webnovel

Aku Rela Melepas Agamaku

Jam dinding di hari itu bergerak lambat namun pasti. Tak terasa waktu sudah menunjukkan waktu sholat Ashar. Kedua gadis itu sholat bersama-sama. Asma sebagai imam dan Aisyah sebagai makmum. Seusai sholat, mereka kembali ke teman-temannya dan Asma kembali mengerjakan tugas perkuliahannya. Sejenak Aisyah melirik kearah kakaknya yang sedang berkonsentrasi itu. Bolpoinnya terangkat tidak menyentuh kertas. Kedua matanya tidak berkedip. Itu menandakan bahwa ia sedang kesulitan menghadapi soal terakhir itu. "Coba Aisyah lihat." Kata Aisyah sambil meraih buku kakaknya. Ia membaca dan mencoba mempelajari materi itu. Ia mengangguk-angguk mengerti lalu mencoba menuliskannya ke atas kertas putih. Materi akuntansi itu dua tingkat lebih sulit dari yang telah dipelajarinya di bangku SMA. "Apakah begitu?" tanya Aisyah kepada kakaknya seusai ia menuliskannya. Alisnya terangkat ketika melihat penjabaran adiknya itu. "Aku baru menyadari kalau adikku ini sangat jenius. Dari tadi aku dan Jill selalu terhenti disini." Asma menunjuk pada bagian tengah. Mendengar respon Asma, seketika Beth dan Lucy menghentikan aktifitasnya sejenak dan memandang takjub pada Aisyah. Mereka berdua meraih lembar kerja Asma yang telah ditulisi oleh Aisyah dan berkata, "Aisyah, ini benar-benar sempurna. Tak heran kalau incaranmu adalah Harvard", kata Lucy dan Beth yang masih mengamati penjabaran Aisyah. "Baiklah, kita sudah selesai", ucap Asma pada Jill sambil mengemasi buku-buku diatas meja. Bethany menguap dan memasukkan handphonenya ke dalam tas kecilnya. Kebosanan telah menghinggapinya. Ia memandangi kedua sahabatnya secara bergantian. Aisyah dan Lucy tampak asyik sendiri.

Seketika ia teringat akan ide yang bagus. "Ayo ke Lavasa. Aku rindu menyantap salah satu menu terenak disana. Kudengar mereka menyajikan saus baru untuk steak mereka." Aisyah dan Lucy mengangguk menyetujuinya. "Asma dan Jill, kalian ikut kami saja. Daripada bosan disini. Lagipula kan tugas kuliah kalian sudah selesai", ajak Bethany. Jill mengangkat kedua alisnya terkejut, "Tidak disangka aku akan makan bersama putri Mr Tailor." Bethany tersenyum mendengarnya lalu merangkul bahunya. "Tidak perlu formal seperti itu. Aku hanyalah gadis biasa seperti Asma dan Aisyah. Terlebih lagi temannya Asma juga temanku. Nanti aku minta nomermu ya supaya kita bisa tetap berkomunikasi dan bertemu lagi. Siapa tau nanti kau membutuhkan nomerku untuk menyampaikan keperluan ayahmu ke ayahku. Itu akan jauh lebih mudah kan?" Aisyah tersenyum menyaksikan kerendahan hati Beth.

Ketika mereka hendak keluar rumah, seketika itu Mr Smith datang membuka pintu terlebih dahulu. "Mau kemana, girls?" tanya ayahnya ramah sambil mengendurkan dasinya. Bethany menjawab, "Kami mau ke Lavasa, paman." "Baiklah kalau begitu. Aisyah dan Asma sudah sholat Ashar?" tanyanya. "Sudah, ayah. Nanti kita pulang sebelum Isya kok", jawab Aisyah. Kedua putrinya itu lalu mengucapkan salam dan keluar bersama teman-temannya meninggalkan apartemen itu. Sesampainya di basement, Bethany menyuruh Aisyah dan Jill untuk menaiki mobilnya, sedangkan Asma menaiki Porsche 911 bersama dengan Lucy. Kedua mobil mewah itu meluncur lembut mengarungi jalanan lebar yang beraspal itu. Karena terlalu lebarnya sehingga jalan raya itu bisa menampung lima jalur mobil satu arah menuju kearah selatan. Layaknya kota besar yang berada di tengah-tengah negara industri, mobil-mobil mewah di jalan raya menjadi pemandangan yang sangat biasa. Bangunan-bangunan tinggi dan pertokoan yang mewah menghiasi tepian jalan raya. Gedung-gedung pencakar langit itu seperti hendak menantang tuhan pencipta alam semesta. Ia berdiri kokoh menembus birunya langit dan seakan-akan berbicara dengan congkaknya kepada tuhannya. Para pengemudi berhenti secara beraturan ketika lampu rambu-rambu menunjukkan warna merah. Semuanya rapi dan tertata.

