webnovel

Aisyah, Aku Pergi part 2

Aisyah berdiri diikuti oleh Chris. Pemuda itu tampak sedang mengumpulkan tenaga untuk memberanikan diri menyapa Aisyah terlebih dahulu. "Aisyah, kau mau sholat ya?" Gadis itu hanya mengangguk tak menjawab. "Aku ikut denganmu ya." Ia mengukuti langkah Aisyah menuju ke perpustakaan. Sepanjang lorong kelas sampai ruang perpustakaan, Aisyah tak bersuara sepatah kata pun. Ia diam seribu bahasa. Ia tengah menutup pintu-pintu setan yang terkutuk. Bahkan ia tak memberikan ijin untuk mereka berbisik padanya, membisikkan kata-kata neraka berlabelkan surga. Ia tak akan tertipu lagi kali ini. Tetapi bala tentara setan sungguhlah luar biasa, sekali ia gagal maka ribuan panah dan bom akan ia coba untuk menghancurkan tembok iman seorang manusia sampai akhir usianya. Ia tak pernah merasa lelah untuk menggoda. Maka dari itu, Allah sungguh-sungguh memberi peringatan kepada para hambanya tentang tabiat setan.

Sesampainya di perpustakaan, secara inisiatif Chris membantu Aisyah menyapu sisi sudut ruangan dan menggelar sajadah Aisyah sedangkan Aisyah menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu. Gadis itu hanya mengucapkan terimakasih, tak lebih dari itu. Melihat Aisyah sholat untuk yang kesekian kalinya, ia sudah menghafal gerakan-gerakan sholat namun masih belum ada getaran di hatinya. Ia masih belum berpikir sejauh itu. Yang diketahuinya saat ini hanyalah sebatas perasaan cinta. Seusai salam, ia duduk berjarak di sebelah Aisyah dan gadis itu meraih Al-Qur'annya. Ketika gadis itu hendak memulai bacaannya, Chris membuka suaranya terlebih dahulu.

"Aisyah." Gadis itu mendongakkan kepalanya memandang Chris ketika mendengar suaranya. "Apakah kau memiliki Al-Qur'an terjemah? Aku sangat ingin memilikinya." "Iya, ada. Kebetulan sekali aku membawanya hari ini." Gadis itu bangkit dan meraih kitab itu dari tasnya. Sebenarnya permintaan itu sengaja Chris sampaikan untuk menunjukkan keseriusannya untuk mempelajari agama Islam dan berharap Aisyah simpati padanya. "Ini akan menjadi barang yang paling berharga yang pernah kumiliki. Terlebih lagi karena ini pemberian darimu", ucap Chris. Aisyah bergeming tak merespon apa-apa. Melihatnya, Chris memutar otak cepat, ia telah membulatkan tekadnya untuk mengungkapkan perasaannya kepada Aisyah. Ia membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mengatakannya. Butuh nyali yang besar hanya untuk mengatakan cinta. Setelah tiga tahun, perasaan itu harus diutarakannya. "Aisyah." Gadis itu menoleh kearahnya. "Sebenarnya, sedari dulu aku menyukaimu. Aku selalu menyukaimu dan sangat sangat sangat suka padamu. Aku rela melakukan apapun yang kau minta, bahkan jika itu tentang agamaku. Aku rela masuk ke agama Islam untukmu. Aku mau menyembah tuhanmu sama sepertimu. Aku mau melakukan apapun yang kau minta. Aku sangat menyukaimu, Aisyah." Ia mengatakannya tanpa jeda seperti halnya puluhan gerbong kereta api yang sedang melintas tanpa henti. Diujung kalimatnya, ia menghembuskan nafasnya lega. Aisyah mendengar pengakuan itu, ia tak menunjukkan ekspresi apa-apa. Tidak terkejut dan tidak pula senang. Pemuda itu mencoba menerka-nerka apa yang akan Aisyah katakan. Apakah itu hal yang baik atau sebaliknya. Detak jantungnya berdegub kencang sembari menunggu respon Aisyah. "Maaf Chris, aku telah menyukai seseorang dari Turki", ungkapnya tanpa basa-basi. Mendengar itu, seketika tubuhnya lemas tak berdaya. Tenaganya habis dan kepalanya serasa meledak. Suhu tubuhnya naik dan turun. Wajahnya memerah karena kecewa bercampur amarah. Namun ia mencoba mengendalikan situasi dan berpura-pura baik-baik saja. Walaupun begitu, ekspresinya sangat mudah sekali ditebak. Aisyah tahu bahwa hati Chris sangat hancur, namun ia harus mengatakan apa adanya.

