webnovel

Aisyah, Aku Pergi

Malam telah tiba, Aisyah kembali ke kamarnya untuk belajar. Pemuda itu masih belum menghubunginya hingga gadis itu mengantuk dan jatuh tertidur di atas kasurnya. Ibunya yang melihat pintu kamar Aisyah masih terbuka kemudian ia masuk dan mematikan lampu. Ia mengecup lembut kening putrinya lalu berjalan keluar. Ketika ia hendak menutup pintu itu, terdengar suara notifikasi masuk ke handphone putrinya. Ia tersenyum menyadarinya sambil menutup pintu itu pelan-pelan. Disaat yang bersamaan, jauh di alam mimpi Aisyah, ia melihat seseorang itu lagi. Mimpi itu tidak terlihat film 90-an seperti sebelumnya. Ia bisa melihat wajah pemuda yang ada dihadapannya itu. Pemuda itu keluar dari rumahnya yang sangat sederhana itu yang masih berdindingkan tanah yang berwarna coklat mirip seperti peradaban Arab di jaman dahulu. Ia tersenyum sambil meraih tangan Aisyah dan menuntunnya masuk ke mobil mewah yang berwarna merah. Sedikit tidak masuk diakal namun itulah yang tengah dimimpikannya.

Mobil merah itu berjalan mulus melintasi jalanan beraspal itu. Jalanan tampak sedikit berliku di atas pegunungan. Pegunungan itu tandus dan hanya ada sedikit pepohonan hijau. Jalanan itu sangat rata seperti halnya jalan tol. Sisi kiri jalan itu adalah jurang. Aisyah dapat melihat jelas lahan luas yang kering nun jauh disana. Sepanjang mata memandang hanyalah pegunungan yang meliukkan punggungnya melingkari jalan beraspal. Walaupun begitu, cuaca tidaklah panas. Suasana pagi itu dirasakannya sejuk dan romantis. Sang mentari tampak masih malu-malu untuk muncul dari balik pegunungan. Di dalam mimpi itu, senyuman selalu terlihat menghiasi bibir merah Aisyah. Ia melirik kearah sang pengemudi dan pemuda itu juga melihat kearahnya dengan seulas senyuman. Rambut hitamnya menari-nari tertiup angin. Kedua mata hitam dibalik kacamata itu tampak begitu jelasnya. Telapak tangan kanan Shoaib terasa hangat menggenggam erat tangannya. Mimpi itu kemudian berganti kaset. Kini dirasakannya ia tengah berada ditengah-tengah lautan yang biru. Kapal pesiar berwarna putih mengapung tak jauh di sebelahnya. Pemuda yang bernama Shoaib itu dilihatnya bertelanjang dada. Rambut hitamnya telah basah oleh air asin. Pemuda itu juga mengambang diatas lautan bersamanya. Kakinya menendang-nendang air dibawah sana untuk tetap membuat tubuhnya mengambang di permukaan air. Kedua tangannya mengenggam tangan Aisyah. Mereka berhadapan dan Shoaib tersenyum padanya. Berbanding terbalik dengan Aisyah yang khawatir dan sangat takut dengan lautan. Terlebih lagi ia sama sekali tidak bisa berenang.

"Aku lepas ya." Ucapnya sambil melepaskan satu per satu genggaman tangannya. Gadis itu mengernyitkan kedua alisnya ketika pemuda itu benar-benar melepasnya. Ia sama sekali tidak siap dan menggeleng. Shoaib tersenyum padanya sekali lagi. Perlahan-lahan tubuhnya tenggelam hingga hanya menyisakan matanya saja diatas permukaan. Melihat itu, Shoaib menjadi panik dan segera meraih tubuh Aisyah lagi. Diangkatnya tubuh Aisyah ke permukaan dan menjaga keseimbangannya. Wajah mereka sangat dekat hingga dapat dirasakan nafas pemuda itu yang menyentuh pipinya. "Are you okay? I am sorry." Aisyah terbangunkan oleh suara alarmnya yang berbunyi. Ia memejamkan kedua matanya dan beristighfar berulang kali mengingat apa yang telah dimimpikannya itu. Sosok pemuda itu sangat jelas terlihat disana. Ia segera bangkit lalu merapikan kasurnya. Tak sengaja matanya melirik kearah handphone yang terletak di meja belajarnya. Seketika dengan cepat ia meraih handphone itu dengan senyuman yang mengembang ketika dilihatnya ada notifikasi masuk pada layar handphone nya.