Taman di tengah kota pun tak kalah menariknya. Beberapa kursi besi tertata rapi disana. Lampu-lampu kecil berwarna kuning tampak bergelantungan rapi memenuhi taman itu. Pepohonan hijau menambah warna jalanan yang tampak pucat. Mobil ber plat nomor 6779 di depannya masih belum bergerak maju walaupun lampu rambu-rambu sudah menunjukkan warna hijau. Bethany berdecak lidah kesal lalu membunyikan klakson. Pengemudi yang ngantuk itu tersadar lalu menginjak pedal gasnya dan memacu laju mobilnya. Mobil sport biru milik Bethany kembali berjalan menyusuri jalanan yang halus itu. Sebuah bis bertingkat dua tampak terlihat tak jauh didepan. Bethany memacu mobilnya untuk mendahului bis itu. Aisyah melihat anak kecil yang menatap keluar jendela bis itu mengamati mobil mewah Bethany yang melintas. Matanya tampak berbinar-binar dan mulutnya sedikit terbuka. Di persimpangan jalan, tampak mobil Range Rover berwarna abu-abu sedang mengejarnya. Ia mengenali betul siapa pengemudinya. Dengan sigap Bethany memacu mobilnya lebih cepat. Mobil Lucy yang berjalan dibelakangnya tidak mengetahui apa-apa. Lucy juga memacu laju mobilnya dan mengimbangi laju mobil Bethany.

Namun, pengemudi mobil Range Rover itu lebih ahli dan berhasil menyusul mobil Bethany. Akhirnya mereka berjalan beriringan. Pengemudi mobil Range Rover itu membuka kaca mobilnya dan mengisyaratkan Bethany untuk meminggirkan mobilnya ke tepi jalan. Dengan pasrah Bethany menghentikan mobilnya dan keluar dari mobil dengan kepala menunduk. Mobil Lucy juga ikut menepi. Pengemudi mobil Range Rover itu kemudian turun dari mobilnya dan membanting keras pintu itu. Ia menghampiri Bethany dengan berkacak pinggang. "Kalian hari ini membolos lagi ya", ucapnya dengan nada tinggi.

"Maaf pak. Kami hanya ingin mengunjungi Aisyah yang sedang sakit tangannya." Mendengarnya, Mr Cullen seketika emosinya mereda. "Benarkah? Lihat sini, Aisyah." Gadis itu menunjukkan telapak tangannya. "Baiklah. Kali ini bapak tidak akan memarahi kalian. Tetapi besok kalian harus datang ke sekolah untuk gladi bersih kelulusan ya." Tanpa menunggu jawaban, Mr Cullen kembali ke mobilnya dan meninggalkan siswi-siswinya itu. Bethany dan Lucy menghembuskan nafasnya lega. "Kalian menggunakan aku lagi. Lihatlah, aku baik-baik saja", kata Aisyah kesal. Bethany tersenyum nakal dan berkata, "Sahabat harus saling membantu." Mereka kemudian masuk kedalam mobil dan melanjutkan perjalanan.

Sesampainya di Lavasa, mereka segera memboking meja dan memesan beberapa makanan yang menjadi bintang utama disana. Tak lupa Bethany juga memesan minuman beralkohol untuknya, Lucy, dan Jill. Namun Lucy memesan minuman beralkohol jenis lainnya juga untuk dirinya sendiri. Ia sangat ingin mencobanya sedari dulu. Khusus untuk Asma dan Aisyah, Bethany memesankan teh hangat untuk minumannya. Mereka berlima sangat menikmati hidangan restoran berbintang itu. Ini akan menjadi pengalaman yang tak terlupakan oleh Jill karena ia menghabiskan waktu bersama dengan putri sulung bos ayahnya itu. Menaiki mobil mewahnya, makan bersamanya di restoran ternama, dan mendapatkan nomor telponnya. Hari ini adalah hari keberuntungannya. Ia tak pernah menyangka bahwa Bethany berteman baik dengan adik sahabatnya. Sungguhlah waktu yang tidak bisa ditebak. Semuanya berjalan begitu saja dan sangat tepat sasaran.

