webnovel

Kesetiaan Arasy

Bukannya terkejut bahagia mendapatkan oleh-oleh liburannya Arasy, malah dirinya yang terkejut mendapatkan berita dari kedua orang tuanya. Bahwa orang tuanya telah menerima lamaran sahabat lama mereka untuk dirinya. Jangankan cinta, terpikirkan bertemu dengannya saja tidak ada. Berbagai cara Arasy menolak tapi tetap tak diindahkan. Hingga akhirnya pertemuan itu terjadi, dan begitu bahagianya dia karena bisa menatap mata hitam pekat itu lagi. Doa yang diucapkan di setiap harinya tidak sia-sia. Tuhan memberinya izin untuk bertemu dengannya lagi, memberi Arasy kesempatan kedua, memperbaiki kesalahannya. Namun sayang, bukannya kebahagiaan yang didapat malah bertubi-tubi kesedihan yang datang.

Amani_Farida · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
4 Chs

Satu

Arasy tersenyum bahagia. Refreshing nya tiga hari lalu, bisa menyegarkan otak dan tubuhnya yang setiap hari berkutat dengan pekerjaan. Menghilangkan stres yang berlebihan dan menimbulkan kerutan yang bisa membuat tampak tua. Sehingga sekarang terlihat tampak lebih segar dan awet muda.

Sungguh, dua bulan ini dia seperti Einstein berjalan. Mencari solusi dari masalah yang dibuat oleh temannya yang kini dikeluarkan dengan paksa karena telah menggelapkan dana perusahaan untuk kepentingan pribadi. Manusia rakus seperti itu seharusnya dikubur sekalian. Karena jika hotel Rodeo hukumannya, maka dia akan mengulang lagi dosa itu.

Namun, usahanya tak sia-sia, setelah berpikir keras mencari solusi, dia diangkat menjadi manager keuangan perusahaan dan sering bertemu dengan CEO yang gantengnya bisa bikin mata berbinar sampai pulang meski ketemu satu kali.

Sampai di depan rumah, Arasy membuka pintu pagar kemudian masuk dengan senyum lebar. Ayah dan ibunya sedang menonton televisi, masa tua mereka sudah sangat dimanjakan oleh Arasy. Katanya ini sebagai balas Budi kepada orang tua. Segala kemauan mereka selalu dipenuhi Arasy. Padahal mereka punya toko sembako besar di pinggir jalan. Dia sampai lupa, bahwa dirinya perlu seseorang yang bersedia menjadi bahu untuk bersandarnya.

Ide jahil melintas di otak Arasy melihat keasyikan keduanya. Mengetuk pintu tanpa mengucap salam, Arasy berkata, "Permisi ... paket," ucap Arasy setengah teriak. Setelah itu membalikkan badan supaya orang tuanya penasaran.

Terdengar suara orang berjalan perlahan mendekat. "Paket apa ya? Kami tidak memesan apapun?"

"Mas, ditanya kok diam saja. Maaf, mungkin anda salah kirim." Arasy masih diam menahan tawa.

"Siapa, Bu?" teriak ayah dari dalam rumah.

"Ini lho, Yah. Katanya ada paket, padahal kita nggak pesen apapun. Aci sendiri masih liburan."

"Paket apa ya, Mas?" Ingin Arasy tertawa mendengar kebingungan keduanya, tapi ditahan dulu. Biar ayah marah-marah.

"Mas?"

"Kalo, masnya masih nggak mau bicara, saya teriakin maling," ancam ayah.

"Ma ...."

"Cantik kayak gini dibilang maling. Suka punya anak maling?"

"Aci?" sapa ibu denybinar bahagia terpancar di sana.

"Bukan! Maling!" Arasy masuk dengan kesal tapi tersenyum.

"Ya ampun anak ibu ngambek, udah gede jangan ngambek nanti jodohnya jauh." Ibu mengejar Arasy yang kini duduk di depan televisi dengan raut marah. "Ibu kangen. Peluk dulu?" ucap ibu sambil membentangkan tangannya lebar. Siap menyambut pelukan anak semata wayangnya.

"Bikin orang jantungan saja!" Ayah menyentil dahi Arasy.

"Ihihihii, kalo salam terus masuk kan udah biasa, Yah, Bu."

"Eh, oleh-olehnya dibuka dong. Ada makanan khas Bali juga, pie susu." Arasy membuka kardus yang berisi pie susu tersebut kemudian dimakan bersama. Menceritakan liburannya dengan sangat gembira. Seperti kegiatan langkah yang sudah tidak dilakukan bertahun-tahun. Setelah itu pergi ke kamar ingin istirahat sejenak lalu mandi. Tadi ibunya berpesan akan memasakkan makanan kesukaan Arasy, soto ayam Lamongan.

