webnovel

Aku Hanyalah Orang Miskin, Tuan

Entah sejak kapan ia menutup kedua matanya, namun ia sama sekali tidak terlelap ke dalam alam mimpinya. Ia dapat mendengar jelas deru angin diluar yang sesekali menghantam dedaunan, suara cicak yang menanti nyamuk, suara detik jam dindingnya yang berisik, suara gusaran kambing dan sapi di kandangnya yang berada tak jauh disamping rumah, ia dapat mendengar jelas setiap detiknya. Penantiannya berakhir ketika didengarnya suara ketukan pada pintu kamarnya. "Shoaib, ayo bangun. Saatnya sholat." Terdengar suara ayahnya dari balik pintu. Pemuda itu segera bangkit dari kasurnya dan membuka pintu. Ia berjalan dengan kesadaran yang penuh dan tidak menunjukkan langkah yang gontai layaknya orang yang baru bangun tidur. Ayahnya menyadari itu kemudian bertanya, "Kau tidak tidur semalaman?" Putranya menoleh sambil tersenyum. "Tidur tapi hanya sebentar." Mendengarnya, ayahnya berdecak lidah lalu berkata, "Itulah kebiasaan burukmu. Jaga pola tidurmu. Kau adalah calon dokter. Setidaknya, kau juga harus menjaga kesehatanmu." Pemuda itu tidak menjawab apa-apa. Ia melangkahkan kakinya menuju kamar orang tuanya.

Ibunya sudah bangun sedari tadi. Ia hanya menanti putranya untuk menjemputnya. Kemudian ia mengambil posisi untuk menggendong ibunya. Ketika ayahnya datang, pemuda itu menolak dengan sopan. Ia memberi isyarat bahwa ia bisa melakukannya sendiri. Ia menggendong ibunya bukan di punggungnya, melainkan di depan. Kemudian ia membantu ibunya untuk melakukan wudhu. Sebenarnya sholat bisa dilakukan di kamar itu tanpa harus menggendong ibunya ke ruangan khusus untuk sholat (mushola). Tetapi Shoaib menggali pahala dari peluang itu. Jika dilihat oleh kasat mata, kelumpuhan ibunya adalah suatu musibah. Namun tidak bagi keluarga itu. Situasi itu adalah ladang pahala bagi siapa saja yang ingin meraihnya. Shoaib tak menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Setiap azan berkumandang, ia selalu menggendong ibunya dari kamarnya ke mushola kecil itu sejak tiga tahun terakhir. Memanglah itu adalah sesuatu yang sangat melelahkan dan merepotkan. Tetapi untuk mendapatkan timbangan amal yang berat dan tujuan utamanya adalah surga, maka pekerjaan itu dirasakan ringan untuknya. Semua jalan menuju surga walaupun berduri akan ditempuhnya. Ia tak pernah mengeluh sedikitpun. Ia melakukan semuanya dengan senang hati karena yang dilihat didepan sana adalah surga. Apa susahnya hanya menggendong ibunya beberapa menit saja dibandingkan ketika dulu ibunya menggandungnya selama sembilan bulan lamanya tanpa meletakkan janinnya walau hanya sedetik. Tulang punggung dan kakinya dirasakannya lelah selama sembilan bulan itu. Ibunya pun tak pernah mengeluh tentang hal itu. Tidak sampai disitu saja penderitaan yang harus dijalani. Seusai melahirkan, ia harus merawat dan mendidik anak itu sampai dewasa. Dua puluh empat jam dikali sekian tahun ia tak pernah sekali-kalinya mengeluh. Itulah mengapa orang tua diibaratkan seperti Al-Qur'an yang sudah lapuk. Dibuang berdosa, kalaupun disimpan juga percuma karena tidak bisa dibaca lagi. Sama halnya dengan orang tua kita. Kita tetap harus merawatnya dimasa senja mereka walaupun nantinya mereka tidak kalah merepotkannya dengan anak kita karena sesungguhnya orang yang sudah lanjut usia maka sifat dan perilakunya juga akan berubah seperti anak kecil lagi. Mulai tidak bisa dinasehati, tidak bisa dikontrol makannya, dan semaunya sendiri. Sebagai anak, sebaiknya kita juga harus memahami situasi itu. Sabar-sabarlah merawat orang tua kita yang sudah senja seperti halnya merawat anak kecil.