Disamping itu, tanpa disangka-sangka, minuman alkohol yang dipesan oleh Lucy ternyata kadar alkoholnya lebih tinggi. Tidak ada yang mengetahuinya termasuk Lucy. Minuman itu dihabiskannya dan beberapa menit kemudian ia mabuk berat dan meracau tak karuan. Menyadari ada sesuatu yang aneh, Aisyah memanggil salah seorang pelayan dan menanyakan minuman apa yang telah dipesan oleh Lucy. Setelah pelayan itu menjelaskan kandungan di minuman itu, Bethany menepuk dahi sambil memandang kearah Lucy yang tertidur dengan posisi kepala diatas meja. "Bagaimana nanti kalau kau sendirian di Belanda", kata Beth.

Sekarang mereka berpikir bagaimana caranya mereka membawa pulang mobil Lucy. Aisyah dan Asma tidak pernah dan tidak bisa menyetir mobil. Jill hanya bisa menyetir mobil biasa. Sedangkan para pegawai restoran tidak ada yang bisa mengendarai Porsche 911 produksi terbaru itu. Ia berpikir keras akan meminta bantuan kepada siapa. Rata-rata teman-temannya bukanlah domisili kota itu. Ia terus berpikir tentang siapakah yang memiliki koleksi mobil sekelas Porsche 911 milik Lucy. Ia segera menyusuri kontak di handphone nya ketika teringat akan satu nama. Pemilik nomor yang ditujunya masih belum mengangkat panggilan itu hingga dering keempat. Bethany mematikan telponnya dan menelpon sekali lagi.

Pemandangan langit sore adalah favoritku. Ketika warna biru terhiasi oleh cahaya jingga kemerah-merahan matahari di ujung horizon, menunjukkan keanggunan yang selama ini sengaja ia sembunyikan. Pandanganku jauh menatap kesibukan kota dibawah sana. Mobil-mobil yang terlihat kecil itu berlalu-lalang silih berganti melewati gedung-gedung pencakar langit. Mereka tampak sibuk sekali. Aku menyandarkan punggungku yang telanjang ke tepian kolam renang. Keringatku telah didominasi oleh air kolam yang membasahi sekujur tubuhku. Aku mengambil potongan buah semangka yang disajikan diatas nampan yang mengambang diatas air ini. Kuhembuskan nafas pelanku sambil menikmati pemandangan indah sore itu untuk kesekian kalinya. Lamunanku terhenti ketika salah satu pembantuku menghampiriku di kolam renang. "Ada telpon, tuan muda." Katanya sambil menyerahkan handphone ku yang berwarna hitam itu. Ia membungkuk dengan sopan lalu mundur beberapa langkah. Aku berdecak lidah ketika melihat nama yang muncul di layar itu. Beraninya dia mengganggu waktu santaiku. "Apa?" jawabku ketus.

Bethany berkata bahwa Lucy tengah mabuk berat dan ia tengah kesulitan untuk membawa mobilnya pulang. Aku memejamkan mataku menahan emosi. "Cari bantuan orang lain. Aku sedang sibuk." Bethany memohon-mohon padaku dan berkata, "Ayolah Chris. Hanya kau yang tinggal dekat sini. Lagipula nanti ayah Aisyah akan memarahiku kalau aku tidak mengantarkannya pulang tepat waktu." Mataku terbelalak lebar mendengarnya. Emosiku redam seketika dan langsung keluar dari kolam itu. Dengan sigap pembantuku menyerahkan handuk kering berwarna putih kepadaku. "Baiklah, aku berangkat sekarang." Lalu aku menutup telpon itu. Dengan semangat aku memacu langkahku menuju kamar mandi yang tak jauh di ujung sana dan mengganti pakaianku dengan pakaian kering yang telah disiapkan oleh pembantuku. Tak terasa senyuman telah menghiasi bibirku semenjak aku mendengar nama itu.