webnovel

Penolong Tak Terduga

Treeng... Treeng...

Bel pulang sekolah berbunyi nyaring. Semua siswa-siswi bersorak gembira dan bergegas merapikan buku-buku, lalu memasukkannya ke dalam tas.

Demikian juga Anna. Ia sibuk membereskan semua buku pelajarannya.

Tika bangkit berdiri dan melampirkan tas ke bahu. "Gue duluan, ya, Anna. Mama gue udah jemput, nih."

"Oh iya, oke." Anna tersenyum sekilas, cepat.

"Bye."

"Bye."

Tika setengah berlari ke luar kelas. Ruangan kelas sudah sepi. Anna bangkit berdiri dan keluar.

Setelah selesai, Anna berjalan menuju gerbang sekolah dan berjalan menyelusuri trotoar. Hari ini, ia terpaksa harus pulang berjalan kaki, sebab ongkosnya tadi hilang entah ke mana.

Anna melintasi trotoar sambil memikirkan kejadian Leon dan Tika tadi.

Cowok itu kenapa sombong banget, ya? gumam Anna heran.

Tiba-tiba tiga orang pria bertato menghadang Anna.

"Hai, Cantik, mau ke mana?" tanya seorang sambil menyentuh pundak Anna.

Anna tersentak dan segera menepis tangan orang itu. "Jangan sentuh-sentuh saya!" bentak Anna.

Anna mempercepat langkahnya menjauhi mereka. Jantungnya berdebar hebat dan keringat dingin mengucur deras di keningnya.

Orang-orang yang berada di sekitar situ tidak berani menolong Anna, karena ketiga pria tersebut terkenal sebagai preman yang mengerikan. Bahkan, mereka tidak segan-segan melukai korbannya hingga merengang nyawa.

Preman-preman bergegas menyusul Anna. "Mau ke mana sih, Neng? Buru-buru amat." Pria, bertubuh ceking, mencekal tangan Anna.

"Lepaskan saya! Minggir!" teriak Anna sembari memandang ke sekelilingnya.

"Tidak akan!" Preman itu tersenyum jahat.

Anna langsung meronta-ronta sambil terus berteriak minta tolong. "LEPASKAN SAYA! TOLONG! TOLONG!"

Ketiga pria itu tertawa jahat. "PERCUMA! nggak akan ada yang akan nolongin lo!!"

Sebuah motor sport berhenti di pinggir trotoar. "Lepasin dia!" suruh Leon datar.

"Siapa lo?! Berani-beraninya memerintah-merintah kami!" tantang preman itu.

"Kalian laki-laki atau banci? Beraninya sama cewek?" ejek Leon tersenyum meremehkan.

"KURANG AJAR!!"

Ketiga pria itu berlari menyerbu Leon yang masih duduk di atas motor. Leon segera turun lalu menghajar ketiga pria itu.

Ketiga pria itu jatuh tergeletak. Leon langsung tersenyum miring. "Makanya jangan berani sama perempuan," umpatnya.

"Iya, Bang. Ampun," mohon preman itu.

"Ayo kita lari!" Para peman itu bergegas berdiri dan lari ngocar-ngacir meninggalkan Leon.

Leon mendekati Anna yang berdiri gemetar di tempatnya.

"Lo nggak apa-apa?" tanya Leon dingin.

Anna mengangguk pelan.

"Biar gue anterin lo pulang. Di mana rumah Lo?" tanya Leon datar.

Anna menggigit kuku dengan gemetar hebat. Mulutnya serasa kaku untuk berbicara.

"Ya udah kalau gitu," ucap Leon datar. Ia berbalik hendak menuju motornya terparkir.

"T-tunggu!" panggil Anna.

Leon menoleh ke belakang.

"A-aku boleh numpang?" tanya Anna dengan bibir gemetar.

"Cepetan naik." Leon menaiki motornya lalu memberikan sebuah helm pada Anna.

Anna menerima helm itu kemudian mengenakannya.

"Naik." Leon menaikkan standar motor dan menyalakan mesin.

Anna mengangguk pelan lalu naik ke atas motor. Leon melajukan motornya membelah jalan raya.

"Di mana rumah lo?" tanya Leon.

"R-rumah saya di jalan Melati," jawab Anna gugup.

"Jalan Melati itu banyak. Lo yang dekat mana?" tanya Leon sedikit kesal.

"Ehmmm," Anna berusaha berpikir.

"Rumah sendiri aja lo nggak tahu," sindir Leon kesal.

"Di dekat minimarket," lirih Anna sedikit takut.

"Ya ampun!!" seru Leon jengkel.

