Part sebelumnya :
Aku segera menuntaskan mandiku dan berpakaian kembali. Tony sudah ada di depan pintu kamar mandi, karena aku penasaran. Aku mencoba bertanya kepada Tony, "Apa kau mendengar sesuatu di dalam, Ton?" Tony yang kelihatan binggung hanya menjawab, "Tidak ... memangnya kenapa? Kau tadi main sabun ya, Han?" ejeknya kepadaku.
"Ah sudahlah ... lupakan saja!" sambil ngeloyor pergi.
***
Aku sebenarnya tidak pernah tahu, apa yang dilakukan oleh Jawir sesaat setelah aku dan Feranda meninggalkan kamar dimana sebelumnya keris yang dilipat oleh kain kafan itu berada. Jawir sebenarnya sangat tertarik dengan benda keramat seperti ini. Ia memiliki rasa penasaran yang begitu kentara dan seolah menginginkan benda tersebut. Hingga akhirnya Tony berkata kepadaku, "Han ... aku ingin membicarakan sesuatu!" ujar Tony dengan setengah berlari. Aku yang sedang berada di dalam kamar kemudian bangun dari posisiku semula dan menghadap kearah Tony.
"Mau bicara apa, Ton?" tanyaku penasaran.
"Bahaya ini bahaya!" ujar Tony gelagapan. Mukanya pucat dan tampaknya ia benar-benar takut akan sesuatu hal.
"Bahaya apanya?" tanyaku yang kian penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi.
Tony pun memulai ceritanya, "Aku sebenarnya melihat Jawir, mengambil keris dengan kain kafan itu dari dalam lemari. Aku berniat menghentikannya dan mengingatkan dia dengan apa yang sebenarnya ia lakukan, tapi ... Jawir marah kepadaku, dan mengancam untuk memukulku, jika aku memberitahukan hal yang sebenarnya, terutama kepadamu Han!" terang Tony.
"Gila!" hanya itu yang bisa kuucapkan dari mulutku saat itu.
"Lalu dimana Jawir sekarang?"
"Entahlah, aku tak melihatnya lagi setelah kejadian itu!" beber Tony.
Aku hanya bisa menepuk kepalaku. Aku benar-benar kesal dengan anak yang sok tau ini. Ia tidak pernah bisa berpikir jernih dan berbuat seenaknya. Aku mengesampingkan mengenai pesan Kakek Min siang tadi. Namun yang sebenarnya paling aku pikirkan adalah bagaimana bila yang punya rumah ini tahu, kalau benda tersebut diambil oleh Jawir. Lalu hal apa yang akan terjadi? Apakah kami akan merusak kepercayaan orang lain, lalu bagaimana dengan Pak Kades? Hal-hal seperti itu berkecamuk di dalam pikiranku. Aku yang kesal kemudian beranjak dari dalam garasi yang sudah menjadi kamar tersebut dan menuju ke kamar sebelah yang berada di tengah, berniat untuk mengecek apa yang sedang terjadi.
Kamar yang berada di ruangan ini seperti sebelumnya kuceritakan, bahwa kamar ini diisi oleh para anak-anak wanita. Tentunya tanpa mengurangi rasa hormat, aku pun mengetuk pintu tersebut.
'Tok ... Tok ... Tok!!!'
"Ya ... ada apa?" sahut suara wanita dari arah dalam.
Pintu kemudian dibuka dan muncullah sosok Dona. Aku kemudian menjelaskan maksudku kepada dia.
"Don ... ada siapa saja di dalam?"
"Oh ... hanya aku dan Feranda yang lain sedang mengobrol dengan tetangga di belakang rumah!" balas Dona cepat.
Feranda yang mendengarkan percakapan aku dan Dona kemudian keluar dari dalam kamar dan bertanya kepadaku, "Ada perlu apa memangnya, Han? Mukamu kok tegang sekali?" tanya Feranda penasaran.
"Boleh aku masuk kamar itu?" ujarku to the point.
"Itu kamar cewek loh? Memangnya ada apa?" balas Dona tidak setuju.
"Jawir tampaknya mengambil apa yang kita lihat siang tadi, Fer!" terangku kepada Feranda.
Feranda yang mengetahui hal tersebut segera berlari ke dalam kamar. Ia mencoba untuk membuka pintu lemari tua dengan ukiran-ukiran aneh berbentuk ular tersebut dengan cepat.
Aku yang melihat hal tersebut segera menyusul Feranda bersama dengan Tony dan juga Dona.
"Apa keris itu masih ada?" tanyaku cepat.
"Hilang ... benda itu tidak ada disini?" beber Feranda.