"Allahu Akbar." Ayahnya memimpin sholat didepan. Sedangkan Shoaib berdiri dibelakang ayahnya bersama dengan seorang adik laki-lakinya. Ibu dan kedua adik perempuannya berdiri di urutan shaf paling belakang. Seusai sholat, mereka membuka Alqur'an masing-masing dan membacanya secara bergantian. Bayang-bayang Aisyah muncul lagi dibenaknya. Wajah gadis itu terpampang di lembaran Al-Qur'an yang dipegangnya. Hatinya kembali bergetar dan udara yang memenuhi dadanya menjadi hangat seketika. Ia mengerjap-ngerjapkan kedua matanya untuk menghilangkan bayang-bayang gadis itu namun tidak berhasil. Setiap ayat yang dibaca dirasakannya semakin kuat menghantarkan bayangan Aisyah. Ketika cinta kepada manusia lebih besar dibanding cintanya pada Allah, maka Allah tidak akan menjamin akan kebahagiannya karena sesungguhnya yang dicintanya itu tidak bersifat kekal di dunia. Pemuda itu berulang kali berusaha untuk menghapus bayang-bayang Aisyah dari benaknya.

"Nanti jangan pulang terlalu malam. Jangan paksakan dirimu." Pesan ayahnya ketika ia hendak melangkah meninggalkan rumah. Pemuda itu hanya mengangguk mengiyakan. Ia melangkahkan kaki ke pekarangan kandang kambing dan sapi untuk mengambil parang yang disimpan disana. Setiap pagi ia selalu mencari rerumputan untuk makanan kambing dan sapinya. Kemudian, ia mengambil motor tuanya menuju hutan yang letaknya tidak jauh dari tempat tinggalnya. Sesampainya di lahan hijau itu, ia memarkirkan motornya dan melipat lengan bajunya hingga kesiku. Dengan sigap ia segera memotong rumput-rumput hijau itu untuk dibawanya pulang. Saat itulah pertama kalinya ia merasa sangat tidak percaya diri kepada Aisyah. Setiap bayang-bayangnya muncul, ia merasa semakin bersalah menyadari kondisi kehidupannya yang sangat jauh dari kemewahan. Saat itulah ia berpikir bahwa gadis itu tidak mungkin mau menjalani kehidupan yang seperti ini. Tidak akan ada orang Amerika yang bersedia menjalani hidup seperti dirinya. Ia terus bertarung dengan batin dan perasaannya. Semakin lama ia semakin tidak percaya diri. Kemudian ia menghentikan aktifitasnya sejenak dan jatuh terduduk di antara rerumputan hijau itu. Wajahnya tampak sangat lesu. Shoaib menunduk kebawah sambil memandangi telapak tangannya yang memegang parang. Gadis itu bahkan tidak akan mau menyentuh ini, pikirnya. Ia tak akan bisa hidup di lingkungan yang seperti ini. "Bantu aku, ya Allah. Apa yang harus kulakukan? Aku mencintainya."