"Ke-kenapa?" tanya Anna bingung.

"Lo kalau pinter jangan kelewatan!" maki Leon, berusaha menahan emosi.

Anna tersenyum malu.

Leon memberhentikan motornya di tepi trotoar.

"Kok berhenti?" tanya Anna bingung.

"Turun!" suruh Leon.

"Ke-kenapa?" tanya Anna makin bingung.

"Lo pulang sendiri aja, sana."

Anna segera turun lalu mengembalikan helm yang dikenakannya pada Leon. "Terima kasih banyak, ya, sudah antar saya sampai ke sini." Anna tersenyum.

Leon tidak merespon. Ia segera melajukan motornya, meninggalkan Anna seorang diri.

Anna menunggu angkot yang lewat. "Mana ya angkotnya?"

Anna menunggu cukup lama di sana.

"Oh iya! Aku lupa. Aku nggak punya ongkos lagi." Anna terkekeh.

***

Anna harus kembali berjalan kaki sambil menyelusuri trotoar. Anna masih berjalan tak jauh dari tempat Leon menurunkannya.

Tiba-tiba Anna mendengar suara motor berhenti di sampingnya.

Leon! batin Anna kaget melihat ternyata tebakannya benar.

"Kenapa kamu balik lagi?" tanya Anna heran.

"Naik," suruh Leon datar, menyodorkan helm pada Anna.

"Mau ke mana?" tanya Anna bingung.

"Anterin lo pulang," ketus Leon jengkel.

Anna tersenyum. "Ah, nggak usah. Rumah saya sudah dekat, kok," tolak Anna sopan.

Sebenarnya rumahnya masih jauh, tetapi Anna tidak mau merepotkan Leon.

"Lo mau naik atau enggak?! Tapi asal lo tahu, ini masih kawasan preman-preman tadi," kecam Leon kesal.

Jantung Anna seketika berdebar-debar tak karuan. Anna menjadi takut. Tanpa sadar gadis itu membelalak tak percaya menatap Leon cukup lama.

Leon menatap Anna tajam. "Gue nggak ada waktu buat nunggu lo terkejut," ketus Leon sinis.

Anna tersentak, mengedip-ngedipkan matanya.

"I-ya, saya ikut." Anna tersipu malu. Tanpa sadar dia memandangi Leon tadi.

"Nih!" Leon memberikan helm di tangannya pada Anna.

Anna menerima helm itu sambil tersenyum. "Terima kasih."

"Cepatan naik." Leon melipat standar motornya.

"Iya," Anna segera naik ke motor Leon, lalu mengenakan helm.

"Oh iya!" seru Leon hampir lupa.

"Kenapa?" tanya Anna.

"Rumah lo di mana? Yang jelas kalau menjelaskannya!" sungut Leon.

"Di jalan Melati, di dekat Minimarket, kalau kamu tidak tahu, nanti saya kasih tunjukkan," jelas Anna.

"Oke," sahut Leon datar lalu menghidupkan motornya.

Leon langsung menggas motornya, membuat Anna hampir terjungkal ke belakang. Spontan, Anna langsung memegangi bahu Leon.

***

Sesampai di rumahnya, Anna segera turun dari motor Leon dan megembalikan helm itu.

"Terima kasih banyak, ya." Anna tersenyum ramah.

Leon tidak mengatakan sepatah kata pun Ia kembali melajukan motornya tanpa pamit.

Anna memandang kepergian Leon hingga menghilang dari pandangannya, lalu dia mendekati rumahnya.

Anna membuka pintu kayu itu. "Halo, Ma, Anna pulang," sapa gadis cantik itu sambil masuk ke rumah.

"Akhirnya kamu sudah pulang, Sayang." Devi tersenyum menyambut anaknya.

"Iya, Ma." Anna tersenyum manis sambil menciumi tangan sang Mama.

"Kok kamu lama sekali pulangnya, Sayang? Tumben. Nggak seperti biasanya," tanya Devi cemas.

Anna tersenyum kikuk. "Maaf, Ma. Tadi Anna ada tugas tambahan di sekolah, makanya jadi lama,"

Anna terpaksa berbohong, tidak ingin membuat mamanya cemas jika dia menceritakan hal sebenarnya, kalau dia tadi diganggu para preman di tengah perjalanan pulang.

"Oh, gitu. Mama kirain kamu kenapa-kenapa, Sayang. Kamu buat Mama cemas saja," Devi tersenyum, menghela napas lega. Devi sempat memilik firasat tak enak.

"Sebaiknya kamu ganti buruan baju, lalu makan. Mama sudah bikin makanan kesukaan kamu," Devi tersenyum lembut.