"Keris? Memangnya siapa yang membawa keris?" tanya Dona dengan raut muka binggung.
"Anak itu benar-benar mencari masalah!" ucapku spontan.
"Benda itu lebih baik tidak diutak-atik, kita tidak pernah tahu apa sebenarnya benda itu!" balas Feranda.
"Aku juga berpikiran seperti itu!" timpalku.
"Bukankah itu sama saja dengan mencuri? Benda itu kan adalah benda yang ada di rumah ini!" balas Tony.
"Aduhh .... aku masih belum paham dengan apa yang kalian bicarakan! Apa hubungannya keris dan keadaan kita saat ini!" tanya Dona dengan raut muka kesal.
Tony dan Feranda kemudian menjelaskan apa yang mereka tahu kepada Dona. Dona akhirnya mengerti, apa yang kami khawatirkan. Ia juga menganggap kalau hal itu tidaklah pantas untuk dilakukan. Dona sebenarnya adalah anak yang benar-benar realistis. Ia tidak terlalu takut dengan hal seram, hal tabu ataupun hal-hal seperti yang kami bicarakan. Ia hanya menilai sesuatu dari dua hal yaitu baik ataupun buruk dan menurutnya tindakan yang dilakukan Jawir adalah tindakan yang tidak pantas untuk dilakukan.
Jawir kemudian terdengar masuk ke dalam rumah sembari bernyanyi-nyanyi kecil.
"Dia kembali, Han!" ungkap Tony.
"Biar aku yang menanyakan benda tersebut! Kalian diam saja agar anak-anak yang lain tidak heboh!" pesanku kepada mereka bertiga.
Mereka bertiga hanya mengangguk dan kemudian aku mendekati Jawir dan mengajaknya untuk keluar rumah, "Ada yang ingin kubicarakan denganmu!" bisikku pelan.
Jawir hanya menurut dan kemudian mengikuti ke arah depan rumah dan duduk di tangga rumah, "Mau bicara apa?" ujarnya dengan nada sombong.
"Aku sudah tahu apa yang kau lakukan! Kembalikan saja benda itu ke tempatnya semula!" pesanku kepadanya. Namun reaksi tak mengenakkan justru muncul dari mulut Jawir.
"Ah ... kau ini terlalu suka ikut campur! Tak usahlah terlalu mendramatisir dan aku juga benci orang yang suka sok pahlawan! Kau bukan bos disini!" balasnya dengan nada mengejek.
"Aku terlalu malas berurusan dengan hal-hal seperti ini! Kau tau apa yang sebenarnya harus dan tidak harus dilakukan. Ingat ini bukan rumahmu! Tempat ini daerah orang dan tentunya rumah ini punya orang dan kau asal ambil saja barang milik orang lain! Itu namanya mencuri!" hardikku dengan nada tinggi.
"Tau apa kau? Sudah tak usahlah mencampuri urusan hidup orang lain! Urus saja dirimu sendiri!" bantah Jawir. Ia kemudian masuk ke dalam rumah tanpa berkata apa-apa lagi.
Aku tak ingin berdebat jauh, rasanya saat itu ingin sekali kulayangkan satu atau dua buah tinju ke mukanya yang benar-benar membuatku muak. Namun apa daya, aku tak ingin membuat gaduh apalagi ini adalah hari pertama kami menginap di desa ini. Aku kemudian menyusul masuk ke dalam rumah dan mendapati teman-teman KKN-ku yang lain sudah berada di ruang tamu dan duduk melingkar di tengah-tengah ditambah dengan sajian makanan yang cukup sederhana untuk malam ini.
"Ayo kita makan, Han!" ajak Endy kepadaku.
"Iya, ayo makan, Pak Ketua!" ujar Dwi cengegesan.
Tony beda cerita, ia sudah mengambil centong nasi dan sudah bersiap untuk makan. Tony ini memang tidak bisa terlalu lama menahan lapar.
"Wahh kayaknya enak nih! Memangnya siapa yang masak?" tanyaku penasaran.
Dona kemudian menjawab, "Itu yang masak Ira, Ceni dan Putri. Kalau aku dan Feranda ya jadi pengawas kali ini!" terang Dona cengegesan. Dona juga tampaknya anak yang suka bercanda batinku. Feranda yang kupikir bisa memasak ternyata tidak bisa memasak. Aku ternyata terlalu berekspektasi terlalu tinggi kepadanya saat itu, sedangkan Mak menurutnya ia ragu, apakah anak-anak yang lain akan menerima masakannya. Aku pun cukup terhenran-heran mengenai apa yang dimaksud oleh Mak.