Pukul 01:33 AM, waktu Amerika

Assalamualaikum, Aisyah. Apakah Aisyah sudah tidur? Maaf baru sempat mengubungimu. Hari ini sangat melelahkan. Banyak hal yang harus kulakukan di rumah sakit. Kondisiku juga sempat menurun karena kelelahan. Tetapi aku sudah lebih baik sekarang, jangan khawatir. Aku juga sudah meminum vitamin untuk menstabilkan kesehatanku. Aisyah disana juga jaga kesehatan ya. Jangan sampai sakit. Nanti kalau Aisyah sakit, lalu siapa lagi yang membuatku tersenyum? Setiap pesan yang Aisyah kirimkan selalu berhasil membuatku tersenyum.

Pukul 03:11 AM, waktu Amerika

Waalaikumsalam. Iya, saya tau kalau anda sibuk. Jaga kesehatan ya.

Aisyah kemudian meletakkan handphone nya di atas kasur dan turun ke lantai satu untuk menunaikan sholat tahajud. Seusai salam, ia wiridan sambil menunggu satu per satu anggota keluarganya berkumpul untuk sholat subuh bersama. Ibunya selalu yang pertama bangun disetiap paginya. Entah apa saja yang dilakukannya. Ia membersihkan apa saja dan mencuci apa saja yang perlu dicuci. Ia tak pernah membiarkan tubuhnya istirahat barang sejenak saja. Ia selalu bekerja sangat keras untuk menjadi ibu dan istri yang terbaik walaupun bagi ayahnya apa adanya sudah sangat cukup baginya. Ayahnya tak pernah memaksa keadaan rumah harus selalu rapi dan bersih karena ia tahu pekerjaan rumah adalah yang terberat daripada bekerja mencari uang. Tetapi ibunya terus berusaha menjadi yang terbaik untuk mereka semua. Pagi itu aktifitas mereka sama seperti biasanya. Ketika Aisyah menalikan tali sepatunya, terdengar suara notifikasi masuk di handphone nya. Dengan segera ia meraihnya dan melihat nama di layar itu. Awalnya ia mengira kalau pesan itu berasal dari Shoaib, tetapi harapan itu pupus ketika yang dilihatnya adalah nama Lucy. Sahabatnya itu menawarkan pada Aisyah bahwa ia perlu menjemputnya atau tidak. Aisyah menjawab ia akan berjalan kaki saja ke sekolah pagi ini. Tak lupa ia juga mengucapkan terimakasih kepada Lucy. Hari itu Asma juga mempunyai kelas di pagi hari. Jadi mereka berdua berangkat bersama-sama seusai sarapan pagi.

"Bagaimana kabar Yasir?" tanya Aisyah pada Asma. "Alhamdulilah sehat. Minggu-minggu ini dia tidak datang ke kampus. Dia sedang mengisi seminar di kampus lain. Mata perkuliaannya pun diundur dan akan diadakan kelas tambahan. Aku berharap sih dia tidak menaruh kelas tambahan itu ke jam malam. Aku mau tidur lebih awal setiap malamnya." Aisyah tertawa mendengar perkataan kakaknya itu. "Kau malas datang ke perkuliahan malam tetapi setiap malamnya kau membaca buku pelajaran terus. Sama saja kan kuliah atau tidak." Asma menjawab, "Tentu beda, Aisyah. Kalau di kelas aku tidak bisa makan dan minum seenakku. Apalagi jika itu kelas Yasir, dia sangat tegas kepada siapapun. Ketika dikelas, dia menganggapku sama seperti mahasiswa lainnya. Dia juga dengan beraninya memberiku hukuman." Mata Aisyah terbelalak mendengarnya, "Benarkah? Aku tidak menyangka dia seperti itu." Asma berkata lagi, "Awalnya aku juga tidak menyangka. Tetapi ketika dikelas dia menjadi sosok yang sangat berbeda. Dia menjalani profesinya dengan sangat profesional."