Melihat-lihat hasil foto kemudian mengunggah di sosmed, remaja jaman sekarang. Sebenarnya selain mengistirahatkan otak dan tubuhnya, Arasy juga memikirkan keinginan orang tuanya yang segera ingin menimang cucu. Namun, apa daya kehidupan bekerja dan punya banyak teman seperti sekarang membuat Arasy berada padad zona nyaman. Lagipula bagi Arasy menikah itu sekali seumur hidup. Jika berkali-kali itu bukan pernikahan, tapi permainan.

Terdengar pintu diketuk. "Ci, makanan sudah siap."

"Iya, Bu. Aci turun," ucapnya sedikit teriak. Dengan wajah segar dan baku rumahan, kaos dan celana pendek Arasy menuju meja makan.

"Ayo makan," ucap ibu. "Ayah kamu ikut kelaparan melihat makanan ini." Ibu tersenyum geli melihat ayah yang menelan ludah kemudian mengigit kerupuk.

"Bismillah." Arasy menyendokkan suap demi suap nasi ke mulutnya. Rasa lapar ketika melihat masakan ibunya menyeruak begitu saja. Tak sampai lima belas menit, masakan ibu sudah tandas. Ibu mencucinya sedangkan Arasy membereskan meja makan.

"Ci, ayah tunggu di depan mau bicara sebentar."

"Oke, kapten!" Arasy mempercepat pekerjaannya dan membantu ibu mengeringkan piring yang kemudian diletakkan di rak. "Ayah mau bicara serius ya, Bu?"

Bukannya menjawab pertanyaan Arasy, ibu malah menjawab lainnya. "Ayo ke depan." Ibu pergi dulu meninggalkan Arasy yang mengangkat bahu tak peduli.

"Ada apa sih, Yah? Tumben seeiu banget. Mau jual tanah? Nggak usah. Mau beli apalagi?"

"Hush, ngawur kalo bicara. Kita bukan orang tua matre. Dengerin dulu ayah bicara."

"Oke."

Terlihat ayah menarik napas dalam kemudian mengeluarkannya perlahan sambil memejamkan mata. "Kami menjodohkan kamu dengan anak sahabat kami, Ci."

"Ha?"

"Jadi kemarin ketika kamu liburan, mereka datang dan melamar kamu untuk anaknya. Dan ...."

"Dan?"

"Kami menyetujuinya."

Arasy menelan ludah ingin protes, tapi tak bisa. Hanya mampu mengucapkan, "Tanpa persetujuan Aci?"

"Dia anak yang baik, Ci. Ganteng dan mapan."

"Yah, sekalipun bagi Aci kalian sangat berharga, tapi tolong hargain Aci. Minta Pendapat Aci terlebih dahulu atau rundingan."

"Dia, anak yang baik, ganteng, mapan, kaya dan dari keluarga baik-baik juga, Ci."

"Itu menurut ayah, bukan Aci."

"Pernikahan itu, diselenggarakan tiga hari lagi," ucap ibu membuat Aci melotot.

"Aci mau tidur." Setelah mengucapkan itu Arasy meninggalkan kedua orang tuanya. Berjalan menuju kamarnya. Dirinya selalu berusaha menahan emosi di depan mereka. Pernah dirinya marah pada ibunya, membuat ibu menangis semalaman, membuatnya merasa sangat bersalah dan berjanji pada dirinya sendiri tak kan mengulanginya.

Menghempaskan dirinya ke kasur mengambil bantal dan menutup wajahnya, kemudian berteriak sekencang-kencangnya. Mengeluarkan segala kekesalan, kecewa dan amarah. Menangis pun percuma keputusan sudah diambil.

Dirinya memang ingin mengakhiri kesendirian, tapi bukan berarti menikah dengan orang yang sama sekali tak dikenalnya. Mungkin benar kata pepatah, cinta datang karena terbiasa. Hanya saja, Arasy tidak tahu kebiasaan calon suaminya. Jangankan kebiasaan, wajahnya saja Arasy tidak tahu, lalu bagaimana cinta itu datang? Bagaimana menjalani kehidupan rumah tangga tanpa cinta? Akan seperti apa kehidupannya yang akan datang? Bagi Arasy, pernikahan itu cukup sekali seumur hidup, lalu bisakah dia mempertahankan pernikahan dengan seseorang yang sama sekali belum tersentuh seluruh indera tubuhnya.

Dalam diamnya, ada tangis yang keluar secara perlahan. Menggerogoti rasa hormat pada kedua orang tuanya. Mengiris secara perlahan rasa sayang yang ada. Kekecewaan yang lebih dominan daripada rasa cinta yang setia hati dipupuk.

Memang dirinya belum menaruh hati pada siapapun. Namun, dia ingin meletakkan hatinya pada tempat yang tepat, yang bisa menjaganya, melindunginya serta mencintainya seperti dirinya. Hati ini memang butuh sentuhan cinta dan sayang dari lawan jenis, tapi kalau dipaksakan akan seperti apa hasilnya?

Membalikkan tubuhnya dari tengkurap menjadi telentang menghadap langit-langit kamarnya. Ingatannya kembali pada tujuh belas tahun silam. Seseorang yang rela mengorbankan dirinya sendiri demi orang lain. "Kamu dimana?"