Makan malam hari itu terasa khidmat. Makan malam yang sederhana dengan lauk berupa kerupuk, ikan sarden, rebusan sayur, jengkol dan juga sambal. Namun Jawir yang ditawari untuk makan tidak merespon sama sekali, tampaknya ia sudah tidur sedari tadi. Feranda, Mak dan juga Dona kemudian membereskan sisa-sisa makanan dan berniat untuk cuci piring. Aku, Endy dan Tony kebagian untuk menimba air dan menemani para wanita ini mencuci piring di kamar mandi yang ada sumurnya tersebut. Feranda dan Dona tampaknya masih takut dengan keadaan kamar mandi yang masih gelap gulita, hal ini disebabkan karena lampu dari kamar mandi ini ternyata putus dan kami lupa membeli stock lampu cadangan tersebut.
Setelah acara cuci piring selesai, kami semua mulai mengambil posisi masing-masing. Sebelumnya Dwi dan Tony sudah ditugaskan untuk mengunci pintu dan merapatkan jendela, karena memang agenda selanjutnya adalah beristirahat, mungkin baru besok kami akan mengadakan rapat antar anggota KKN untuk membicarakan apa saja yang akan kita lakukan di desa ini.
Malam begitu sunyi, hingga kemudian kami semua tertidur dalam lelap karena kecapaian setelah tiba di desa ini.
Aku seperti sedang tidur namun tidak tidur, bisa dibilang aku setengah tidur. Namun sekelilingku tiba-tiba berubah. Langit menjadi gelap gulita, hanya ada penerangan dari beberapa lampu teplok (lampu minyak) yang ada sekitar 4 lampu yang menyinari rumah yang ada di hadapanku ini, rumah ini adalah rumah lama yang terbuat dari kayu dan kemudian ada seorang kakek-kakek berpakaian serba putih turun dari tangga rumah tersebut dengan setengah melayang dan menyapaku dengan muka ramah. Tapi, ada hal yang membuatku begitu mengganjal dengan mukanya, yaitu kakek ini memiliki hidung yang sangat besar seperti buah jambu dan hidung itu berwarna hitam pekat, begitu kontras dengan pakaian putih dan jenggot putih panjang menjuntai yang menghiasi mukanya.
"Apa yang sedang kamu lakukan di rumahku ini, cu?" tanyanya sembari mengusap janggutnya yang putih nan panjang.
"Aku adalah seorang anak yang ditugaskan oleh kampusku untuk Kuliah Kerja Nyata di desa ini, kakek!" terangku jujur.
"Oh ... seperti itu! Tapi ... aku memiliki beberapa persyaratan yang harus kau penuhi, cu!"
"Apa itu kakek?" tanyaku penasaran.
"Aku adalah pemilik rumah ini. Aku mengizinkan kalian untuk tinggal di rumah ini. Namun ... aku harap kalian memang berniat untuk membangun desa ini agar lebih maju lagi. Jangan membuat perbuatan yang tercela, mengharumkan nama desa dan suka membantu sesama. Aku hanya bisa berpesan seperti itu kepada kalian! Tolong sampaikan hal ini kepada teman-temanmu yang lain." terangnya dengan raut muka yang benar-benar ramah. "Namun ... ada satu hal lagi yang harus kau selesaikan!" ucapannya terhenti untuk beberapa saat.
"Iya ... apa yang kakek minta?" tanyaku sekali lagi.
"Kembalikanlah benda yang semestinya ada di tempatnya! Kalau tidak ingin hal-hal buruk terjadi kepada kalian. Keris itu adalah penjaga rumah ini. Aku harap benda itu tidak jatuh di tangan orang yang salah!"
Aku kemudian tiba-tiba terjaga dan melihat jam di handphoneku yang menunjukkan waktu menjelang subuh. Mimpi itu begitu kentara, aku sampai susah membedakan yang mana realita dan mana yang bukan. Tapi semua yang terjadi di dalam mimpi tersebut, aku masih benar-benar mengingat semua hal yang terjadi barusan. Aku kemudian memutuskan untuk segera tidur kembali.
Pagi pun menjelang, sinar mentari memasuki jendela pintu dan membangunkanku dari tidur. Aku mengecek handphoneku dan terlihat beberapa misscall dari Kakek Min kepadaku. Aku kemudian membaca pesan dari Kakek Min dan apa yang ada di dalam pesan singkat tersebut adalah "Cari benda itu! Kembalikan ke tempatnya semula!"
Aku benar-benar kaget, tampaknya mimpi dan juga peringatan Kakek Min ini bukanlah hal yang main-main.
#Bersambung