Di tempat lain, di rumahnya, datanglah seorang wanita. Ia datang membawa makanan yang telah dimasak oleh ibunya. Wanita itu berparas cantik khas timur tengah dan memakai pakaian tertutup dari kepala sampai kakinya. Terlihat sangat anggun dan mempesona. Ia sering datang hanya untuk bermain dengan anak perempuan dirumah itu atau hanya untuk mengantarkan makanan. Rumahnya dan rumah Shoaib letaknya tidak terlalu jauh. "Ibumu memasak Lahmacun?" tanya ibu Shoaib ketika dilihatnya gadis itu mengeluarkan makanan berbentuk bundar dan tipis dengan daging sapi cincang diatasnya, sayuran dan rempah cincang termasuk bawang, tomat dan peterseli, dan rempah-rempah seperti cabai rawit, paprika, jintan dan kayu manis, kemudian dipanggang mirip seperti pizza. Namun biasanya sering dihidangkan dengan sayuran, termasuk acar, tomat, paprika, bawang, selada, dan terong bakar. Gadis itu tersenyum sambil menjawab, "Iya. Tadi ibu juga menitip pesan untuk menambahkan yogurt ketika hendak memakannya. Pasti akan terasa lebih enak. Tetapi sayangnya ibu kehabisan yogurt dirumah."

"Tidak apa-apa, masih ada yogurt disini. Coba tolong ambilkan di kulkas", kata lawan bicaranya. Gadis itu segera melakukan apa yang diminta. "Bagaimana kuliahmu?", tanya ibu Shoaib padanya. "Alhamdulillah lancar. Kemarin saya mendapatkan nilai tertinggi."

"Baguslah. Memang keponakanku yang satu ini adalah yang terbaik." Tak lama kemudian, putra tertua dikeluarga itu pulang. Setelah ia memarkirkan motornya, ia langsung menuju kandang kambing untuk meletakkan rumput-rumput hijau itu. Ia membasuh kedua tangannya yang kotor oleh tanah. Bajunya pun sedikit kotor karenanya. Terlihat bercak noda coklat di bagian sisi-sisinya. Ayahnya menghampirinya untuk membantu memberi makan kambing-kambing itu yang berjumlah enam belas ekor dan sapi tiga ekor. Minggu depan beberapa kambing telah siap untuk dijual. Beberapa pembeli sudah memesannya jauh-jauh hari sebelumnya. Di dalam rumah, seperti biasanya gadis itu langsung menuju ke kamar adik perempuan Shoaib untuk bercakap-cakap. Mereka berdua bagaikan teman yang sangat akrab walaupun usia mereka yang berbeda.

Matahari sudah naik empat puluh derajat. Pemuda itu telah mandi dan bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit. Sejak pagi tadi ia mengurungkan niatnya untuk mengirim pesan kepada Aisyah. Sedangkan disana, gadis itu sangat menantikan pesan darinya. Ia tak berani untuk memulai perbincangan dahulu. Berkali-kali gadis itu menghentikan jemarinya untuk mengetik pesan kepada pemuda Turki itu. Tak jarang ia melihat foto-foto Shoaib di akun facebooknya dan ia tersenyum setiap kali memandang wajah khas timur tengahnya. Yang dapat ia lakukan saat ini hanyalah menanti pemuda itu untuk menyapanya sekali lagi. Namun itu tidak terjadi hingga memasuki waktu sholat ashar di Turki. Usai menunaikan sholat di masjid dekat rumah sakit itu, ia berjalan menuju ruangannya kembali. Sisa air wudhunya masih terselip diantara rambut hitamnya lalu jatuh menetes ke jas putihnya. Ujung-ujung alisnya pun masih sedikit basah. Setiap air wudhu yang menetes itu sesungguhnya merupakan penggugur dosa-dosa para hamba-Nya. Ketika ia membasuh wajahnya, maka gugurlah dosa yang diperbuat oleh kedua matanya, hidungnya, dan perkataan yang tidak pantas yang telah diucapkan oleh bibirnya. Ketika ia membasuh kedua tangannya, gugurlah pula dosa yang diperbuat oleh tangan itu. Ketika ia berlanjut mengusap kepalanya, maka gugurlah juga dosa yang disebabkan oleh pikiran liarnya. Ketika ia membasuh kedua daun telinganya, gugurlah juga dosa yang disebabkan oleh sesuatu yang tidak layak untuk didengarnya. Begitu juga ketika ia membersikan hidungnya lalu berkumur-kumur. Berkali-kali air itu menggugurkan dosa-dosa yang telah diperbuat. Yang terakhir adalah ketika ia membasuh kedua kakinya, maka gugurlah pula dosa yang diperbuat oleh kakinya ketika ia melangkah ke tempat yang Allah tidak sukai. Itu hanyalah sebagian contoh kecil dari segala banyaknya bukti tentang maha pemurah dan pemaafnya Allah.