"Lalu bagaimana responmu setelah menerima hukuman dari Yasir?" tanya Aisyah. "Tentu saja aku sangat marah dan tidak mau memandang kearahnya yang sedang mengajar didepan kelas. Aku tetap menulis dan membaca buku pelajaran. Aku menjadi tidak seaktif biasanya ketika jam perkuliahannya. Dia menyadari perubahan sikapku dan ketika dia lewat ke arah mejaku, tanpa diketahui oleh teman-teman dia menyelipkan sebuah kertas kecil kebawah bukuku. Dia meminta maaf dan menuliskan kata-kata merayu untuk mencoba menghiburku." "Apakah itu berhasil?", tanya Aisyah. Kakaknya tersenyum lalu menjawab, "Sebenarnya wanita itu gampang sekali luluh hatinya kepada seseorang yang dia cinta. Kau akan memahaminya suatu hari nanti." Aisyah meninggalkan kakaknya di halte bus dan ia melanjutkan perjalanannya ke sekolah yang terletak beberapa meter didepan sana. Beberapa menit kemudian terlihat mobil sport Pininfarina Battista warna abu-abu melintas pelan disebelah kanannya. Kedua mata birunya bertemu dengan mata Chris selama tiga detik. Mereka berdua bergeming tak berkata apa-apa. Chris juga tidak menawarkan Aisyah untuk naik ke mobilnya karena ia yakin bahwa gadis itu akan menolak tegas ajakannya. Ia sangat mengenali Aisyah.

Sesampainya di sekolah, terlihat sosok Chris yang berdiri menyandar pada pintu mobilnya tampak sengaja menanti seseorang. Ketika mata Chris bertemu mata Aisyah, ia menghentikan ayunan kunci itu diantara jemarinya. Sikapnya berubah menjadi salah tingkah dan memandang ke arah Aisyah cukup lama. Ia sepertinya ingin mengatakan sesuatu pada gadis itu. Namun Aisyah menunduk dan berjalan masuk tak menghiraukannya. Setibanya dikelas ketika semua siswa sudah terkumpul, wali kelasnya datang dan menggabungkan siswa kelas lain berkumpul menjadi satu di kelasnya Aisyah. Kelas itu adalah kelasnya Chris. Terlihat pemuda itu berjalan memasuki kelas. Ia tertawa dan bercanda dengan kawan-kawan seangkatannya. Beberapa siswa memukul punggungnya tanda keakraban. Chris juga merangkul bahu mereka. Sepertinya mereka sedang melontarkan lelucon yang sangat lucu. Ketika mata Chris bertemu dengan mata biru Aisyah, tawanya terhenti dan ia perlahan berjalan menuju bangku Edward yang berada tepat di kanan bangku Aisyah. Pemuda itu menyapa dan bersenda gurau sejenak dengan Edward kemudian duduk di kursi itu. Semenit kemudian, ia menoleh ke arah Aisyah dan tersenyum simpul padanya. Aisyah membalas senyuman itu dengan senyuman yang agak canggung. Mr Trevor Engelson memulai pengarahannya tentang gladi bersih kelulusan kepada siswa-siswanya. Selama di kelas itu, Chris sesekali mencuri-curi pandang menatap kearah Aisyah. Tampaknya gadis itu menyadarinya tetapi tidak sekalipun ia memperdulikan. Mr Trevor Engelson terus menjelaskan tentang runtunan acara kelulusan itu sampai bel makan siang berbunyi.