webnovel

Laksana

Adhinatha Laksana Bahuwirya, bukan manusia biasa, tapi bukan juga Iron Man

GwenXylona_ · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
26 Chs

Laksana | 15

•L A K S A N A•

"Ini alamat tower-nya, dan ini lantai beserta nomor unit punya anak lo" Dory memberikan kertas berisi alamat lengkap apartemen baru Nana pada Jay.

"Gimana cara nemuinnya, Om?" tanya Haechan yang duduk di sofa lain di ruang tengah itu.

"Gampang, bapakmu aja terlalu tolol, Chan" jawaban Dory langsung mendapat gamparan dari Jay, yang tentu saja dibalas gamparan pula oleh Dory ditengkuk Jay sambil melanjutkan perkataannya "Selama ini kan gps di hp Nana nyala" hanya begitu yang bikin Haechan dan Jay saling tatap.

Seolah mengatakan 'Kenapa nggak kepikiran ya?'.

"Oh iya, ini ada satu lagi informasi. Adhinatha itu dekat sama tetangga sampingnya yang dari Jepang, namanya Nakajima Yuta"

Jay terdiam "M-mereka satu tower?"

Dory mengangguk "Hmm,,, kenapa emang? Kata penghuni disana udah kayak anak-bapak"

"Nakashima Yudha itu yang dipanggil Nana jadi walinya tadi, Pa?" tanya Haechan penasaran.

Papa mengangguk "Tadi kita ketemu"

"Ngapain Nana manggil orang lain disaat lo posisinya lagi disekolahan itu?" Dory bertanya bingung.

Haechan yang memang baru pulang dari rumah sakit beberapa menit sebelum Dory datang itu pusing sendiri "Sebenarnya Papa sama Nana itu berantem karena apa?"

"Lahdalah,,, Jo udah cerita sama gue. Itu beneran??" Dory menyahut dengan nada terkejut.

Jay tentu saja menggeleng "Nggak, itu nggak benar. Gue nggak selingkuh"

"Hah?? Papa selingkuh??"

"Enggak, Haechan. Waktu itu Mamanya Nana salah paham, dan sekarang Nana juga salah paham. Papa nggak selingkuh sama siapapun"

"Bodoamat, Roséanne udah meninggal, dan sekarang Nana salah paham. Bukan waktunya lo mengelak, minta maaf aja sama Nana biar semuanya kelar" Dory memberikan solusi. "Lagian nih ya, Jay. Perempuan mana yang bakal diam pas suaminya pelukan sama wanita lain. Dan anak mana yang nggak marah sama ayahnya kalau memang itu kenyataannya" lanjutnya sarkastik.

Jay menghela napas "Cara membuktikan kalau gue nggak selingkuh sama dia, gimana?"

"Temuin sekretaris lo itu"

"Dia ikut sama suaminya di Bangka"

"Yaudah terbang ke Bangka, ajak Adhinatha!"

"Ketemu sama gue aja dia ngelak, apalagi diajak naik pesawat bareng, nglawak lo, Bang"

Dory terdiam, dia terlihat berpikir, begitu pula Haechan yang terlihat berpikir padahal nggak paham sama apa yang sedang dirinya pikirkan. "Nanti gue ke apartemennya dia dan coba ngobrol baik-baik, gue tahu kisah kelam lo sama Roséanne"

•••••

"Kalau ngrasa sakit kepala, punggung, atau mual, ini diminum ya"

Nana tersenyum kecut "Aku tahu ini obat apa, Om nggak perlu sembunyiin"

Yuta tercekat, hanya mampu menatap anak didepannya yang kini sedang tersenyum manis, namun sorot matanya kuyu dan nampak sangat kelelahan. "Na,,, k-kamu-"

Nana mengangguk "Sempat, waktu Mamaku meninggal, tapi kata Dokter aku udah sembuh. Tapi akhir-akhir ini aku ngrasain lagi"

"Kata Dokter Tala, kamu lihat kejadian yang sedikit mengerikan?"

"Kejadian bunuh diri teman seangkatanku, d-dia nggak gantung diri seperti A-Ama, tapi aku takut"

Yuta bergerak memeluk anak itu erat "Ada Om, jangan takut" bisiknya.

"Aku nggak apa-apa"

Omong kosong, setiap malam bahkan setidaknya ada satu barang yang pecah.

"Kalau ada apa-apa, kamu ketempat Om ya?" Yuta melepaskan pelukannya, dan Nana mengangguk mengerti.

"Makasih. Om sekarang mending pulang, mandi terus bobo ilah"

Yuta terkekeh sembari mengacak rambut Nana "Gumush,,, anak siapa sih"

"Anak Om"

"Oh- eh?? Hah??"