"Fusi tulang seringkali dilakukan pada tulang belakang untuk menghilangkan nyeri dan meningkatkan kestabilan tulang belakang akibat penyakit. Fusi tulang dilakukan dengan mencoba menyatukan beberapa tulang menjadi satu, baik dengan cangkok tulang ataupun dengan bantuan logam dengan menggabungkan beberapa ruas tulang belakang, maka tidak ada lagi gerakan antara ruas tulang belakang tersebut, sehingga nyeri akibat gerakan ruas tulang belakang akan hilang." Ia bergeming sejenak ketika membaca paragraf itu. Ia memandang jauh kearah depan memandang tembok putih. Tatapannya tampak kosong seperti membayangkan sesuatu. Ia tampak memikirkan sesuatu. "Fusi tulang dilakukan dengan mencoba menyatukan beberapa tulang menjadi satu. Dilakukan dengan mencoba menyatukan..... Mencoba menyatukan...." Ia bergumam panjang. "Mencoba.... menyatukan. Apakah bisa aku mencobanya? Apakah Aisyah bisa memahami kondisiku? Tetapi, tidak ada salahnya mencoba menjalin hubungan dengannya...." Ia segera meraih handphone nya lalu mengetik sesuatu dengan cepat. Ia kembali tidak sabaran daripada sebelumnya untuk menanti balasan Aisyah.

Pukul 16:50 PM, waktu Turki

Shoaib:

Assalamualaikum

Sekian detik pesan itu terkirim, gadis diseberang sana langsung membukanya seakan-akan ia telah menantinya sedari tadi.

Aisyah:

Waalaikumsalam

Diam sesaat diantara mereka. Aisyah tidak berani untuk memulai percakapan walaupun rasa rindunya tak terbendung lagi. Sedangkan pemuda Turki itu bingung harus memulai percakapan darimana. Ia ingin memberitahukan semuanya kepada gadis itu. Ia ingin sekali menjelaskan kepada Aisyah atas kondisi ekonomi kehidupannya saat ini. Namun ia ragu dan khawatir kalau Aisyah akan berubah pikiran dan sikap. Ia bahkan tak rela jika gadis itu menjauh darinya hanya karena ini.

Shoaib:

Aisyah, bisa kita berbicara sebentar? Aku ingin mengatakan sesuatu yang sangat penting padamu. Bisakah aku menelponmu sekarang?

Gadis itu tak langsung membalasnya. Ia tampak berpikir sejenak sambil memandangi layar handphone nya.

Aisyah:

Iya, silahkan.

Membaca balasan itu, ia segera menekan lambang telpon pada aplikasi facebook. Dering pertama, gadis itu tidak langsung mengangkat. Sepertinya ia ragu-ragu untuk menjawab telpon itu. Dering kedua dan ketiga telah berbunyi. Kemudian pada dering keempat Aisyah memberanikan diri untuk mengangkat telpon itu. "Assalamualaikum." Terdengar sebuah salam dari pemuda diujung sana dengan logat khas timur tengah. "Waalaikumsalam." Aisyah menjawab salamnya. Mendengar suara gadis itu, Shoaib seketika merasakan ada getaran yang hebat didalam dadanya. Wajahnya memerah, nafasnya menjadi tak beraturan. Mereka terdiam untuk sesaat dan khawatir bahwa lawan bicaranya dapat mendengar suara detak jantung masing-masing yang telah tak karuan itu.

