Jadi, setelah Dina Baskoro pergi, Ajeng tiba-tiba mendekat dan bertanya, "Pak Widodo aku belum makan. Apakah kamu mau makan bersama nanti?"
Widodo mengerutkan kening dengan canggung. Tiba-tiba teringat sesuatu dan berkata, "Oh, saya hampir lupa. Saya masih memiliki sesuatu yang harus diurus setelah ini, jadi saya tidak bisa menemani Anda makan, terima kasih. Dan selamat sore."
Setelah berbicara, Widodo melangkah pergi meninggalkan Ajeng yang berdiri mematung. Terlihat sangat marah.
_ _ _ _ _
Ini tidak adil!
"Kenapa kamu ada waktu untuknya, dan tidak ada waktu untukku, Widodo, kamu tidak adil!"
Ketika kembali ke kantor, Ajeng masih memikirkan tentang itu dengan sangat marah.
Melihat kertas di tangannya, Ajeng mendengus jijik, "Dina Baskoro? Hal sebaik apa yang bisa kamu tulis di levelmu? Aku tidak percaya kamu bisa mengerjakan ini. Tunggu dan lihat saja nanti, jika sampai kamu lulus, jangan sebut namaku Ajeng!"
Ajeng bergumam sendiri dengan marah, tapi tiba-tiba teringat bahwa Widodo juga akan berpartisipasi dalam penilaian makalah kali ini untuk memastikan semuanya adil.
Meskipun Ajeng sangat yakin bahwa Dina Baskoro pasti tidak bisa menulis tesis itu dengan baik, tapi bagaimana jika Widodo berpihak padanya lalu memberinya nilai tinggi?
Memikirkan hal ini, Ajeng memegang tesis dengan gugup. Kemudian, dia mulai membaca makalah yang Dina Baskoro kerjakan dari awal sampai akhir dengan cermat.
Setelah membacanya, Ajeng tidak bisa menahan diri untuk mengeluh, bahwa makalah itu memang ditulis dengan sangat baik, dan tidak berlebihan untuk memberinya nilai 90 atau lebih.
Tapi Ajeng tiba-tiba menyadari bahwa tesis ini adalah tesisnya Dina Baskoro!
Ajeng tiba-tiba menjadi lebih kesal, "Makalah apa ini! Tidak bagus sama sekali, aku yakin tidak akan mendapat nilai tinggi!" Setelah mengumpat sendiri, Ajeng melempar kertas itu ke meja dan pergi dengan marah.
Tidak ada yang memperhatikan bahwa tak lama setelah Ajeng pergi, pintu kantor dibuka.
Dua sosok menyelinap masuk, mencari-cari di atas meja, dan akhirnya melihat kertas Dina Baskoro disitu. Kemudian, keduanya diam-diam mengganti tesis Dina Baskoro dengan tesis lain yang sama sekali berbeda.
Setelah semuanya selesai, keduanya menyelinap keluar lagi dan menutup pintu.
...
Setelah meninggalkan kampus, Dina Baskoro naik taksi dan langsung pergi ke kantor Teddy Permana.
Dia tidak mau makan dengan Widodo saat itu karena sedang khawatir dan tertekan memikirkan Teddy Permana dan dia tidak bisa mendapatkan cukup energi.
Sudah beberapa hari sejak Teddy Permana dan Dina Baskoro tidak bertemu satu sama lain, Ketika Dina tidak melihatnya, Dina Baskoro mengerti satu kata untuk pertama kalinya setelah hidup selama ini.
Rindu.
"Saking begitu merindukannya, aku merasakan bayangannya di mana-mana."
Dina Baskoro merasa sangat sedih bahwa dia tidak akan pernah bisa terus seperti ini.
Tidak semua orang memiliki kesempatan untuk dilahirkan kembali, karena Tuhan telah memberinya kesempatan seperti itu, dia tidak akan menyia-nyiakannya.
Selain balas dendam, salah satu tujuan terpenting dari kelahiran kembali ini adalah untuk memulihkan hubungannya dengan Teddy Permana.
Tetapi sekarang, dua orang ini pada dasarnya tidak dapat melihat satu sama lain, lalu bagaimana hubungan ini dapat dipulihkan?
Memikirkan hal itu, Dina Baskoro berusaha memperkuat hati dan pikirannya.
"Aku akan menemukan Teddy Permana, tidak peduli apa yang akan dikatakannya nanti, aku benar-benar tidak bisa hanya duduk dan menunggu. Jika tidak melakukan apa-apa, hubungan ini hanya akan menjadi semakin jauh."
...
Sepuluh menit kemudian, Dina Baskoro tiba di kantornya.
Begitu Dina Baskoro keluar dari lift dia bertemu dengan Rahmi.
Dan dalam sekejap, Rahmi berjalan mendekati Dina dan dengan hormat berkata, "Bu Dina ada perlu apa?"
Dina Baskoro tidak menjelaskan banyak, tetapi berkata dengan tegas, "Kamu keluar, aku akan mencari Teddy Permana."
Tanpa diduga, Rahmi berdiri di depannya dan berkata, "Maafkan aku Bu Dina, Pak Teddy beberapa sedang ada perjalanan bisnis dan jika kamu benar-benar sedang ada perlu, lebih baik menelpon atau mengirim pesan padanya sekarang."