"Angkat aku jadi anakmu, Om"

¹³

"Kalau begitu, berarti lo salah paham"

Mark berdecih "Salah paham kata lo? Ckck,,, pengecut"

Tangan Nana sudah terkepal erat, namun dia masih bisa menahan diri untuk tidak melayangkan kepalannya itu ke wajah ganteng manusia didepannya itu. "Bukan gue yang ngirim, tapi Haechan"

"Dan lo pikir gue percaya? Gue bahkan kenal Haechan jauh sebelum lo, gue tahu dia kayak gimana"

Nana terdiam, jika dia tidak ada bukti sama saja dia hanya akan memasukkan diri kedalam kandang harimau. Tetapi otaknya terus berpikir mencoba mengelak, karena memang Nana berani bersumpah jika dirinya tak mengirim orang untuk balas dendam pada Mark sesaat setelah dirinya dibuat babak belur kala itu

"Oh iya, Adhinatha. Gue denger kala bokap lo nabrak ya?"

Nana tercekat ketika Mark menunjukkan foto mobil ayahnya yang ringsek bagian depannya karena menabrak sebuah pohon dipinggir jalan, matanya kian memerah menahan amarah "Lo!! Brengsek!!" geramnya.

"Butuh kaca?"

"Nggak ada Abisatya kayak lo!!"

"Dan nggak ada pembunuh di Bahuwirya!!"

Jantung Nana rasaya berhenti berdetak, kepalan tangan itu tanpa aba-aba melayang pada wajah Mark membuat mahasiswa itu sedikit terhuyung, bibirnya sedikit robek dan mengeluarkan darah. Dia berdecih "Ck,,, asal lo tahu ya, Adhinatha. Gue bukan lagi bagian keluarga Abisatya seperti yang lo katakan tadi!"

"..."

"Jadi, gue bebas mau nglakuin apapun tanpa mencoreng nama baik keluarga"

Buagh

Nana terhuyung, pukulan Mark tak main-main. "Asal lo tau, Bang. Setelah lo bikin gue babak belur, gue sakit. Oke gue emang lemah, dan gue nggak kepikiran sama sekali buat balas dendam ke lo!"

"Dan lo pikir gue bakal percaya? Lo hanya sakit, bukan mati, bisa aja nyuruh mereka ganti bikin gue babak belur"

Nana tidak ingin ada pukulan lagi, cukup sampai disini Mark kembali salah paham, jika ada adegan tonjok-tonjokan udah pasti Mark semakin membencinya. Jujur saja Nana ingin Mark yang dulu, yang bahkan Nana terpeleset tak sampai jatuh saja akan Mark gendong seharian, Mark yang tidak pernah membiarkan Nana terluka, akan maju nomor satu jika Nana disakiti oleh siapapun, dan Mark yang membisikkan padanya jika 'Nana nggak sendiri, kamu punya Abang'. Nana masih ingat bagaimana halusnya tutur kata Mark padanya, pelukan hangatnya, usapannya, ocehannya ketika dirinya sakit, dan masih banyak lagi.

Kini, meskipun Mark seharusnya wajar mendapatkan sebuah pukulan darinya, Nana tak sanggup.

"Gue berani sumpah kalau bukan gue yang kirim orang buat bikin lo babak belur. Itu bukan orang-orang gue!!"

"Galang, Taksa, Aksa, dan Yosha."

Nana tercekat, keempatnya merupakan teman yang terbilang dekat dengannya.

"Sumpah lo palsu, pembohong!"

•••••

"Padahal kan mobilnya baru diservis, kok bisa rem-nya blong??"

"Bisalah, orang ada yang putusin kabelnya"

"Ha?? Gimana?" Haechan dan Mama sama-sama terkejut.

Jay mengangguk sembari menatap miris mobil mewahnya yang bagian depannya sudah rusak itu "Ada yang sengaja mau celakain Papa" jawabnya enteng.

"Papa tahu?"

"Kamu tahu nggak, kalau dulu itu Papa pernah gabung di kelompok tertentu yang kerjanya pakai insting"

"Nggak"

"Sekelompok sekte, nyaris kayak mafia. Kami bisa tahu ada lawan dimana, senjatanya apa, apa rencananya hanya dengan insting. Dan kamu tahu nggak kalau Papa pernah kuliah psikologi"

"Masa???" Mama bahkan tidak tahu.

"J-jadi kalau aku atau Nana bohong, Papa tahu?"

Jay mengangguk "Tapi itu privasi kalian, jadi Papa diam pas kalian bohong"

"Kau mau tanya boleh?"