Mendengar suara itu seketika membuatnya lupa akan apa saja yang ingin disampaikannya. Ia segera memutar otak untuk menyambung pembicaraan itu. "Aisyah, how are you doing today? (Aisyah, apa kabarmu?)" tanyanya dengan nada yang lembut. Logat bahasa inggrisnya sangat fasih walaupun tidak sefasih penutur aslinya. Kata-kata yang digunakannya untuk menyapa juga bukanlah kata-kata yang umumnya diajarkan di sekolah formal. Walaupun begitu, terdengar sedikit sekali logat Turkinya. Tampaknya keahliannya sangat bagus dalam berbahasa inggris. "I am doing good. What about you? (Saya baik. Bagaimana denganmu?)" Mendengar suara gadis itu lagi, ia tersenyum untuk yang kedua kalinya. Suaranya terdengar sangat manis didengarkan. Ia takjub dan tidak sengaja terucap "Ya Allah" dari bibirnya. Gadis itu heran lalu bertanya, "Kenapa?"

"Tidak apa-apa. Hanya saja sangat sempurnanya Allah memberimu suara semanis itu." Mendengarnya, Aisyah tak dapat menahan tawanya. Ia tertawa pelan sambil berkata. "Saya bukan gula, tuan." Tanpa sepengetahuan Aisyah, tawanya telah membuat deru angin yang hangat berhembus lebih kencang pada pemuda itu. Desiran di dadanya semakin kencang. Aliran darahnya semakin cepat dan sesuatu terjadi dibawah sana. Shoaib mencoba mengendalikan diri. "Aisyah tidak sekolah hari ini?"

"Ayah tidak memperbolehkanku pergi ke sekolah karena tanganku masih terluka." Kemudian ia menceritakan kejadian itu secara singkat dengan bahasa inggris yang sangat fasih seperti layaknya orang Amerika pada umumnya. Lawan bicaranya dapat memahaminya dengan sangat baik walaupun ada satu atau dua kata yang tidak dapat dipahaminya karena Aisyah mengucapkannya terlalu cepat. "Kasihan sekali. Semoga lekas sembuh ya Aisyah kecil. Aisyah kecil yang manja." Ia tertawa dengan nada yang meledek. "Aku tidak manja", jawab Aisyah dengan senyuman yang ditahan. "Baiklah kalau begitu. Aisyah yang cantik. Secantik bunga dandelion." Aisyah tertawa mendengarnya lalu membetulkan pengucapan kata dandelion. Mereka berdua kemudian tertawa bersama. Mendengar tawa putrinya dari lantai dua, ayahnya penasaran lalu naik keatas dan masuk ke kamar Aisyah yang pintunya terbuka lebar. Menyaksikan putrinya tersenyum, ayahnya ikut tersenyum lalu berkata, "Sepertinya putri ayah senang sekali." Ayahnya kemudian duduk disamping putrinya. "Dia sangat lucu, ayah", ucap Aisyah. "Hei, ayahku ada disini. Mau berbicara sebentar dengannya?" Mendengarnya seketika senyuman pemuda itu terhenti. Ia merasa gugup. Namun ia harus menghadapinya. Kemudian pemuda itu menyetujuinya.

"Assalamualaikum. Siapa kamu?", ayahnya tersenyum berpura-pura tidak mengenalnya.

"Waalaikumsalam. Nama saya Shoaib Yousafzai. Saya berasal dari Turki dan saat ini saya tengah menempuh pendidikan kedokteran."

Mendengarnya, ayahnya tersenyum lalu berbisik nakal pada putrinya, "Dia sangat gugup." Aisyah tersenyum mengetahuinya.

"Lalu?" tanya ayahnya.

"Saya... saya menyukai putri bapak." Ia terhenti sejenak. Pemuda itu tampak ragu untuk melanjutkan.

"Lalu? Hanya itu?" ayahnya tersenyum sambil mengangguk pada putrinya. Aisyah mengerti makna isyarat itu. Gadis itu menunduk malu.

"Saya sangat mencintai putri bapak. Tetapi, maafkan saya pak. Saya dari keluarga yang kurang mampu. Kami hanya tinggal di sebuah desa kecil di pelosok Turki dan orang tua saya adalah penggembala kambing dan sapi. Saya hanyalah pemuda biasa yang dengan beraninya telah menjatuhkan hati kepada putri bapak."