"Turki? Kalau begitu pasti dia sangat tampan seperti orang arab ya? Pasti warna matanya hitam sehitam danau di malam yang pekat. Pasti dia sangatlah gagah. Wah kau sangat beruntung, Aisyah. Kalian benar-benar pasangan yang serasi. Kalau begitu, selamat untuk kalian berdua. Semoga Allah selalu bersama kalian." Senyumannya terlihat sangat canggung dan nada suaranya terdengar tak beraturan. Gadis itu hanya mengangguk mengiyakan. Sebuah penolakan dan sikap dingin dari gadis itu dirasakannya sangat menyakitinya. Ia berusaha sekuat tenaga untuk menahan air matanya untuk jatuh. Dadanya terasa sangat sakit dan sesak. Udara diruangan itu seakan-akan habis. Kemudian, dengan nada memelas ia memohon. "Aisyah, ayahku menyuruhku untuk kuliah di Inggris. Tetapi jika kau mau, aku bisa…." Kalimatnya dipotong oleh Aisyah, "Pergilah, Chris. Pergilah. Penuhi keinginan ayahmu."

Mendengar itu terucap langsung dari bibir pujaan hatinya, seketika ia merasa bahwa bumi terbelah dua dihadapannya dan dirinya masuk terkubur didalamnya. Saat itu hatinya hancur untuk yang kedua kalinya. Harga dirinya telah hilang. Ia langsung bangkit dan pergi meninggalkan gadis itu di perpustakaan. Banyak hal yang bergentayangan didalam benaknya. Setiap detik amarah dan kekecewaannya semakin bertambah besar. Dadanya terasa sangat sesak dan sakit. Suasana hatinya saat itu sangatlah hancur. Setiap langkah yang dipijakinya itu terasa seperti menuju ke neraka. Entah apa jadinya dia tanpa Aisyah. Ia sangat tidak siap untuk kehilangannya. Kalimat Aisyah berdengung ditelinganya berulang-ulang, "Pergilah, Chris. Pergilah.... Pergilah, Chris. Chris, pergilah."

Di sisa jam makan siang itu, ia menghabiskan waktunya dengan menyendiri di sudut lorong yang gelap. Sudut tembok yang berdekatan itu sempurna menyembunyikan tubuhnya yang duduk meringkuk. Tatapannya kosong dan pikirannya terbang kemana-mana. Dadanya dirasakannya semakin sesak setiap detiknya. Ketika bel berbunyi, ia berjalan gontai menuju kamar mandi untuk membasuh mukanya. Dilihatnya pantulan dirinya dicermin yang lebar itu dan memandangi wajah tampannya yang basah. "Apa kurangnya aku? Aku memiliki segalanya. Aku menguasai semuanya. Aku bisa memberikan semua yang dia inginkan. Bahkan aku rela melepaskan agama dan keyakinanku hanya demi dirinya. Apakah aku masih kurang dibandingkan dengan pemuda Turki itu? Mengapa kau memilihnya? Apa kelebihan dia dibanding aku? Apa yang bisa dia berikan untukmu? Seberapa hebatnyakah dia dibanding aku?"

Tatapannya berubah menjadi iblis dalam hitungan sekian detik. Penuh dengan kebencian. Tak lama kemudian kalimat Aisyah itu kembali berdengung pelan ditelinganya,"Pergilah, Chris. Pergilah.... Pergilah, Chris. Chris, pergilah." Amarahnya memuncak dan ia memecahkan cermin itu dengan benda tumpul yang berada di sudut kamar mandi. Dihantam-hantamkannya ke permukaan kaca berulang kali hingga cermin lebar itu hancur tak berbentuk. Ia melampiaskan semua amarahnya saat itu juga. Mendengar kegaduhan itu, seketika beberapa petugas kebersihan dan beberapa siswa datang untuk melihat apa yang sedang terjadi di dalam kamar mandi. Setelah melihat kegilaan Chris, beberapa orang diantara mereka berlari untuk memanggil petugas keamanan. Mereka segera datang ke kamar mandi dan berusaha untuk melumpuhkan Chris. Namun tidak semudah yang dikira. Chris yang menguasai teknik karate sejak dulu, ia melawan dan semakin menjadi-jadi. Dia memukul, menendang, menghindar dan kelima petugas keamanan itupun terkapar di lantai. Mereka mengerang kesakitan. Beberapa diantaranya mengalami patah tulang lengan.