Jay mengangguk. "Apa??"

"Kok Papa bisa keluar dari sekte itu dengan selamat, biasanya kan lenyap?"

Jay terkekeh "Ya karena Papa bos-nya, siapa yang berani sama Papa"

Sepertinya Haechan salah memilih Papa tiri.

¹³

"BENTAR ELAH!!"

Bell masih terus berbunyi secara urakan, Nana jadi malas membuka, penasaran seberapa kuat jari calon tamu-nya diluar sana yang mencet bell kok kasar banget, tapi dia masih waras untuk segera membuka pintunya dengan santai. Begitu tahu siapa yang menjadi tamunya, Nana terdiam ditempat.

"Akhirnya, dibuka juga"

"Om ngapain?"

Tubuh Nana diterjang pelukan erat, setelahnya tubuh itu diputar sana-sini mempastikan tidak ada luka dan lecet membuat Nana pening "Pusing, Om. Ngapain sih?"

"Tubuhnya oke, tapi bibir kamu lebam gitu, berantem ya?"

"..."

"Nggak apa-apa, namanya laki, wajar berantem. Pasti berantemnya rebutan cewek" tanpa disuruh pun, Dory masuk kedalam apartemen Nana.

"Wahh,,, berapa ratus juta, Na? Oh iya, motor sama mobil juga baru?" tanyanya sambil duduk disofa ruang tamu, tangannya mengambil remote dan mengganti chanel yang awalnya berita itu menjadi kartun.

"Om kesini disuruh Papa?"

"Nggak, Om sendiri yang cari tahu kamu tinggal dimana, Papa kamu mana bisa"

"Aku nggak bodoh"

"Ya enggak lah, kalau kamu bodoh pasti Jay udah buang kamu ke parit dari dulu"

Nana mendengus, kenal lama dengan Om Dory membuatnya bisa lebih tabah dari biasanya, tidak hanya itu. Om Jo sebenarnya juga sengklek, tapi masih punya aura macho nan galak, kayak Om Yuta. Lah kalau Om Dory? Adanya aura julid. Ada lagi teman ayahnya yang dari Thailand, itu bikin darah tinggi Nana kumat.

"Kamu pernah diajarin bikin sirup dingin nggak?"

"Kenapa?"

"Kalau pernah berarti bisa dong, nah kalau bisa coba buktiin ke Om"

"Nggak tahu malu"

"Kayak kamu punya urat malu aja"

Nana kembali mendengus sembari berjalan menuju pantry membuatkan Dory minuman.

"Na... Kamu suka anjing nggak?"

"Kenapa?"

"Kalau suka mau Om beliin, biar nih tempat nggak sepi kayak gini"

Nana tersenyum lebar "Beneran mau beliin??"

Dory mengangguk "Mau warna apa? Hitam, oranye, putih, coklat, hijau, biru, ungu, moca, army, atau merah?"

Nana meletakkan segelas sirup didepan Dory "Pink aja"

"Aduh, Adhinatha. Kamu harusnya bisa bedain mana bercanda mana bukan, huhu"

"Ya Om kan tiap detik bercanda, mana pernah serius"

Dory kesal sih, tapi dia tak menyahut, dia justru menepuk tempat kosong disampingnya supaya Nana duduk disampingnya itu. Dan cowok yang tingkat ke-pekaannya tinggi itu dapat langsung mengerti, Nana duduk disamping Dory, bahkan sangat menempel dengan Dory.

"Kamu udah gede aja, Om jodohin ya?"

"Sama siapa?"

"Anak Om lah"

"Shasya kan lebih tua dariku, nggak mau"

"Emang kenapa? Papa sama Mama kamu sekarang aja juga lebih tuaan Mama jauh"

Nana terdiam, iya juga sih.

"Jayekti sama Rossie dulu juga tuaan Rossie, meskipun tiga hari" ujar Dory lagi membuat bahu Nana menegang.

"Papa kamu itu kurang ajar banget, udah tahu beda jalan masih aja nekat, akhirnya tersesat. Tapi gara-gara tersesat itu, Papa kamu tahu gimana sulitnya berjuang. Diantara Om, Om Jo, Om Lio, sama Papa kamu, yang nikahnya paling lambat ya Papa kamu, cuma karena memperjuangkan satu perempuan"

Nana diam, dia tak ingin mendengarkan sebenarnya, tapi ia juga penasaran.