Aisyah menyadari perubahan ekspresi ayahnya. Ayahnya yang semula tersenyum, kini ia hanya terdiam dengan ekspresi datar. Ia memandangi putrinya begitu lama dengan tatapan yang dalam. Kedua alis Aisyah mengkerut melihatnya.

"Semua itu tidaklah masalah selama masih ada Allah dan Rasul dihatimu. Jika kau memegang erat itu, Insyaallah Aisyah akan bahagia." Ayahnya masih memandang lekat kearah putrinya. Tatapan yang penuh makna. Sementara itu, pemuda yang jauh disana bertakbir berkali-kali karena haru dan bahagianya. Ia menangis tersedu-sedu tak percaya atas apa yang telah didengarnya. Ayahnya perlahan mengakhiri percakapan itu dan menutup telponnya. Aisyah memandang ayahnya dengan tatapan bertanya-tanya. Kemudian dilihatnya ayahnya duduk berlutut dihadapannya seperti halnya saat ia masih kecil dulu. Laki-laki itu meraih jemari putrinya lalu berkata dengan lembut, "Aisyah, sesungguhnya pemuda Turki itu hanyalah dari latar belakang keluarga yang biasa saja, jauh berbeda dengan kita. Orang tuanya adalah pengembala kambing dan sapi. Dia tidak bisa menjamin untuk membawa suasana Amerika untukmu. Aisyah akan tinggal di desa dengan serba kekurangan dan kesusahan. Tetapi ayah menyetujui apapun yang akan Aisyah putuskan. Jika Aisyah menerimanya, Insyaallah Allah akan membangunkan beribu-ribu istana untuk Aisyah di surga karena kesabaran Aisyah. Jika Aisyah menolak, Insyaallah Allah juga akan mempersiapkan pemuda yang lebih layak untuk Aisyah. Sekarang semua pilihan berada ditangan Aisyah."

Mendengar penuturan ayahnya, Aisyah tak menunjukkan perubahan ekspresi apa-apa. Di akhir kalimat ayahnya, Aisyah tersenyum lalu berkata, "Ayah, sesungguhnya Aisyah sudah menduga tentang hal itu. Diawal percakapan kami kemarin, dia mengatakan bahwa dia tinggal di desa. Dari situlah Aisyah dapat menduga semuanya yang telah ayah sebutkan tadi. Lalu jika Aisyah sudah tahu akan hal itu, kenapa Aisyah masih melanjutkan perbincangan ini dengannya sampai saat ini? Karena Aisyah sudah memutuskan sesuatu yang Aisyah anggap baik untuk Aisyah." Ayahnya menatap putrinya dengan mata yang berkaca-kaca. Putri kesayangannya dengan lapang dada menerima kehidupan yang serba kekurangan. "Ayah ingat dulu ketika ayah masih bekerja di kebun? Percayalah ayah, Aisyah akan baik-baik saja. Di Amerika ataupun di Turki akan tetap sama bagi Aisyah selama masih di tanahnya Allah." Melihat keteguhan hati putrinya, ayahnya merasa terenyuh. Malaikat dari langit ke berapa yang telah dirawatnya ini, batinnya. Ia rela melepaskan semua pernak-pernik duniawi yang dimilikinya demi pemuda asing itu.

Seusai Mr Smith menutup telpon itu, ia menjadi tidak sabar menunggu jam pulang. Ia sangat ingin memberitahu orang tuanya tentang hubungannya dengan gadis itu. Hatinya sangat berbunga-bungga hingga dirasakan dadanya nyaris meledak karenanya. Ia seakan-akan sedang menghirup seluruh oksigen yang ada di muka bumi ini setiap detiknya. Rekannya masuk ke dalam ruangan dan menyadari perubahan aura itu. Hakan bertanya padanya dengan keheranan, "Ada apa? Apa yang terjadi denganmu?" Shoaib hanya menggeleng tak menjawab sambil tersenyum. "Baiklah. Entah apa yang telah terjadi padamu, yang terpenting sekarang cepatlah ke ruang operasi. Jadwal operasi dimajukan."