Chris berjalan keluar dengan tatapan iblisnya. Api amarah masih membara di sorot matanya. Semua orang yang berkumpul itu menghindar dan memberikan jalan untuknya. Banyak diantara mereka yang lari karena ketakutan. Kejadian itu sudah sampai ke telinga para guru dan para murid di sekolah itu. Chris telah menggila. Semua tidak ada yang berani menghentikannya. Petugas keamanan yang berusaha menghadangnya lagi, mereka tidak berhasil untuk menghentikannya. Tak satupun dari mereka yang berkutik. Semua mata itu hanya bisa memandangnya dengan tatapan takut. Darah merah merembes pelan dari kepalan tangannya dan disudut bibirnya akibat duel sengit itu. Kemudian, ia mengelap darah itu ke kemeja yang dikenakannya. Aisyah sangat terkejut menyaksikan apa yang telah terjadi. Chris yang dilihatnya sekarang sangatlah berbeda dengan Chris yang selama tiga tahun dikenalnya. Pemuda itu bagaikan iblis bertanduk tiga. Ia terus menghajar siapa saja yang menghalangi langkahnya. Amarahnya masih menggebu-nggebu. Seseorang harus menghentikannya secepatnya.

Aisyah membaca basmalah dan doa-doa kemudian ia berjalan menghampiri Chris. Ia berhenti tepat didepan langkah Chris. Kedua mata mereka bertemu. Terlihat jelas oleh Aisyah sebuah tatapan iblis yang merasuk kedalam dirinya itu. "Ada apa denganmu!" ucapnya dengan suara lantang. Chris hanya tersenyum sinis kemudian meludahkan darah yang tersisa dimulutnya kebawah. Ia tak berkata apa-apa dan mendorong keras tubuh Aisyah minggir dari jalannya. Ia melanjutkan langkahnya menuju parkiran sekolah. Dengan sigap ia menghidupkan mesin dan memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Suara decitan ban mobilnya terdengar hingga ujung pintu gerbang. Sisa-sisa debu berterbangan keatas dan menyisakan sekolah yang kacau-balau.

Para guru sudah menghubungi kedua orang tua Chris dan menceritakan apa yang telah terjadi. Seketika mereka meninggalkan pekerjaan mereka di kantor dan segera pergi menghampiri putranya itu. Sementara itu di jalan raya, Chris mengendarai mobilnya dengan kecepatan yang tinggi dan beberapa kali nyaris menyebabkan mobil lainnya bertabrakan. Ia mengacaukan lalu lintas di siang hari itu. Beberapa mobil polisi mengejarnya dan menembakkan pelurunya berulang kali kearah mobil Chris untuk memaksanya berhenti. Namun sangat beruntungnya ia, ia lolos lagi kali ini. Mobilnya meluncur bebas dan meninggalkan mobil-mobil polisi dibelakang. Mobil sport Pininfarina Battista warna abu-abu itu kemudian melesat cepat menuju salah satu bar di tengah-tengah kota. Polisi-polisi itu kehilangan jejaknya. Melihat kondisi Chris yang memprihatinkan dengan bercak darah dan kemejanya yang lusuh, semua mata memandang kearahnya. Ia mengacak rambutnya yang sudah berantakan itu dan memesan beberapa botol minuman keras.

Sementara itu, kedua orang tuanya sudah tiba di sekolah sambil membawa mobil masing-masing. Ayahnya dari arah selatan dan ibunya datang dari arah timur. Mereka terlihat sangat khawatir dan panik. Ayahnya hanya bisa menyesalkan apa yang telah diperbuat oleh putranya itu. Kata hatinya berkata bahwa Chris pasti melakukan sesuatu yang lebih buruk daripada ini di luar sana. Dengan segera ia meraih handphone nya dan meminta bantuan pada beberapa koleganya yang bekerja di kepolisian untuk melacak posisi Chris secepatnya. Ia juga meminta mereka untuk mengecek cctv yang berada di setiap jalan raya. Dengan cepat kabar itu meluas dan menyebar di seluruh kantor pusat kepolisian. Ayahnya juga memberitahu plat nomor mobil yang sedang dikendarai oleh putranya itu.