Mengirim pesan? Telepon? Dina Baskoro bukannya tidak mau, tapi mengirim pesan ke Teddy Permana, sama saja seperti berbicara dengan semut, tidak ada jawaban sama sekali.
"Keman dia pergi untuk urusan bisnis?"
Dina Baskoro memandang Rahmi dan bertanya dengan tenang.
"Ini..." Rahmi terkejut untuk sesaat, dan berkata bahwa hatinya sedang buruk, dan benar-benar melupakan itu.
Melihat ekspresi ragu Rahmi, Dina Baskoro langsung membentaknya, "Minggir! Aku ingin melihatnya."
"Bu Dina, Pak Teddy benar-benar dalam perjalanan bisnis. Bahkan jika Anda masuk ke ruangannya, Anda tidak akan melihatnya disana." Rahmi melangkah maju mencoba untuk menghentikannya.
Tetapi Dina Baskoro tidak mempercayai hal itu, "Jangan bohong padaku, aku tahu, dia hanya tidak ingin melihatku."
Rahmi tampak tidak berdaya, "Bu Dina, saya mengatakan yang sebenarnya, Pak Teddy benar-benar melakukan perjalanan bisnis. Dia saat ini pergi ke Amerika Serikat. Jika Anda tidak mempercayai saya, Anda dapat memeriksa tiket penerbangannya. "
Dina Baskoro mencibir, "Bukankah kamu adalah asistennya. Kenapa dia tidak membawamu dalam perjalanan bisnisnya?"
Rahmi masih berusaha untuk menghalangi Dina Baskoro. "Bu Dina, Pak Teddy benar-benar sedang melakukan perjalanan bisnis. Untuk proyek ini, dia hanya membawa manajer proyek, dan tidak membawaku."
Setelah itu, Rahmi mengeluarkan telepon genggamnya dan mencari informasi penerbangan Teddy Permana. Lalu menunjukkannya ke Dina Baskoro, "Bu Dina, silahkan lihat sendiri, ini adalah informasi penerbangan perjalanan bisnis Pak Teddy yang terakhir."
Dina Baskoro mendengar Rahmi barusan dan menatap layar telepon genggam itu.
Penerbangan itu memang menunjukkan bahwa Teddy Permana telah berangkat ke Amerika Serikat dua hari yang lalu...
Hati Dina Baskoro tiba-tiba tenggelam memikirkan Teddy Permana, sepertinya dia benar-benar telah pergi.
Dina Baskoro tidak berharap Teddy Permana pergi begitu lama untuk bersembunyi dari dirinya.
"Bu Dina?" Rahmi melihat Dina Baskoro terlihat sedih dan kecewa, lalu melambaikan tangannya di depannya dengan rasa khawatir, "Kamu baik-baik saja?"
Dina lalu menggelengkan kepalanya sedikit kecewa, "Oh, aku baik-baik saja. Ngomong-ngomong, jika Teddy Permana kembali, ingatlah untuk memberitahuku sesegera mungkin." Rahmi berpikir sejenak dan mengangguk,"Bu Dina, tenang saja, saya akan mengabari anda nanti. "
Kemudian, Dina Baskoro pergi.
Setelah melihat Dina Baskoro pergi, Rahmi berbalik dan berjalan ke ruangan Teddy Permana.
Teddy Permana sedang duduk di kursi dengan wajah tanpa ekspresi yang jelas dan sedang bermain dengan pulpen di tangannya.
Rahmi masuk dan berkata dengan suara pelan, "Pak Teddy, Bu Dina baru saja berada di sini tadi dan mengatakan padanya bahwa Anda sedang dalam perjalanan bisnis seperti yang Anda minta, dan dia sekarang sudah pergi."
Teddy Permana mendengar kata-kata itu tidak bereaksi, hanya mengangguk sedikit.
Sebaliknya, Rahmi melihat asbak penuh di atas meja penuh dengan puntung rokok. Jadi dia berhenti berbicara.
Teddy Permana hampir tidak pernah merokok lagi setelah sekian lama berhenti, tetapi dalam beberapa hari terakhir, dia merokok seperti orang gila, dan seluruh ruangan kantor penuh asap.
Dan dalam dua hari terakhir ini sifat presiden sangat buruk, jika ada sedikit perbedaan saja, dia akan sangat marah.
Oleh karena itu, semua karyawan lain tidak ada yang berani berbicara padanya.
Dan Rahmi telah menduga sebelumnya bahwa alasan mengapa Teddy Permana menjadi seperti ini pasti karena ulah Dina Baskoro yang entah apalagi yang dilakukannya kali ini.
Teddy Permana biasanya selalu bersemangat dan tegas pada semua orang di kantor, membuat mereka segan ketika bertemu dengannya.
Di dunia ini, mungkin hanya Dina Baskoro yang menjadi kelemahan Teddy Permana.
Tak lama kemudian, guntur terdengar di luar jendela ruangan, dan setelah beberapa saat, hujan turun dengan cukup lebat.
Melihat hujan yang begitu lebat, Teddy Permana merasa bingung dan teringat bahwa Dina Baskoro baru saja keluar dari kantor.