? Apakah itu model trend terbaru?" Helena menunjuk kearah jilbab yang dikenakan Aisyah. Aisyah tersenyum lalu menjelaskan, "Aku beragama Islam dan orang Islam wajib mengenakan ini supaya tidak terlihat oleh laki-laki." Mereka berdua mengangguk-angguk paham.

"Oh ya, aku ingin kalian tahu bahwa aku tidak bisa belajar dalam kondisi bising. Jadi tolong ya, Caroline dan Aisyah, ketika aku sedang belajar nanti, tolong jangan ramai ataupun memutar musik", kata Helena. "Oke, itu hal yang mudah", ucap Helena dan Aisyah setuju. "Kalau aku, aku tidak bisa tidur dengan keadaan gelap. Jadi teruntuk Helena tersayang, tolong dihidupkan ya lampunya." Ia mengangguk setuju. Itu bukanlah hal yang sulit baginya. "Lalu kalau Aisyah bagaimana? Apa yang harus kami lakukan?" Tanya Caroline. "Aku hanya meminta pengertian kalian sedikit saja karena aku akan sering melantunkan ayat-ayat kitab suciku. Terutama diawal pagi dan diawal malam. Tetapi aku berusaha untuk memelankan suaraku agar tidak mengganggu kalian."

"Baiklah, Aisyah. Kami lama-lama juga akan menyesuaikan diri dan terbiasa dengan itu. Tidak apa-apa." Mereka bertiga cepat sekali akrabnya. Hari itu mereka sibuk menata tempat baru itu dan menggeser letak barang-barang sesuai keinginan mereka. Waktu sholat ashar sudah tiba dan Aisyah menuju kamarnya untuk menunaikan sholat. Secara inisiatif, kedua temannya mematikan musik dan berhenti mengobrol untuk sejenak sampai Aisyah keluar dari kamarnya. Kemudian mereka bertiga lanjut menata barang-barang. Ketika semuanya selesai, Aisyah pergi ke dapur dan akan memasak untuk makan malam mereka, namun Helena menghentikannya dan berkata, "Besok saja kita memasak. Aku dibawakan bekal oleh ibuku. Ini cukup untuk kita bertiga sampai besok pagi."

Mereka bertiga akhirnya makan masakan ibu Helena. Rasanya seperti dirumah. Masakan rumahan itu begitu enak seperti masakan nenek. Bumbunya meresap dengan sempurna. Memanglah ibu Helena pandai memasak. Walaupun mereka jauh dari rumah, namun masakan ibu Helena membawakan suasana rumahan untuk ketiga mahasiswa perantau itu. Seusai makan, Aisyah berkumpul di kamar Helena dan Caroline. Sambil menunggu Caroline selesai membersihkan peralatan makan mereka karena hari pertama itu adalah jadwal piketnya, Aisyah dan Helena memakan camilan yang dibawa Aisyah dari rumahnya dan membicarakan tentang banyak hal. Tak lama kemudian, Helena berpikiran tentang sesuatu, "Aisyah, bagaimana kalau kau tidur bersama kami saja malam ini? Daripada sendirian. Lagipula, dia tidak mungkin datang hari ini. Mungkin besok pagi sebelum ospek."

Aisyah mengangguk menyetujui ide bagus itu. Kemudian mereka berdua mengangkat kasur Aisyah dan memindahkannya ke kamar Caroline dan Helena. "Ide yang sangat bagus sekali. Malam ini akan seru tidur beramai-ramai seperti ini", ucap Caroline datang dari balik dapur. Ditengah-tengah percakapan mereka, terdengar handphone Aisyah yang berdering. Shoaib menelpon Aisyah di waktu-waktu senggangnya. Ia telah menerima pesan dari Aisyah beberapa jam yang lalu bahwa ia sudah sampai di asrama.

Mendengar suara handphone Aisyah yang berdering, Helena berdehem sambil berkata, "Panggilan dari Turki tersayang akhirnya datang." Aisyah memukul lengannya pelan sambil tersenyum. Caroline juga ikutan menggoda gadis itu. Aisyah mematikan panggilan video itu dan menelponnya balik melalui panggilan suara. "Assalamualaikum." Salam Aisyah dijawab oleh pemuda di seberang sana. "Kenapa dimatikan?" tanya Shoaib sedikit kecewa. "Aku tidak mengenakan jilbab sekarang. Nanti saja ya video call nya", kata Aisyah sambil mengisyaratkan kedua kawannya untuk diam.

Sedari tadi Caroline dan Helena terus saja membisikkan kata-kata menggoda kepadanya. "Tuan tampan, Aisyah sangat merindukanmu", ucap Helena. "Apa kabarmu tuan Turki?" susul Caroline. Diseberang sana, Shoaib dapat mendengarnya samar-samar. "Apakah mereka teman-temanmu?" tanya pemuda itu sambil tersenyum. Aisyah mengiyakan lalu berkata, "Apakah anda ingin menyapa mereka?"

"Kapan-kapan saja. Sekarang aku hanya ingin mendengar suara Aisyah." Mendengarnya wajah Aisyah memerah dan terlihat seulas senyuman dibibir merahnya. Melihatnya seketika membuat Caroline dan Helena semakin heboh. "Tuan Turki, apa yang telah kau lakukan kepada Aisyah?" kata Helena. "Wajahnya menjadi sangat merah semerah tomat. Datanglah kemari dan lihatlah." Caroline ikutan menggoda Aisyah.