webnovel

Chapter 0

Suara tembakan yang terus menghujani mereka tanpa henti, tetapi apakah mereka takut dengan hal itu? Sungguh… tidak sama sekali. Mereka adalah sekumpulan prajurit yang sangat berani. Lantas, kenapa mereka saling meneriaki? Karena ada satu permasalahan yang lebih mereka takuti ketimbang bunyi senjata api. Apakah itu? Itu adalah hilangnya kepercayaan kepada teman sendiri.

"Adam! Menyingkir dari anak itu!" seru Kapten Leo membentak sembari mengarahkan mulut pistol ke arah Adam, dan anak ketakutan yang berdiri di belakang.

"Kapten tenanglah, dia cuma anak kecil. Dia tidak bisa melakukan apa-apa," sahut Adam mencoba menenangkan emosi kaptennya.

Namun, perkataan Adam tidak membuat emosi sang Kapten mereda, malahan pria bermuka tegas itu perlahan mendekati Adam dengan wajah merahnya.

"Ini perintah! Brengsek! Menyingkirlah darinya!" ucap sang Kapten.

Adam dengan perlahan mengambil langkah mundur, bersamaan mendorong tubuh si anak kecil dengan mata yang tak henti menatap tajam ke arah mulut pistol sang Kapten.

Dengan mata penuh keberanian, Adam berkata, "Kau bisa saja menembakku! Tapi… aku tetap tidak akan membiarkanmu membunuh anak ini!"

Sang Kapten mendengar itu seketika menjadi murka. "Kau akan mati! Brengsek!" serunya.

Di tengah kerumitan itu, situasi menjadi lebih mencekam ketika Sersan Raka datang tergopoh-gopoh membawa pesan. "Kapten! Kapten! Musuh hampir datang! Kita harus kendalikan situasi! Sekarang!"

Mendengar pesan tak teduga itu, membuat sang Kapten semakin erat memegang pegangan pistolnya.

"Kodenya! Dia tahu kodenya!" katanya, "Tapi dia tidak mau memberitahu kita! Harusnya kau tahu masalah ini!"

Namun, Adam tak sedikitpun kehilangan kepercayaannya. "Tapi tetap saja!" sahut Adam, "Membunuh anak ini bukanlah pilihan yang tepat!"

Kapten Leo menjadi lebih serius, dia mulai meletakkan jari telunjuknya di depan pelatuk. "Banyak nyawa yang dipertaruhkan, jadi… menyingkirlah! Kita tidak punya waktu! Ini peringatan terakhir!" ancamnya kepada Adam.

Adam hanya bisa menatap tajam wajah sang Kapten dengan ekspresi yang tak peduli terhadap kematian. Hatinya benar-benar terikat kepada janji moral seorang prajurit yang tidak mungkin bisa ia langgar, yaitu melindungi orang-orang lemah dengan kekuatan dan tanggung jawab.

"Kapten…," kata Adam memanggil sang Kapten yang tampak sudah siap untuk mengakhiri semuanya. "Kau berhasil…," sambungnya seraya tersenyum, "Kau berhasil mengajariku untuk melindungi orang-orang yang membutuhkan."

Mendengar itu, tubuh sang Kapten seketika menggigil hebat dengan keringat yang tak henti mengucur di seluruh badan. Hawa dinginnya bukan sembarang dingin, sampai-sampai semua ototnya terasa membeku, hal itu akibat dari frustasinya pengambilan keputusan yang ambigu, antara beban moral dan tanggung jawab yang saling beradu. Otak kiri dan otak kanan saling membenarkan tindakan yang dipilih hingga tidak ada lagi sisi benar dan salah. Dan yang pasti tersisa hanyalah konsekuensi yang akan diterima seumur hidupnya, yaitu rasa bersalah.

"Brengsek! Argh!"

Sang Kapten berseru bersamaan dengan pelatuk yang sedari tadi tertahan dia lepas, dan seketika semuanya perlahan menjadi terang, membuat akhir dengan Adam yang terbangun dari mimpi buruknya.

"Mimpi itu lagi… sial," gumam Adam seraya mengelus dahinya.

Lalu tiba-tiba terdengar bunyi keras ketukan pintu dari luar rumah, hingga membuat langit-langit kamar tampak bergetar.

'Ada tamu? ucap batin Adam, 'Tumben.