Dengan segera kedua pemuda itu menuju ruangan operasi dan menyusul keempat temannya. Mereka tidak ingin melewatkan kesempatan itu. Ruangan operasi tulang itu dilengkapi dengan peralatan operasi yang sangat lengkap dibandingkan di kota-kota lain. Semua terlihat bersih dan dijamin higienis. Lampu putih sudah dipusatkan pada bagian tubuh pasien yang akan dibedah. Semua perawat dan dokter profesional di ruangan itu pun sudah mengenakan baju hijaunya. Terdapat juga kamera kecil yang dipasang diatas bagian tubuh pasien yang akan dioperasi untuk menampilkan pada layar besar yang berada diruangan seberangnya supaya para calon dokter itu bisa mengamati dengan jelas dan mempelajarinya. Shoaib dan kawan-kawannya sudah memegang buku catatan masing-masing. Shoaib membetulkan letak kacamatanya sekali lagi. Kedua ruangan itu dipisahkan oleh kaca lebar yang transparan untuk memungkinkan orang yang berada di ruangan sebelah menyaksikan jalannya operasi dengan leluasa.

Sedangkan ribuan kilometer dari sana, Aisyah tengah menanti kedatangan Bethany dan Lucy dirumahnya. Mereka bolos sekolah untuk melihat kondisi Aisyah. Lebih tepatnya mereka malas datang ke sekolah lagi. Karena letak rumah Lucy dan Beth yang berbeda arah, maka mereka datang tidak bersama-sama. Beth datang terlebih dahulu dan Lucy datang kemudian. Melihat mobil sport biru Beth terparkir disana, ia segera memarkirkan mobil Porsche 911 nya tepat disebelah mobil Bethany. Kemudian ia naik keatas menggunakan lift yang berada diujung basement apartemen itu. Saat memasuki kediaman keluarga Smith, langsung tampak aura keislamannya. Dekorasi dinding yang bernuansa Islami, hiasan lampu, ukiran pada pintu setiap ruangan menciptakan aura yang sangat kental akan agama Islam. Terdengar pula suara yang lembut murattal bacaan Al-Qur'an yang diputar secara berurutan dari youtube. Terlebih lagi, Aisyah dan ibunya selalu terlihat mengenakan baju yang panjang selama di dalam rumah. Lucy membuka pintu dan terlihat kedua temannya duduk bersandingan di sofa panjang itu. "Kenapa lama sekali?" tanya Aisyah ramah. "Tadi jalan Motter ditutup. Jadi aku putar balik." Jawabnya sambil merebahkan diri di sofa empuk itu. "Baiklah, sekarang formasi kita sudah lengkap." Aisyah tersenyum sambil meminum secangkir teh. Beth yang semula tersenyum seketika ia melamun panjang sambil berkata, "Aku masih berharap kalau kita nanti satu kampus lagi."

Lucy tertunduk sedih menyadarinya. Beth dan Aisyah akan kuliah di kota yang berbeda sedangkan dirinya akan pergi ke Belanda untuk meneruskan studi nya. "Aku harap kalian tetap disini. Kita bisa tetap bersama-sama lagi seperti sekarang." Ucap Beth. Sejenak Aisyah larut dalam kesedihan itu. Lucy sudah tersedu-sedu dan sesekali mengusap air matanya. Mereka bertiga terdiam dalam pikiran mereka masing-masing. Ini seharusnya menjadi momen yang bahagia mengingat hari perayaan kelulusan mereka yang semakin dekat. Namun secara tidak langsung, ini merupakan momen perpisahan yang paling mengharukan. Mereka bertiga terdiam sambil membayangkan masa-masa indah bersama yang sudah terjalin selama tiga tahun itu. Mereka masih mengingat dengan jelas bagaimana pertemuan awal mereka.