"Pokoknya udah kayak sinetron banget, Papa kamu yang awalnya tajir melintir nggak pernah nginjak tanah, yang dia injak cuma lantai marmer, mentok-mentok paving sama aspal, waktu itu harus milih satu dari dua, bertahan dengan Mamamu tapi tercoret dari Bahuwirya, atau meninggalkan Mama kamu. Om kira bakal pilih ninggalin Rossie, tapi salah. Keesokannya Om dapat kabar kalau Jay pergi dari rumah"

"Terus??"

Dory tersenyum "Om, Om Jo, sama Om Lio nyari keseluruh Jakarta, nggak ada jejak seorang Jayekti. Sampai tiga hari kemudian baru teman lama Om Lio, namanya Om Tala, dia ngasih tahu kalau ada yang masuk UGD, Om Tala ini calon dokter yang lagi magang waktu itu. Dan mungkin karena Jay itu ditakdirkan menjadi orang kaya, jadi dikaos yang dia pakai waktu itu ada lambang Bahuwirya-nya, jadi Tala langsung tahu siapa itu Jay"

"Keren"

Dory terkekeh "Bapakmu itu dehidrasi, kelelahan, dan kena tipus waktu itu." Dory malah ngakak kemudian melanjutkan "Dia ngrasa mau mati kali ya, karena tiba-tiba bilang ke Om kalau dia pergi tolong jaga Rossie katanya"

Nana sedikit tersenyum, ternyata ayahnya tidak yang seperti dia kira. Yang Nana tahu, bos sekte itu menakutkan, karena sejak kecil Nana sudah terbiasa dengan suara tembakan, banyak juga senjata yang terpajang dirumahnya dulu, kini semuanya lenyap.

"Karena itu juga Kakak kamu jadi dapat hidayah kayaknya, melihat anak satu-satunya kayak gitu, hatinya terbuka, langsung kasih restu, tapi dosanya harus bapakmu sendiri yang tanggung. Begitu. Sesayang itu Jay ke Rossie. Tapi sayanya ada pihak Rossie yang kurang suka sama bapakmu"

"Siapa?"

"Kakaknya"

"Ha?? Ama nggak punya kakak"

Dory tersenyum "Om aja juga nggak tahu bentukannya Kakaknya Rossa itu kayak gimana, yang jelas Abangnya dia itu keras banget hatinya, lihat adek perempuannya di ijab kobul-in bikin kebakaran jenggot"

Nana diam lagi, sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan darinya, baik dari ayahnya maupun mendiang ibunya. Seumur Ibunya hidup, Sang ibu tak pernah menyebutkan kakak didepannya. Selama dirinya bermain ke keluarga Liu pun tak ada kakak laki-laki ibunya. Didalam kartu keluarga pun sebelum Sang ibu masuk kedalam keluarga Bahuwirya, didalam kartu keluarga Liu juga hanyalah Opa, Oma, Ama, dan satu adik Ama. Hanya itu.

"Om kasih tahu Papamu ya?"

Nana menggeleng "Jangan"

"Kenapa? Kalau kamu emang belum mau balik ya nggak apa-apa, tapi setidaknya jangan bikin dia khawatir"

"..."

"Setidaknya Papa kamu tahu dimana anaknya, baik-baik aja atau nggak, makan enak atau nggak. Gimanapun kamu itu tanggung jawabnya Papa, dan kamu mau bikin Papanya hilang tanggung jawab itu karena diri kamu sendiri? Papa, Mama, bahkan Haechan ngotot mau nemuin kamu"

"..."

"Abang tirimu itu, sayang banget sama kamu. Terang-terangan nunjukinnya, Om mau jodohin dia sama Shasya ah"

"Terserah"

"Oh iya, tetangga sebelah itu, siapa?"

"Om Yuta?"

"Hmm,,, siapa dia?"

"Saya ayah angkatnya dia, kenapa?"

Nana dan Dory menoleh pada pintu yang sudah kembali tertutup, disana berdiri seorang pria dengan kemeja moca digulung setengah lengannya, wajahnya menatap datar kedua laki-laki lain berbeda umur diruang tamu.

"O-Om"

"Anda siapa?"

Yuta tersenyum, dan senyuman itu terlihat sedikit mengerikan mendengar pertanyaan Dory. Dia lalu mengalihkan pandangannya kepada Nana dan tersenyum hangat "Jadwal kamu dimajuin, sesinya satu jam lagi, ayo berangkat"

"Anda siapa??" ulang Dory.

"Kamu mandi sana, ngapain malah bengong?" Yuta menyadarkan Nana, lalu cowok itu dengan kepayangan berlari kekamarnya.

Yuta terkekeh kemudian menatap tajam. Membuat Dory mengerling sambil satu langkah mendekati Yuta "Saya bertanya satu kali lagi, anda siapa?"

"Adhinatha itu keponakan saya"

•L A K S A N A•