"Kalau begitu Anna ke kamar dulu, ya." pamit Anna tersenyum, lalu menuju kamarnya.

Setelah ganti baju, Anna langsung ke meja makan. Anna merasa tenaganya terkuras habis ketika berusaha melepaskan diri dari para preman itu.

Anna menarik salah satu kursi dan duduk. Ia membuka tudung saji. Matanya berbinar-binar senang. Tersaji ayam goreng dan sayur sop.

Anna langsung mengambil piring dan mencentong nasi ke dalam piring, lalu menaruh ayam goreng dan sayur sop.

Anna menyantap makanannya dengan lahap. Dalam waktu singkat, Anna mampu menghabiskan semua makanan itu, meskipun porsinya tidak seperti biasa saat dia makan sehari-hari.

"Kamu memangnya abis kerjain apa di sekolah tadi, Sayang? Kayaknya kamu kelaparan banget." Devi terkekeh, ikut menarik kursi di samping Anna lalu duduk.

Anna terkekeh menahan malu. "Nggak ngerjain apa-apa, kok, Ma. Memang Anna orangnya rakus," canda Anna.

"Nggak apa-apa, Sayang. Ayo, tambah lagi." Devi segera mengambil baskom nasi lalu mencentongnya ke piring Anna.

"Terima kasih, Ma." Anna tersenyum, lalu kembali menyantap makanannya.

***

Selesai makan, Anna pamit pada sang Mama untuk beristirahat sejenak di kamarnya.

Anna masuk ke kamar lalu mengunci kembali pintunya. Ia berjalan ke kasur dan mengempaskan diri ke atas ranjang.

Anna memandang ke langit-langit kamarnya sembari mengingat-ingat kembali peristiwa tadi.

Leon terlihat sangat jago saat melumpuhkan ketiga preman itu. Seperti sudah terbiasa.

"Oh, ya," Anna teringat sesuatu. Ia bergegas duduk, mengambil sesuatu di nakas. Yaitu, sebuah kotak kayu kecil.

Perlahan Anna membuka kotak itu. Sebuah gelang rajutan dari benang, terlihat sudah kusam.

Wajah cantik gadis berambut panjang itu seketika berubah sedih. Anna menatap gelang di kotak tersebut cukup lama. Seketika terlintas kembali di benaknya kenangan di balik gelang sakral.

"Kamu sekarang di mana?" gumam Anna lirih. Gelang itu mengingatkannya pada seorang laki-laki, sang pemberi gelang pink itu padanya.

"Sudahlah. Buat apa aku memikirkan dia lagi," gumam Anna kesal. Ia kembali memasukkan gelang itu ke kotaknya dan menyimpannya di dalam nakas.

***

Esok harinya.

"Hai, Anna!" sapa Tika tersenyum lebar. Ia mendekati Anna yang sudah duduk manis di mejanya.

Tika menaruh tasnya di kursi lalu duduk di samping Anna. Tika memandangi wajah sahabatnya itu bingung. Anna tampak melamun.

Terlintas ide jahat di benak Tika.

"Anna! Pak Guru datang!" teriak Tika dramatis.

Anna terkejut, lantas melonjak berdiri. "Selamat pagi, Pak!"

Tika tertawa terbahak-bahak sambil menggebrak-gebrak meja.

"Ih, Tika!" Anna kembali duduk dengan tampang kesal.

"Makanya jangan banyak melamun!" ejek Tika masih tertawa terbahak-bahak.

Anna tersipu malu, berusaha menahan malu. Ia melirik para teman sekelasnya yang ikut menertawakannya.

"Sudah dong, Tika. Aku jadi malu," pinta Anna pelan.

"Nggak bisa!" terang Tika masih tertawa terbahak-bahak.

Anna menatap Tika sebal.

Suasana seketika hening ketika Leon memasuki kelas. Seluruh pasang mata terus memandangi Leon hingga cowok itu duduk di kursinya.

Demikian pun Anna. Dia diam-diam memandangi Leon penuh takjub.

Sejujurnya, sejak tadi, Anna sengaja menanti kedatangan cowok itu untuk memberikan sebuah hadiah sebagai ucapan terima kasih. Sepanjang hari ini, peristiwa mengerikan kemarin terus berputar-putar di benak Anna. Gadis itu tidak mampu membayangkan jika saat itu Leon tidak datang.

Bagaimana jadinya kalau Leon saat itu nggak datang menolongku? batin Anna berandai-andai.

Have some idea about my story? Comment it and let me know.

7Mysterious_Human7creators' thoughts